SARASWATI
“Jika memang
aku yang telah
memaksamu meminum racun kebencian, maka ijinkanlah aku mengobatinya. Biarlah cinta yang
kupunya menjadi penawar racun yang telah kau tengak “
Aku tak tau apa yang ada dalam fikiranku, karena ketika
aku terbangun, aku sudah berada disini, duduk bersama Raras dan Dinda, sahabat
Raras, menikmati secangkir kopi dengan tenangnya seolah kami teman lama yang
lama tak bertemu dan wajar jika duduk bersama sambil menikmati secangkir kopi.
Seolah tak ada permasalahan pertunangan yang seminggu
lalu bahkan membuatku hampir gila.
" Kalian beneran mau nikah? " Dinda tertawa
terbahak-bahak hingga menumpahkan kopi hitam dikemajanya yang berwarna putih
" oops " ia mencoba membersihkan noda cokelat dikemejanya, bukannya
menghilang noda itu semakin nampak melebar, dan entah mengapa tawa Dinda
semakin keras, hingga kami menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung cafe.
Sebenarnya tidak, sejak pertama kami duduk, semua mata
lelaki memandang kearah kami. Membuatku jengah. Jelas ini semua bukan karena
keberadaanku, pilihannya hanya kepada Raras atau Dinda. Sebenci apapun aku pada
Raras, harus kuakui. Perempuan ini sangat
menarik, meskipun sebenarnya dia bukan tipe wanita idamanku.
Raras, tingginya sekitar 160cm, kulit sawo matang dengan
berat badan berkisar 50kg, rambutnya dipotong sangat pendek, hampir menyerupai
laki-laki. Sedangkan Dinda, berkebalikan 180' dari Raras, dia lebih terlihat
feminim, didukung dengan kulitnya yang berwarna kuning langsat dan rambut
panjang sebahu. Jika dibandingkan dengan Raras, aku lebih memilih Dinda. Benar-benar
perempuan idamanku, akan lebih mudah jika dia adalah perempuan yang ditunangkan
denganku.
" Ada yang lucu? " tanyaku tak habis fikir.
" Ada, kalian berdua
" Dinda kembali tertawa.
" Dinda nggak sewaras penampilannya, maklumin aja
lah " jawab Raras tenang, sambil tetap membaca
majalah ditangannya.
“
Nggak ada yang nyangka kan kalau kamu sebenarnya tulang rusuknya Tresno yang
hilang “ Dinda semakin tertawa, nampak sangat senang dengan lelucon yang
dibuatnya.
“
Din, nggak usah lebay, tulang rusuk
yang hilang? Coba Tresno suruh ke dokter, suruh rontgen, pasti tulang rusuknya masih utuh “ Raras meletakkan
majalahnya, dan meminum kopinya.
“
Aduh non, jangan galak gitu donk, stress sebelum pernikahan ya? Tenang saja, Dinda Kanahaya siap membantu kok “
Dinda kembali tertawa.
“ Stress? Kamu tau lah, pernikahan
bagiku cuma serasa main wedding game, cuma keliatan asik pas
persiapannya aja, tapi sebenarnya cuma nambah beban “ Raras mendesah kesal, ia
beranjak dari duduknya.
" Mau kemana? " tanyaku dan Raras hanya
memandangku dengan dahi dikerutkan, seolah berkata " bukan urusanmu!
" Ya, itu memang bukan urusanku. Bahkan kalau dia ingin melompat dari
lantai 21, itu bukan urusanku.
" Ya ampun sampe segitunya sama calon istri "
Dinda berkata dengan nada mengejek.“ Kamu beruntung
bisa nikah sama Raras “ Dinda mencoba membuka percakapan setelah Raras pergi.
“
Beruntung? Buntung kali yang kamu maksud “
" Nggak usah sefrustasi itu lah, aku kasih satu
rahasia, nggak sulit kok buat belajar mencintai seorang Raras "
" Semoga " jawabku sarkatis.
" Loh beneran ini, serius. Gimana
kalau kita taruhan? “ Dinda nampak sangat senang dengan gagasan yang dibuatnya, sementara aku
hanya diam saja tak menggubris kata-katanya, dan Dinda kembali melanjutkan
kata-katanya.
“
Ya meskipun, satu kekurangan dia, Raras nggak pernah
percaya sama yang namanya cinta, apalagi komitmen "
" Sudah bisa ditebak, dia perempuan sakit "
" Tapi itu salah satunya juga karena kamu bukan? Dan terimakasih untuk semua itu " nada suara
Dinda berubah 180', dia nampak begitu kesal.
Setelah itu, hening menyeruak diantara kami dan aku juga tak ada niatan untuk
memulai sebuah pembicaraan. Dua perempuan
ini sama saja, hanya berbeda chasing.
Tentu saja, kalau tidak klop bagaimana mereka bisa menjadi sahabat.
" Tresno, Mama barusan telfon, kita pulang aja,
nanti Mama sama Tante Yani mau naik taxi " Raras mengambil tasnya, mengecup
kedua pipi Dinda dan berpamitan " Din, aku pulang duluan ya, udah aku
bayar kok minumannya, kali ini aku yang traktir "
" Makasih ya sayang, hati-hati di jalan "
seperti tak mengharap persetujuan dariku, Raras melangkah pergi.
"Saraswati!! Kamu kok tega banget, ini Jakarta!!
" aku begitu marah ketika Raras hanya menurut saja ketika Ibunya
menyuruhnya pulang, Raras menghentikan langkahnya.
" Nggak usah pake nada tinggi, kamu ikut pulang
nggak, klo nggak ya terserah kamu "
" Udah No, nurut aja, Tante Ambar udah kenal banget
sama Jakarta " Dinda mencoba menenangkan, dan
akhirnya aku hanya mengekor dibelakang Raras.
***
“
Ayo masuk “ dengan ragu kulangkahkan kaki
masuk ke apartemen Raras. Baru pertama kali ini
aku masuk di apartemen perempuan, wanginya begitu khas, wangi lavender.
Di ruang tamu ada foto Raras dan keluarganya. Raras menghilang ke sebuah
ruangan, dan kembali dengan sebuah handuk.
“
Pake ini, kamu bisa mandi di kamar mandi deket dapur “ Raras duduk dan
menyalakan tv.
“
Kamu nggak mandi? “
“
Kayaknya kamu suka banget ya mencampuri urusan orang,
bahkan dari hal terkecil seperti mandi “ akhirnya aku
mengalah dan melangkahkan kaki ke kamar mandi. Tak ada gunanya berdebat dengan perempuan ini, yang ada hanya membuatku
tambah gila. “ Darimana dia dapetin semua ini? “ aku
bergumam heran, lebih pada diriku sendiri. Aku
melihat sekeliling ruangan apartemen Raras. Sederhana namun rapi. Apartemen ini
meskipun kecil, namun terletak dipusat kota dan pasti harganya tidak murah.
“
Ya kerja keras lah, kamu kira aku jual diri? Macarin anak boss? Kebanyakan
nonton sinetron “ selalu saja begitu, dan herannya bagaimana dia bisa mendengar
gumamanku. Tak ingin berdebat, akhirnya
aku memutuskan untuk benar-benar masuk ke kamar mandi saja.
“
Ibu belum pulang? “ tanyaku cemas setelah selesai mandi, dan Raras tetap ada
pada posisinya. Raras melihat jam dinding, dia mengambil handphone yang tergeletak diatas meja, mencoba menghubungi
seseorang, dan aku yakin itu pasti Ibu
atau Tante Ambar.
Semenjak
aku menyetujui perjodohan ini, entah mengapa kesehatan ibu semakin membaik,
bahkan saat ini ibu berada di Jakarta. Berbelanja keperluan pernikahan katanya. Aku jadi menebak-nebak, apakah sakit ibu kemarin hanya
rekayasa? Ah Raras benar, itu hanya terjadi disinetron-sinetron. Tak mungkin
ibu membohongiku, apalagi menyangkut kesehatannya.
“ Mama udah otw
balik No, aku tidur dulu ya, terserah kamu ngapain, kalau mau tidur ambil aja
selimut di kamar tamu “ Raras masuk kedalam kamarnya “ Oia, kamu nggak perlu
cemas, aku nggak bakal nglakuin apa-apa sama kamu, kayak disinetron-sinetron
yang sering kamu tonton “ Raras membuka pintu kamarnya, mengeluarkan sedikit
kepalanya dari celah pintu dan pastinya dengan nada suaranya yang mengejek. Sangat
menyebalkan.
“
Tunggu “ aku mencoba mencegahnya menutup pintu “ Berarti kamu sudah pernah . .
. “ aku tak berani melanjutkan kata-kataku, Raras mengerutkan keningnya. “ Aku
bertanya karena aku calon suamimu “ kataku takut. Bodoh, kenapa aku menanyakan
hal ini. Aku mengutuki diriku sendiri. Raras
membuka pintu kamarnya lebih lebar dan bersandar disana. Ekspresinya nampak
seperti menahan tawa.
“
Apa keperawanan adalah hal yang paling utama buat kamu? “ nada suaranya berubah
serius, dan kemudian ia tertawa “ Apa menurutmu aku sudah nggak perawan? Wah, kamu bener-bener hebat, sampai hal yang seperti ini
juga tau “
“
Bukan . . .bukan begitu maksudku . . . “ kataku tergagap.
“
Oke, mungkin dimatamu aku terlalu bebas
dan terserah kamu mau nilai aku apa, tapi perlu kamu tau aku nggak sebejat
itu, aku masih tau mana yang baik dan mana yang buruk“ Raras terdiam, dan
akhirnya melanjutkan ucapannya “
Sex di luar nikah itu namanya zina, haram hukumnya " tampangnya nampak
serius, namun kemudian ia tertawa " Dan
soal kamu calon suami aku, ada beberapa hal yang harus kita omongin lagi.
Terutama soal yang boleh dan nggak boleh dilakukan. Bisa dibilang syarat dari
aku. Kamu mau bicara sekarang? “ tawarnya
dan aku mengangguk mantap, tak ingin merasa terintimidasi dengan sikapnya yang
dominan. Raras nampak lelah, tapi akhirnya ia duduk juga disampingku.
“
Langsung aja, syarat dari aku, nggak
ada kontak fisik dan nggak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing,
dalam urusan apapun “ Raras mencoba menekankan, sangat sederhana dan jelas. Jelas gila maksudku, bagaimana tidak ada kontak fisik
dan tidak mencampuri urusan masing-masing, kami akan menikah. Bukan
pasangan yang hanya berbagi tempat tinggal untuk menghemat uang sewa rumah. Perempuan gila, bagaimana hal ini bisa terfikirkan
olehnya.
“
Kalau soal anak? Pasti orang tua kita akan mempertanyakannya “ bodoh, apalagi yang kutanyakan?
Seharusnya aku menutup mulutku saja,
mau dibawa kemana arah pembicaraan ini.
“
Orang tua kita nggak bakal maksa kalau kita nggak mampu “
“
Tapi itu karena nggak ada usaha “
Oke Tresno, perempuan didepanmu memang gila, namun tak seharusnya kamu
ikut-ikutan gila. Hentikan pembicaraan ini sebelum menimbulkan masalah lainnya.
“ Nggak akan ada yang tau kalau salah satu dari kita
nggak ngomong atau kita bisa pakai teknologi bayi tabung? Ah
tidak, aku nggak ingin punya anak karena memang nggak ingin punya anak. Jadi
satu-satunya solusi yang aku tawarin, silahkan kamu menikah lagi, poligami.
Mudahkan? “ aku jamin, perempuan ini pernah gagar otak. Bagaimana ia
bisa mengucapkan hal ini dengan begitu santainya?
“ Kamu rela? “
“ Tresno Wijaya, dari awal aku sudah bilang, kita hanya
akan ijab qobul dan setelah itu terserah kamu, bahkan aku nggak perduli kalau
kamu nikah lagi setelah kita ijab qobul “ Aku tertawa tak habis fikir. Apakah
aku benar-benar akan menikahi perempuan gila ini?
“ Tresno, maaf, tapi aku tak pernah percaya dengan sebuah
pernikahan “ menyadari reaksiku Raras mengubah nada bicaranya menjadi lebih
serius. Perempuan didepanku, calon istriku,
nampak tenang-tenang saja membicarakan hal-hal seperti ini. Dan kebalikan dari
perempuan lain, dia tak ingin punya anak, dia tak mempermasalahkan poligami dan
yang paling bermasalah, dia tak percaya dengan pernikahan itu sendiri.
Ting
. . Tong . . sebentar lagi kamu akan
menikah dengan tembok. Selamat Tresno Wijaya. Hidupmu berakhir di tangan
perempuan gila ini.
“
Pasti itu Mama “ Raras beranjak dari duduknya, dan benar saja dalam hitungan
detik apartemen ini begitu ramai, membuat kepalaku semakin terasa berat.
***
Aku memandang langit-langit apartemen Raras, ruangan ini
begitu gelap dan sepi. Ibu, Tante Ambar dan Raras sudah tertidur setelah
membongkar semua belanjaan yang aku rasa tidak ada yang penting. Dan anehnya,
Raras benar-benar nampak antusias. Apa sebenarnya pernikahan ini adalah hal
yang ditunggunya? Menikah denganku? Ah, itu hanya ilusiku. Raras, perempuan itu
begitu membenciku, apalagi semenjak peristiwa itu.
Alasan ibu dan bapak bisa sangat menyukai Raras adalah salah
satu hal yang masih berusaha aku cari sampai saat ini. Apa bagusnya perempuan
ini. Sikap dan sifatnya tak mencerminkan perempuan Jawa, dan tentunya bukan
tipe wanita idamanku. Dia begitu dominan, tak mau kalah dan terlalu liberal. Terutama
pembicaraan kami hari ini, gila, perempuan ini tak ingin punya anak dan
menganggap pernikahan hanyalah sebuah wedding
game. Bagaimana kalau Ibu dan Bapak tau, apakah mereka akan membatalkan
pernikahan kami? Perlu dicoba. Tapi bagaimana jika Ibu kembali sakit? Ah, aku
tak ingin mencoba-coba suatu hal yang belum tentu hasilnya namun sangat
beresiko. Apalagi menyangkut kesehatan ibu. Tidak, aku tak berani mencobanya.
Aku mencoba memejamkan mata, namun rasanya begitu berat.Rasanya
hari berlalu begitu cepat, dan sebentar lagi aku akan menikahi perempuan ini. Perempuan
yang tidak pernah aku cintai dan kenyataan bahwa perempuan ini gila semakin
membuat kepalaku ingin pecah.
***
“
Jangan berteriak!!!
“ Aku terbangun mendengar samar suara seorang perempuan, kulangkahkan kaki
menuju arah suara, pintu keluar
sedikit terbuka. Aku berusaha mengintip apa yang sedang terjadi
dari balik celah pintu yang terbuka. Raras dengan seorang laki-laki dan nampaknya mereka sedang bersitegang.
“
Kita sudah putus, sudah lama “ suara Raras nampak datar.
“
Tapi itu cuma sepihak, aku cinta kamu
Raras “ pria itu mencengkeram bahu Raras
kasar.
“
Lepasin aku, jauhkan tangan kotormu itu dari tubuhku “ lagi-lagi suaranya
terdengar sangat datar, tak bisa ditebak apa yang sedang perempuan itu rasakan.
“
Saraswati kenapa kamu selalu begini? “
“
Aku, apa ini semua salahku? Siapa yang menghamili perempuan itu? Bukan aku, dan jelas aku tak
bisa membuatnya hamil “ katanya sinis.
“
Aku bisa jelaskan “ laki-laki itu
nampak menangis “ Aku bisa ceraikan dia “
“ Nggak ada yang perlu dijelaskan, sekarang pergi, aku
nggak mau Mamaku ngeliat kamu ada disini “ laki-laki itu mendorong Raras
didinding, memeluk Raras dengan kasar. Namun Raras tetap dingin, tak
terpengaruh dan tak sedikitpun merasa takut atau terintimidasi.
“
Pergi . . . . “ Raras mendesis marah.
“
Baik, aku akan pergi dan selamat untuk pernikahanmu “ laki-laki itu melepaskan
pelukannya, dan pergi meninggalkan Raras sendirian.
Raras,
perempuan itu tak sedikitpun meneteskan air mata, apapun yang sebelumnya
terjadi,jika ia perempuan normal, seharusnya ia
memiliki emosi atas kejadian barusan.
“
Siapa? “ Aku mendekati Raras yang terdiam di depan apartemen.
“
Bukan urusanmu “ sebelum Raras masuk kedalam apartemen, aku menahan tangannya.
“ Ini semua bukan urusanmu “ Raras mengibaskan tanganku.
“
Kalau kamu mau cerita, aku siap mendengarkan “
“
Nggak usah sok baik “ Raras masuk ke dalam apartemen, dan membanting pintu
dengan kasar.
Aku
mengikutinya masuk ke dalam apartemen dan mengambil telepon genggam yang
kuletakan di meja ruang tengah.
“
Hallo, Dinda, ini Tresno, hari ini bisa ketemu? Nanti aku sms-in lokasi dan
waktunya “ kumatikan sambungan telefonku dan mulai mengetik sebuah pesan untuk
Dinda.
***
Entah
mengapa aku menjadi sangat penasaran dengan kehidupan masa lalu Raras dan
disinilah aku sekarang. Duduk di sebuah café, menunggu kedatangan Dinda, karena
aku yakin hanya dari Dindalah aku dapat memperoleh informasi yang kuinginkan.
“
Udah lama nunggunya, sorry ya macet “ Dinda duduk didepanku, dengan pakaian kerjanya, jujur, ia nampak cantik.
Tapi entah mengapa aku merasa Dinda tak semenarik Raras? Ah, mungkin aku sudah
gila karena terlalu lama berada di dekat Raras. Bukankah lingkungan sangat
berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang? Nampaknya aku harus segera
menyelidiki, apa akibatnya jika terlalu lama berdekatan dengan pasien gangguan
jiwa.
“
Mau pesan apa? Aku yang traktir “ tawarku
basa-basi dan Dinda memicingkan mata curiga.
“
Ada apa nih? Tumbenan, nggak usah basa-basi lah sama aku “
“
Kamu pesan makan dulu lah “
“
Oke “ setelah kami memesan makanan, aku mulai memberanikan diri menanyakan apa
yang ada di fikiranku.
“
Mmm . . . “ aku mulai gugup
“
Ada apa sich? “ Dinda mulai tertawa melihat sikapku " Tumben kamu kayak gini "
“
Tapi janji ya jangan bilang sama Raras “
“
Janji “ tawa Dinda semakin lebar “ Apa perlu ikat kelingking? “ Dinda
menyodorkan kelingkingnya dengan geli.
“
Kamu kenal sama semua mantan pacar Raras? “
“
Wih, mulai penasaran sama kehidupan Raras? “ Dinda tertawa “ Sebagian besar
sich aku tau “ bisik Dinda dengan bangganya.
“
Pacar terakhirnya? “ tanyaku to the point.
“
Doni? “
“
Namanya Doni? Kenapa mereka putus? “
“
Dia bikin bunting anak orang “ Dinda
berbisik pelan, seolah hal ini adalah topik yang tabu untuk diperbincangkan.
“
Ow pantes “
“
Emang kenapa sich? “kini giliran Dinda
yang mulai penasaran.
“
Tadi pagi ada laki-laki yang datang ke apartemen Raras, mereka berantem “
“
Yakin kamu? “ ekspresi Dinda menjadi serius dan aku hanya mengangguk.
“
Brengsek tu orang, masih aja berani datang ke Raras “ Dinda menggeram marah. “
Dari dulu, Raras selalu nggak pernah beruntung kalau masalah cinta “ tiba-tiba
saja Dinda bercerita, padahal aku tak
memintanya bercerita. Ah, anggap saja ini bonus karena
telah menraktirnya makan siang.
“
Diawali dari Dimas “
“
Dimas bukan laki-laki brengsek “ aku mencoba membela sahabatku.
“
Aku tau, tapi temannya yang brengsek,
sangat brengsek “ Dinda tersenyum mengejek dan aku
hanya tersenyum kecut. “ Beberapa kali dia pacaran, selalu berakhir tragis.
Entah diselingkuhi, entah mengalami kekerasan dalam pacaran, bahkan yang
terakhir pacarnya ngehamilin anak orang “ Dinda menghela nafas prihatin “ Hebat
kan? Kamu Tau Raras dijuluki apa? “ aku menggeleng tak tahu “ Perempuan dengan
kutukan cinta “ Raras melanjutkan ceritanya, aku menahan tawa, setidaknya itu
lebih baik daripada “ gelar “ yang dulu kusandang berkat Raras.
“
Tapi Raras pada akhirnya nganggap semuanya biasa, nggak ada emosi dalam hubungan itu,
bahkan pada akhirnya dia berpacaran bukan karena cinta “
“
Lalu alasan dia pacaran?
” tanyaku penasaran.
“
Itu semua demi Mamanya,
sebenarnya dia sudah berencana untuk nggak
pernah menikah, tapi ketika ada seorang laki-laki yang mengutarakan
perasaannya, Raras nerima aja, hanya untuk menghindari pertanyaan yang
macam-macam dari keluarganya. Terutama agar Mamanya
nggak cemas. Bagi Raras,
semua laki-laki sama saja, nggak
ada laki-laki yang baik di dunia ini. Bahkan dia sangat benci dengan makhluk
yang bernama laki-laki. Dan pernikahan, dia menganggap pernikahan hanya sebuah
janji semu karena sebenarnya bagi Raras
nggak ada
yang namanya cinta di dunia ini. Bagi Raras, pernikahan adalah sebuah kontrak yang
menyangkut keturunan, keluarga dan uang “
“
Trus kenapa kemarin kamu ngajakin aku taruhan, soal jatuh cinta sama Raras?
“
“
Meskipun selalu bersikap dingin, Raras sebenarnya adalah perempuan yang baik. Banyak
alasan yang bisa membuat
laki-laki jatuh cinta.
Namun sayangnya, dia sulit untuk jatuh cinta “
“
Apa kamu yakin aku bisa jatuh cinta dengan perempuan ini? “
“
Kalau dilihat dari sejarah kalian, nggak akan ada yang tau. Tapi bukannya di sinetron-sinetron cinta itu diawali
dari sebuah benci?“ lagi-lagi Dinda tertawa, entah bagian mana yang terdengar lucu baginya aku
juga bingung.
Aku
mulai memikirkan cerita Dinda. Memikirkan betapa jahatnya aku dulu. Hanya
karena harga diriku sebagai seorang bocah laki-laki merasa dihina, aku
melakukan sebuah kesalahan yang sedikit banyak merubah hidup seorang perempuan yang
mungkin dulunya adalah perempuan baik-baik. Dan mungkin ini karmaku atau
mungkin sudah menjadi
takdirku untuk bersamanya, bersama dengan seseorang yang pernah kau sakiti.
Bersama untuk secara perlahan mengobati lukanya, yang bukannya mengering tapi
malah semakin melebar dan bernanah.
Saraswati,
maaf jika aku menjadi salah satu alasan atas luka yang kau alami selama ini.
***
Raras, perempuan ini benar-benar gila kerja. Ini sudah
terlalu larut untuk membaca sebuah berkas, dan sekarang Raras, perempuan ini
duduk di tengah berkas-berkas yang aku sendiri tak tau dan tak mau tau berisi
tentang apa. Yang jelas, ini semua tentang pekerjaan.
Mungkin.
“
Ras, ibu sama tante Ambar lusa mau pulang “ aku berkata pelan, takut jika Raras
masih marah karena peristiwa kemarin.
“
Oke “ katanya singkat, dan aku tak berani melanjutkan kata-kataku, mungkin dia
memang masih marah “ Ada yang ingin Tante Yani beli lagi? “ tanyanya.
“
Aku nggak tau “
“
Kamu besok masuk kerja? “
“
Aku masih cuti “
“
Kalau gitu bawa aja mobilku, kali aja Mama sama Tante Yani masih ada yang ingin
dibeli “
“
Kamu naik apa kalau mobilnya aku bawa? “ Raras menyerahkan kunci mobilnya.
“
Bukan urusan kamu “ katanya ketus, ia meninggalkanku sendiri di ruang tengah, bersama dengan berkas-berkas yang sangat
"dicintainya."
“
Oia, STNKnya ada didalam kunci “ kali ini Raras benar-benar masuk kedalam
kamarnya.
Aku
memutuskan menghampiri ibu yang
sedang beristirahat dikamar tamu.
Ibu sedang berbaring di ranjangnya.“ Ibu “ kataku pelan, dan ibu ternyata belum
tidur.
“
Ada apa? “
" Nggak papa Bu, Tresno cuma ingin tidur sama Ibu
" aku merebahkan tubuhku diranjang, di samping Ibu. Seperti seorang
bayi, kutekuk kakiku dan kupeluk keduanya. Ibu
mengelus kepalaku lembut, rasanya begitu tenang jika berada disamping ibu.
“
Ini keputusan yang terbaik nak, Raras adalah perempuan yang tepat buat
mendampingi kamu “ seolah Ibu
tau kegalauan hatiku.
“
Bagaimana Ibu tau, kalau Raras
adalah perempuan yang tepat? “
“
Naluri Ibu “ Ibu tersenyum lembut. “
Raras perempuan yang tulus nak, meskipun Ibu juga tau kalian telah
menyakitinya, cobalah untuk membuka hatinya, tebus kesalahanmu di masa lalu “
aku hanya diam, ternyata Ibu
juga tau peristiwa itu.
“
Apa ibu menjodohkanku dengan Raras hanya karena peristiwa itu? “
“
Bukan, tapi karena Ibu tau Raras perempuan
yang baik “
“
Jadi ini semua hanya karena naluri Ibu?
Bagaimana kalau semuanya salah? “ aku bertanya, karena jika dibandingkan dengan
naluri Ibu, aku jauh lebih
mengenal Raras. Perempuan ini gila.
“
Jangan pernah meremehkan naluri seorang Ibu, percaya
sama Ibu “ Ibu tersenyum lembut,
dan aku tak menjawab. Takut melukai hatinya jika menceritakan apa yang telah
aku dan Raras bicarakan. Raras, perempuan itu tak pernah menganggap pernikahan
ini serius.
***
Argh
dua wanita ini benar-benar tak kenal kata lelah, seminggu di Jakarta, seminggu
juga mereka berbelanja tanpa kenal lelah. Tapi mau apa dikata, salah satu
diantara mereka adalah ibuku dan satunya lagi adalah calon ibu mertuaku. Jadi
disinilah aku sekarang, menjadi supir dan kuli pribadi mereka. Menenteng tas belanjaan yang bukannya berkurang namun
malah semakin bertambah. Apa aku harus
melaporkan dua wanita ini ke komnas HAM? Bahkan tak ada tawaran untuk minum
atau makan.
“
Ya ampun Jeng,
ini lucu ya? “ Ibu
memperlihatkan sepasang sepatu bayi kepada Tante Ambar.
“
Ah, ia ia “ Tante Ambar nampaknya setuju
dengan penilaian Ibu.
“
Buat siapa bu? “ tanyaku basa-basi,
padahal aku tau sebenarnya sepatu mungil itu untuk siapa, untuk anakku kelak. Tapi itu hanya akan
terjadi jika Raras merubah fikirannya
atau jika aku benar-benar akan melakukan poligami.
“ Buat anak kamu lah “ meskipun sudah tau, tapi jantungku
tetap seperti berhenti berdetak. Seharusnya aku sadar, bahwa orang tuaku juga
mengharap seorang cucu dari pernikahanku.
“
Ibu, kan aku nikah aja belum “
“
Ya nggak papa nak, takutnya kalau besok nggak ada lagi, itu limited editionlo “ ibu menunjuk sebuah
papan bertuliskan limited edition
yang diletakkan diantara sepatu-sepatu bayi itu.
“
Pamali bu “ kataku membujuk, berharap dengan kata “ pamali “ dapat mengurungkan
niatnya untuk membeli sepatu bayi itu.
Bagaimanapun juga ibu adalah perempuan Jawa, yang masih kenal dan takut dengan kata pamali.
“
Tresno benar Jeng, besok aja lah kalau Raras sudah hamil delapan bulan “ aku
kembali terbatuk, tapi akhirnya ibu mengurungkan niatnya, meskipun raut mukanya
terlihat begitu kecewa.
“
Bagaimana kalau sekarang kita makan siang “ tawarku, mencoba mengalihkan
perhatian ibu dari sepatu bayi yang ingin dibelinya.
“
Ibu belum lapar “ jawab Ibu ketus,
selalu begini jika keinginannya tak dipenuhi.
“ Jeng Yani, ayok kita makan dulu, nanti kalau Jeng Yani
sakit lagi, kan jadi nggak bisa nimang cucu. Nanti Jeng Yani sendiri lo yang
rugi “
Tiba-tiba saja Tante Ambar menimpali kata-kataku.
“
Ah benar-benar, aku harus makan, mari Jeng, Jeng Ambar mau makan apa? “ raut wajah Ibu berubah 180', apa-apaan ini? Bagaimana
Ibu bisa dibujuk dengan semudah itu?
“
Terserah Jeng Yani sajalah “ akhirnya aku hanya mengekor mengikuti Ibu dan
Tante Ambar masuk ke sebuah
restoran. Tante Ambar memang benar-benar pintar membujuk ibu, tapi cucu? Ah sudahlah, mungkin itu
bisa dinegosiasikan lagi dengan Raras.
“
Ini Raras sudah makan siang apa belum ya Jeng, sudah jam setengah dua “ Ibu
bertanya cemas kepada Tante Ambar, setelah kami memesan makanan.
“
Bagaimana kalau kita telepon saja? “ Ibu langsung mengangguk setuju, dan tak
berapa lama kemudian, mereka sudah tersambung dengan Raras. Tante Ambar menyalakan
speaker agar ibu juga bisa
mendengarkannya.
“
Hallo, sayang “
“
Ia, Ma ada apa? “ suara Raras
benar-benar berbeda jika berbicara dengan Mamanya atau Ibuku. Selalu manis.
“
Sayang, kamu sudah makan? Sudah jam setengah dua “
“
Ah . . . “ dari suara dan reaksinya, Raras nampak tersadar akan suatu
hal, apa mungkin dia lupa waktu dan lupa untuk makan siang? Ah, itu bukan
urusanku.
“
Sayang . . . “
“
Ah, ia ma, sudah kok “ jawabnya
tergagap.
“
Oia Raras, nanti malam kita makan malam bersama ya, bisa? “ Ibu ikut berbicara.
“
Nanti malam ya Tante? “ Raras
bertanya berat, semoga saja dia tidak bisa.
“
Ia sayang, tapi kalau kamu nggak bisa ya nggak papa “
“
Bisa kok Tante, nanti sms-in aja
tempatnya, Raras biar nyusul pake taxi “
“
Nggak usah pake taxi,
nanti biar Tresno yang jemput “
“
Nggak papa kok Tante, Raras bisa naik
Taxi “
“
Udah kamu jangan bantah, nanti biar di jemput Tresno, Mama tutup telfonnya, jangan
lupa makan, mama tau kamu belum makan “ Tante
Ambar mematikan telefonnya. Ah, memang naluri ibu tidak
bisa dibohongi. Dan semoga begitu
juga dengan naluri Ibu tentang pernikahanku dan Raras. Semoga itu benar.
***
Sekarang sudah pukul 18.00 dan Raras masih belum keluar
kantor juga, padahal seharusnya dari setengah jam yang lalu dia sudah pulang
kantor.
" Hallo, Raras, kamu dimana? " aku mencoba
menghubungi Raras, ini panggilan kesepuluh dan baru tersambung.
" Sorry, No,
kamu masuk aja ke kantorku, tungguin disini aja ya "
" Kamu masih lama? "
" Nggak kok,
setengah jam lagi kelar "
" Ok, aku masuk "
" Bilang aja
mau ketemu aku, nanti biar diantar ke ruanganku " Aku mematikan
telefon.
Seorang perempuan muda, seusia Raras nampaknya,
mengantarku ke ruangan Raras. Ruangan itu ada di lantai dua. Ada dua meja
disana, entah meja siapa saja itu, yang jelas salah satunya adalah meja Raras. Dari
ruangan ini aku bisa melihat keseluruhan isi ruangan yang ada di lantai satu.
Nampaknya Raras sedang memimpin sebuah rapat, di sebuah ruangan yang terbuat
dari kaca.
" Apa ini rencana terbaik yang bisa anda usulkan?
" Raras, suaranya tegas dan kulihat beberapa staff nampak menundukkan
kepalanya.
" Rencana apa ini, anak TK saja bisa membuat rencana
seperti ini, bukannya menyelesaikan masalah bisa-bisa rencana yang anda usulkan
menjadi beban baru perusahaan " tak ada jawaban.
" Kita tim Public
Relations, dan dalam kasus ini, tugas kita mengembalikan nama baik
perusahaan bukan malah memperburuknya "
" Tapi Bu . . . " seorang staff mencoba
menjawab, namun dia tak melanjutkan kalimatnya.
" Tapi apa? " Raras menatap tajam staff itu "
Saya tidak ingin mendengarkan kata tapi, secepatnya saya ingin melihat proposal
baru di meja saya, saya tunggu sampai besok siang dan sekali lagi saya tidak
ingin mendengarkan alasan apapun, sekian rapat kali ini, selamat malam "
Raras merapikan berkas-berkasnya, saat ia meninggalkan ruangan. Ada beberapa
staff yang nampak berbisik, tak suka.
" No, udah nunggu lama? Sorry ya " Aku tak
sadar Raras sudah memasuki ruangannya " Oia, kamu turun aja duluan, tunggu
aja di lobby, habis ini aku turun "
" Ok " aku hanya menurut saja, kasihan melihat
Raras yang nampak begitu lelah.
" Ya ampun, Bu Raras itu ya, jahatnya nggak
ketulungan, dasar Mak Lampir " aku memperlambat langkahku mendengar nama
Raras disebut.
" Amit-amit dech yang jadi calon suaminya " aku
tersenyum, itu aku, fikirku geli.
" Tapi kasihan dia juga ya dia kerja sendirian
"
" Ya iyalah, Pak Niko kan anak direktur, bisa apa tu
orang, perasaan semua masalah Bu Raras yang nanganin, dia cuma numpang nama
"
" Tapi kita bisa apa? Eh, tapi aku denger-denger pak
Niko naksir Bu Raras ya? "
" Hush, jangan keras-keras, bisa dapat masalah kita
kalau bikin gosip macam-macam "
Ah, aku tak tertarik dengan pembicaraan terakhir mereka.
Ku percepat langkahku meninggalkan dua karyawan wanita yang masih asik bergosip.
Benar-benar kerjaan wanita yang aku sendiri tak pernah tau apa manfaatnya.
***
" Tante, maafin Raras ya telat " Raras mencium
kedua pipi Ibu dan selanjutnya kedua pipi Mamanya, dan duduk di kursi kosong di
dekatku.
" Kamu selalu sibuk gini sayang? " Ibu bertanya
khawatir.
" Nggak Tante, kebetulan aja hari ini masih ada
kerjaan "
" Raras itu gila kerja Jeng, padahal sudah sering
saya nasehati " Tante Ambar menimpali " Besok setelah menikah kamu
nggak boleh seperti ini ya sayang " tambahnya.
" Ia Ma, bawel ah " Raras tersenyum.
Benar-benar hebat perempuan ini, padahal tadi ia nampak
begitu lelah. Tapi didepan Mamanya dan Ibuku ia nampak begitu ceria. Pemain
lakon yang hebat.
Mereka terus saja mengobrol, dan sesekali aku menimpali.
Entah mengapa pandanganku tak pernah terlepas dari sosok Raras, sepanjang waktu
perempuan ini selalu tersenyum. Tak sedikitpun membiarkan kelelahannya
terlihat, mungkin dia tak ingin membuat kedua wanita didepannya cemas.
" Tante maaf, nanti Raras balik ke kantor lagi ya,
ada berkas yang ketinggalan " Ah, perempuan ini memang pintar berakting,
berkas? Pasti dia akan lembur malam ini dan bukan hanya sekedar mengambil
berkas.
" Ia nanti biar sekalian diantar Tresno, Tante juga
mau lihat kantor kamu " mampus.
" Nggak usah Tante, nanti muternya jauh, kan Tante
dari tadi udah jalan-jalan sama Mama, pasti capek "
" Raras . . . " Tante Ambar nampak cemas.
" Nggak papa Ma, Raras bisa naik Taxi "
" Gini aja Tante, Tresno antar Tante sama Ibu ke
apartemen Raras, habis itu Tresno Antar Raras ke kantornya ambil berkas, gimana
Raras? "
" Tapi nanti muternya kejauhan No " Raras
mencoba membantah.
" Kalau gitu Mama setuju sayang " Tante Ambar
nampak menyetujui usulku.
" Benar, lebih aman kalau kamu sama Tresno "
Ibu menimpali, Raras menghela nafas panjang, nampaknya ia pasrah dengan
keputusan Mamanya. Daripada tidak sama sekali, bukannya lebih baik jika kami
pergi bersama.
***
" Kamu beneran cuma mau ambil berkas? " tanyaku
setelah kami tiba di depan kantor Raras.
" Aku mau lembur, terserah kamu mau kemana setelah
ini, kalau udah selesai nanti kamu aku telefon " kembali seperti semula, Raras yang kukenal.
" Aku tunggu kamu "
" Terserah " dia keluar dari mobil, sementara
aku menuju parkir mobil di basement.
Nampaknya divisi Public
Relations memang sedang lembur, ruangan ini masih dipenuhi pekerja. Dua
perempuan yang tadi sedang menggosip di sepanjang lorong, nampak berbisik
setelah melihat kehadiranku. Apa perduliku dengan yang mereka bicarakan?
Aku masuk ke kantor Raras, pendingin ruangan sudah
dimatikan, yang ada hanya sebuah kipas angin yang tentunya tak bisa
mendinginkan ruangan sebesar ini. Raras sudah duduk dimejanya, tenggelam dalam
berkas-berkas yang dibacanya. Sementara aku memilih untuk duduk di sofa, di
tengah ruangannya.
Kulihat jam di dinding, sudah pukul 24.00 tapi kulihat
Raras belum berniat mengakhiri, pekerjaannya. Padahal ruangan di lantai satu
sudah kosong. Benar-benar perempuan yang gila kerja.
" Kenapa kamu nggak pulang aja, kudengar tadi deadline yang kamu berikan sampai jam
makan siang besok? "
" Siapa yang mau bertanggung jawab jika selama dua
belas jam nanti kondisi perusahaan semakin buruk? Satu detik juga sangat
berharga"
" Lalu mengapa kamu ijinkan mereka pulang? "
" Bukan urusanmu "
" Kamu kasihan sama mereka? Tapi apa kamu nggak
kasihan sama dirimu sendiri? "
" Bukan urusanmu " jawabnya sekali lagi, dan
aku memilih untuk diam. Akhirnya aku mencoba untuk tidur, meringkuk di sofa,
menunggu perempuan gila kerja ini bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar