Kamis, 03 April 2014

Tresno - Pernikahan



PERNIKAHAN
“ Mungkin bagimu pernikahan hanyalah sebuah kontrak yang menyangkut masalah uang, keturunan dan keluarga. Tapi bagiku, pernikahanlah yang telah memperkenalkanku padamu, menyatukan kita dan terimakasih untuk kata “ ya “ yang terucap dari bibirmu, meskipun sebenarnya itu tak berarti bagimu “

Ini sudah batang yang kelima sejak satu jam yang lalu. Ada banyak perubahan sejak kata “ iya “ terucap dari bibirku, terutama tentang rokok. Saat ini hidupku terasa tak bisa dipisahkan dengan benda ini. Padahal sebelumnya menghirup asapnya saja membuatku tak henti-hentinya terbatuk.
“ Bang, Abang yakin mau nikah sama mbak Raras? “ Aji, adikku satu-satunya, tiba-tiba saja melontarkan sebuah pertanyaan yang aku sendiri tak pernah tau jawabannya.
“ Kalau aku bilang nggak yakin, apa mungkin aku membatalkan pernikahan ini? “ kuhembuskan asap rokok yang tadi kuhisap dalam-dalam.
“ Gila kamu bang, jangan lah, tinggal sejam lagi, ibu bisa shock “
“ Trus ngapain kamu nanya pertanyaan konyol itu? Bego
“ Aku cuma ngerasa kasihan aja bang sama kamu “ Bahkan Aji, anak ingusan ini merasa kasihan dengan hidupku. “ Oia Bang, Dimas diundang? “ Aku mengangguk “ Jangan sampai dia bikin keributan “ Aji memperingatkan. Dan kenyataan Dimas akan datang dalam acara pernikahanku semakin membuat uratku menegang. Kubuang puntung rokokku yang telah habis, dan kusulut lagi batang rokok yang masih utuh. Meskipun hari ini belum kulalui seutuhnya, entah mengapa aku sudah merasa sangat lelah.
***
Hari ini hari pernikahanku, namun tak seperti pengantin kebanyakan. Saat berada di pelaminan, seluruh ototku terasa menegang. Hidupku berakhir hari ini. Entah mengapa aku merasa Raras lebih terlihat santai jika dibandingkan denganku, dia masih bisa menyunggingkan senyumnya kepada tamu yang datang. Ah, aku lupa. Raras memang pemain lakon yang baik.
“ Ya ampun, kalian menikah? Tau gini dulu aku nggak bakal berani pukul kamu No, siapa yang nyangka kalau kalian jodoh “ Bobby, sepupu Raras. Hari ini aku tak ingin meladeninya.
“ Udah Bob, nggak usah cari perkara “ ancam Raras, tau tabiat sepupunya yang memang suka cari perkara.
“ Seperti biasa, apapun yang anda perintahkan tuan puteri “ Bobby memeluk Raras “ Semoga kamu bahagia ya puteriku “ ucap Bobby tulus.
“ Bob, aku bukan anak kecil lagi “ Raras melepaskan pelukan Bobby dan setelah sesi foto, Bobby turun dari pelaminan. Laki-laki ini, aku juga sangat membencinya.
Setengah jam kemudian, ketika sahabat-sahabatku datang. Entah mengapa tubuhku semakin merasa menegang, salah satu diantara mereka, aku tak tau apa yang akan dilakukannya.
“ Wah selamat “ Dimas menjabat tangan Raras, dan sedetik kemudian dia sudah menariknya kedalam pelukannya, aku semakin menegang, apa yang dilakukan pria bodoh ini, bagaimana pandangan semua orang jika melihat pemandangan ini dan Raras yang tadinya tenang kini mulai terlihat panik. Dimas nampak berbisik di telinga Raras, Raras mencengkeram tanganku, berusaha untuk tidak terjatuh. Ini bukan Raras yang biasanya, Raras yang tanpa emosi dan selalu percaya diri. Raut muka Raras benar-benar terlihat pucat. Apa yang dibicarakan Dimas hingga Raras bisa seperti ini?
Kucengkeram lengan Dimas, memperingatkannya dimana dia berada.
“ Sorry, nggak bisa nahan liat Raras “ Dimas tersenyum, “ Sorry . . . “ sekali lagi Dimas mengucapkan kata “ Sorry “ tanpa bersuara. Tapi meskipun demikian suasana masih terasa kaku, begitupula dengan Raras. Senyum yang tadi tersungging dibibirnya, kini terlihat menghilang.
Aku melihat ke arah Ibu dan beliau terlihat cemas, namun sedetik kemudian beliau mengangguk dan tersenyum padaku. " Foto " Ibu mengisyaratkan kepada fotografer untuk mengambil gambar kami. Lagi-lagi Dimas berulah, ia berdiri di dekat Raras. Menggandeng tangan Raras, dan tersenyum tanpa dosa. Sial, apa yang dilakukannya. Refleks kutarik tangan Raras yang Dimas gandeng, setelah terlepas. Aku menarik tangan Dimas untuk berdiri didekatku saja.
" Apa kamu sudah menyadari perasaanmu yang sebenarnya? " Dimas berbisik mengejek, dan seluruh tubuhku menegang. Apa yang dibicarakannya. Perasaan apa. Sepertinya dia masih menaruh dendam padaku sejak peristiwa itu.
Setelah berfoto, ia kembali bersalaman dengan Raras. Memandangnya lama dan tersenyum.
" Ingat yang aku katakan tadi dan aku juga nggak akan sok baik dengan mendoakan kalian bahagia " katanya sambil berlalu, Dimas berbalik “ Ah, kamu selalu cantik “
" Apa yang Dimas katakan? " tanyaku pada Raras, setelah teman-temanku turun dari pelaminan.
" Bukan urusanmu " selalu saja begitu. Aku memutuskan akan bertanya langsung pada Dimas, tapi apa dia akan menjawab pertanyaanku? Setelah perang dingin yang kami lalui selama ini.
***
Ruang resepsi pernikahanku sudah sepi, namun Dimas, Angga dan teman-teman masa SMAku belum juga beranjak dari duduknya. Aku memutuskan untuk menghampiri mereka dan memperingatkan Dimas mengenai Raras. Apapun yang pernah terjadi dulu, saat ini Raras adalah Istriku.
" Apa yang kamu lakukan? " tanyaku geram kepada Dimas, dia memang sahabatku, tapi apa yang dilakukannya barusan bisa mencoreng nama keluargaku, yang artinya juga menyangkut ibu dan bapak.
" Apa? " tanyanya tanpa rasa bersalah.
" Dimas, sorry kalau dulu aku pernah nyakitin kamu, tapi sekarang keadaannya udah berbeda. Raras, sekarang perempuan itu adalah istriku "
" Apa perduliku? " jawabnya cuek, membuat darahku semakin mendidih.
" Apa kamu masih mencintainya? "
" Kalau iya kenapa dan kalau nggak kenapa? " refleks aku meninju muka Dimas, “ Jauhi Raras! “ desisku marah dan sontak tamu yang masih ada dalam ruangan menjerit melihat peristiwa ini. Aku tak perduli dengan pendapat mereka. Yang terpenting saat ini adalah memperingatkan Dimas. Aku sangat kenal laki-laki ini, dia bisa saja melakukan hal-hal bodoh yang tak pernah terfikirkan oleh otak orang waras. Dia memang benar-benar brengsek, seharusnya aku tak membelanya saat Dinda mencela laki-laki ini. Saat Dimas ingin membalas pukulanku, Angga melerainya. " Kalian gila? Apa kata orang!! "
" Apa ini tempat bermain kalian? " Raras, perempuan tanpa ekspresi itu akhirnya menghampiri kami. Kurasa rasa takutnya sedikit memudar. Auranya sudah kembali seperti semula.
" Bukan urusanmu " kali ini aku meminjam kalimat Raras dan berhasil melafalkannya dengan nada dan intonasi yang biasa digunakannya. Raras tersenyum mengejek.
" Masalah apa yang sedang kalian bahas sampai terjadi pertunjukkan tinju seperti tadi, aku? Berarti itu juga masalahku " jawabnya enteng.
" Kenapa kamu jadi seperti ini, bukan seperti Raras yang kukenal " Dimas tertawa mengejek, melihat betapa dinginnya Raras " Apa karena dia? " Dimas menunjuk ke arahku.
" Apa sekarang kau menertawakanku? " tanya Raras sarkatis.
" Aku hanya simpati padamu, laki-laki yang sekarang bersamamu, adalah laki-laki yang dulu menyakitimu "
" Tapi sayangnya aku tak butuh simpatimu "
" Kamu memang bukan Raras yang dulu, tapi sampai sekarang sepertinya aku masih mencintaimu "
" Cukup Dimas, lebih baik kamu pulang, sikapmu hari ini benar-benar memuakkan " aku sudah tak tahan dengan kelakuan sahabatku ini.
" Kenapa? Apa yang memuakkan? Setidaknya aku jujur dengan perasaanku, jika dibandingkan dengan orang munafik didepanku " Raras menggenggam tanganku, seolah memberi isyarat " Apa yang sedang kamu lakukan? Semua mata memandang ke arah kita "
" Dimas Aditya, ini pernikahan saya. Sepertinya saat ini anda tak diharapkan untuk hadir disini, anda memilih pergi baik-baik atau perlu saya panggilkan petugas keamanan? "
" Aku akan pergi, tapi kamu harus ingat apa yang aku katakan tadi " Raras terdiam, nampaknya dia sedang memikirkan sesuatu.
" Dimas " Dimas menghentikkan langkahnya ketika Raras memanggil namanya.
" Dari awal, memang bukan kamu dan kamu tau betul itu " Dimas tak menjawab, ia nampak kesal dan akhirnya benar-benar pergi meninggalkan ruang resepsi. Aku melihat Raras, ia menghela nafas lelah.
***
Sepertinya taman depan rumah Raras adalah tempat favoritku hari ini. Bahkan sebelum aku mengganti pakaian pernikahanku, aku sudah menghabiskan satu batang rokok disini. Firasatku benar, hari ini benar-benar melelahkan.
" Woi ngelamun aja pengantin baru ini " Aji, tanpa kusadari dia sudah duduk disampingku.
" Ngapain kamu? " aku merebut rokok yang ada di tangan Aji dan memasukkannya lagi ke dalam bungkusnya.
" Yaelah Bang, kan aku udah kuliah "
" Nggak pakek, rokok bikin cepet mati "
" Tuh Abang tau, tapi napa tetep aja masih rokokan kayak kereta api batu bara? " Aji nampak kesal karena larangannku, " Abang pengen cepet mati ya? Jangan Bang, kalau Mbak Raras jadi janda ntar Dimas bisa kesenengan " Aji berbisik dan refleks kupukul kepalanya agar dia sedikit sadar.
" Bang, hari ini hobby banget mukul orang, kerasukan hantu preman ya " aku tak menghiraukan teriakan Aji.
" Wah Bang, Dimas gila ya, tapi masih gila kamu kok Bang, masak di hari pernikahan sendiri malah mukul orang, di depan tamu undangan pula "
" Anak kecil nggak usah ikut campur "
" Bang, aku udah 20 tahun "
" Tapi aku 30 tahun "
" Eh tapi Mbak Raras tadi keren ya, dingin gitu kayaknya, aduh jadi ngefans dech sama kakak iparku itu "
Aji benar, jika dibandingkan dengan sikapku Raras memang terlihat keren. Bagaimana dia bisa bersikap sedingin itu? Padahal sebelumnya dia nampak ketakutan melihat kedatangan Dimas. Raras benar-benar bisa mengontrol dan menyembunyikan emosinya dengan baik.
" Nggak ribet Bang pake baju gituan? " tanya Aji kasihan melihat pakaianku, dan aku baru sadar, belum mengganti pakaianku.
***
Aku memasuki kamar pengantinku. Sebuah ruangan yang dihiasi beraneka macam bunga. Apa-apaan ini, bagaimana kalau kami disengat lebah jika ada banyak bunga di sini? Tanyaku keheranan tak mengerti fikiran orang-orang yang mendekor ruangan ini.
Sepertinya ini  kamar Raras, ada beraneka macam buku yang di tata rapi di sebuah rak. Ada sebuah meja kerja kecil dan sebuah meja rias, dipojok ruangan ada sebuah lemari besar, nampaknya lemari pakaian. Dan hal yang membuatku yakin ini adalah kamar Raras adalah sebuah foto berukuran besar yang ada di atas ranjang, foto Raras.
Aku memilih duduk diatas ranjang, dan menyingkirkan kelopak bunga mawar putih yang memenuhi ranjang. Memang gila ini orang dekorasinya, fikirku kesal. Tak berapa lama kemudian Raras masuk ke dalam kamar. Ia sudah berganti pakaian, riasan make upnya sudah dibersihkan meskipun bekasnya masih sedikit terlihat. Yang membuatku ingin tertawa adalah rambutnya yang masih terlihat seperti jambul singa. Untung aku dilahirkan sebagai laki-laki, bagaimana kalau aku jadi perempuan, rambut disanggul dan di sasak seperti itu. Tak bisa membayangkan betapa pusingnya kepalaku.
" Ada yang lucu? " tanya Raras ketika melihat seringaiku dan aku hanya menggeleng.
" Nggak ada TV disini? " tanyaku bosan.
" Ada di ruang keluarga, aku nggak suka nonton TV, acaranya nggak mutu semua "
" Trus kamu ngapain kalau dikamar? " tanyaku iseng dan Raras menunjuk ke arah rak bukunya untuk menjawab pertanyaanku, dapat ditebak dari rak bukunya yang tertata rapi bahwa perempuan ini selain gila kerja juga gila membaca.
" Ganti gih pakaiannnya, udah di tungguin bajunya " Raras duduk di meja riasnya dan berusaha mengurai rambutnya.
" Ok " aku beranjak dari dudukku.
" Loh, kamu mau kemana? Ganti disini aja, kalau kamu ganti di ruangan lain, orang-orang bisa curiga " jawab Raras enteng.
" Kenapa? Aku nggak mungkin tertarik sama kamu " Raras tersenyum mengejek melihat ekspresi wajahku yang nampak terkejut. Dia melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan pandangan mengejek, menunjukku dengan jari telunjukknya dan menggeleng sarkatis. Seolah berkata " Hallo, aku nggak tertarik dengan laki-laki seperti kamu ".
Akhirnya aku menurut saja, mencoba melepas kain yang membebat tubuhku. Tapi ini nampak begitu sulit. Raras menghampiriku, mungkin karena kasihan melihatku tak bisa melepas kain-kain ini sendiri.
" Kamu nggak ada mulut ya buat bilang tolong? " tanyanya ketus dan aku hanya diam. Raras membantuku melepas satu persatu kain yang membebat tubuhku. Sedekat ini dengan Raras entah mengapa membuatku sedikit berdebar, dari kejauhan kulihat ekspresiku di cermin. Wajahku terlihat memerah dan ketika aku melihat Raras, benar-benar masih tetap sama, tak ada reaksi apapun.
" Mmm . . . udah Ras, aku bisa sendiri kok " Raras berhenti melepasi kainku dan memandangku, membuatku salah tingkah.
" Nggak usah berimajinasi yang bukan-bukan " katanya tenang dan membuatku semakin salah tingkah, bagaimana dia bisa menyadarinya.
***
" Kalian mau bulan madu kemana? Udah ada rencana? " Ibu menanyai kami saat makan malam.
" Di Jakarta aja Tante, Raras cuma bisa ngambil cuti seminggu "
" Kok panggil Tante sich, panggil Ibu donk sayang "
" Ah, ia bu "
" Ya ampun Raras, kamu masih aja mikirin kerja " Tante Ambar datang sambil membawa mangga yang sudah dikupas.
" Benar kata Mama kamu sayang, sekarang prioritas utama kamu adalah keluarga " Om Ali, Papa Raras menimpali dan Raras hanya tersenyum.
" Ah ini ayo diminum " Bapak keluar dari dapur sambil membawa dua gelas yang dapat ditebak berisi jamu.
" Ah, maaf Pak, lambung saya nggak bisa kalau dikasih jamu-jamuan, bisa seharian sakit malahan " Raras menolak secara halus ketika Bapak menyodorinya segelas jamu.
" Yah, kalau gitu semuanya buat Tresno aja , ayo diminum "
" Jamu apa ini Pak, Tresno kan nggak sakit "
" Udah diminum aja, kamu ini mesti mbantah kata-kata orang tua, lagian mana mungkin bapak kasih racun ke kamu " Bapak memaksaku untuk meminum dua gelas jamu sekaligus, saat aku melirik Raras, ia sedang mengusap wajahnya, menyembunyikan seringai geli di bibirnya.
***
Saat kami masuk ke dalam kamar, Raras tak dapat menyembunyikan tawanya lagi.
" Bapak kamu lucu ya? " lagi-lagi dia tertawa.
" Jamu apa sich tadi, pahit banget "
" Kamu fikir jamu apa yang dikasih ke pengantin baru? " Raras tertawa dan kali ini benar-benar keras. Ah, mampus, aku baru menyadarinya dan aku meminum dua gelas sekaligus. " Kalau bego, itu nggak sampe segitunya kali No "
" Trus tadi . . . jadi kamu . . . " seperti orang bodoh aku baru menyadari kalau tadi Raras sudah berhasil menolak meminum jamu yang diberikan Bapak.
" Ya tadi cuma pura-pura lah, Tresno lambungku nggak akan protes kalau cuma minum jamu segelas " Aku mengacak-acak rambutku kesal.
" Nampaknya kamu perlu diikat supaya malam ini aku aman " Raras, nampaknya dia sangat puas membuat lelucon tentang aku. Dengan kesal, kuambil selimut tebal dan sebuah bantal. Menatanya dilantai, untuk alas tidurku.
" Kamu yakin mau tidur di situ? Dingin lo, kalau AC nya dinyalain "
" Biar kamu aman " kataku kesal, dan Raras kembali tertawa.
" Kamu yakin nggak mau tidur sama aku? " katanya menggoda, aku berusaha mengabaikannya. Kututup telingaku dengan bantal, malam ini aku melihat sisi lain dari Raras. Seharusnya ia selalu seperti ini, tertawa dan tertawa. Karena dia terlihat berbeda jika tertawa, sangat cantik.
***
Kamar Raras begitu gelap, hanya diterangi seberkas cahaya lampu jalan yang masuk melewati sela-sela jendela. Sepertinya efek dari jamu yang diberikan Bapak baru saja bereaksi. Aku benar-benar tak bisa tidur. Jantungku berdebar begitu kencang, meskipun AC dinyalakan, keringat bercucuran dari seluruh tubuhku. Fikiranku benar-benar kacau, apa yang harus kulakukan.
Tanpa menimbulkan suara, aku memilih untuk melakukan sit up dan push up. Tapi semuanya sia-sia. Aku melihat ke arah Raras, dia sudah tertidur. Aku mencoba mendekati Raras, melihat wajahnya yang tenang dalam tidurnya. Membuatku semakin gelisah.
Mungkin jika aku menciumnya dia tak akan terbangun. Setelah jarak wajah kami tinggal beberapa centimeter lagi, aku memutuskan untuk mengurungkan niatku. Takut tiba-tiba dia terbangun dan berteriak. Ah, apa yang kau fikirkan Tresno, ingat perjanjian kalian. Tapi nampaknya dia tertidur sangat pulas, aku rasa tak apa jika aku melakukannya dengan lembut. Ah tidak, bagaimana kalau setelah menciumnya aku menginginkan lebih.
Bodoh dengan semua itu, aku belum mencobanya. Akhirnya kuberanikan diri untuk mencium Raras. Saat jarak wajah kami tinggal beberapa centi, tiba-tiba saja Raras terbangun.
" Apa yang kamu lakukan? " aku hanya bisa mematung, Raras tiba-tiba saja terbangun.
Raras memukulku dengan boneka beruang besarnya, menyadarkanku. Ia menyalakan lampu tidur dan duduk di ranjangnya.
" Apa kamu benar-benar nggak bisa nahan efek jamunya? " tanyanya prihatin dan aku tak bisa menjawab, merasa malu atas apa yang telah kulakukan.
Raras melemparkan boneka beruangnya. " Peluk aja boneka itu dan berhitung sampai kamu ngantuk " Raras mematikan lampu tidurnya. " Oia, jangan lakukan hal-hal bodoh sepert apa yang kamu lakukan barusan kalau kamu nggak mau mati " ancamnya. Akhirnya aku menuruti apa yang diperintahkan Raras, memeluk boneka beruang sambil berhitung, hingga akhirnya aku tertidur.
***
Hari ini orang tuaku dan orang tua Raras mengantarkan aku dan Raras ke Stasiun. Kami akan pulang ke Jakarta. Entah apa yang sedang difikirkan artis baru ini, dari tadi dia memeluk pingganggku, membuatku sedikit kikuk. Apalagi ejekan dari Aji yang tak henti-hentinya di lontarkan dari mulut usilnya.
" Ya ampun, pengantin baru ini mesra banget ya "
" Hush, anak kecil nggak boleh bilang gitu "
" Ibu, Aji kan udah kuliah, masih aja dianggap anak kecil "
" Aji benar Jeng, kalau begini kan kita jadi cepet nimang cucunya " Tante Ambar membela Aji, dan membuatku terbatuk.
" Sayang, kamu nggak papa? " Raras mengelus dadaku dengan lembut. Sayang? Perempuan ini benar-benar gila. Bagaimana aktingnya bisa sebagus ini, seharusnya daripada menjadi seorang Public Relations, perempuan ini lebih cocok menjadi seorang artis.
" Aku nggak papa " jawabku kikuk, jelas aku tak bisa berkata dengan biasa, aku tidak sedang berakting lagipula aku juga tak pandai berakting.
" Kami pamit dulu ya Bu, Ma " Aku berpamitan mencium kedua tangan orang tuaku dan kedua mertuaku bergantian. Memeluk Aji. Begitupula dengan Raras.
" Titip Raras ya Nak Tresno " Tante Ambar mulai menangis. Ah, drama queen banget Mama Raras ini.
" Pasti Ma " Aku mengecup pipi Raras, dan sontak dia terlihat kaget. Tapi karena berada didepan orang tua kami, dia tak bisa berkata apa-apa.
" Yeks, aku pengen muntah " Aji tertawa mengejek melihatku mencium pipi Raras.
Raras masih memeluk pinggangku sampai di petugas pemeriksaan karcis. Namun saat berada di dalam ruang tunggu, dimana orang tua kami tidak boleh masuk, yang artinya tidak bisa melihat apa yang sedang kami lakukan. Perempuan ini memperlihatkan sikap aslinya.
" Awww, apa yang kamu lakukan " aku berteriak kesal karena Raras menendang kakiku.
" Awas ya kalau kamu mencuri kesempatan lagi "
" Siapa yang mencuri kesempatan? Aku cuma berakting, masa cuma kamu yang bisa berakting " Raras tak membalas kata-kataku, hanya dapat terlihat jelas dari raut mukanya bahwa dia sangat kesal dan membuatku tersenyum puas melihatnya.
Mmm . . . tapi membuat Raras kesal, kenapa membuatku begitu senang?
***
Saat berada didalam kereta api, sepertinya Raras masih nampak kesal. Dia hanya diam, dan aku juga tak berniat untuk berbicara dengannya. Sesampainya stasiun pemberhentian selanjutnya, ada seorang laki-laki, mungkin seusia Aji, duduk di samping Raras.
" Mbak mau turun mana? " tanyanya basa-basi pada Raras. Apa-apaan anak ingusan ini, apa dia tak melihat Raras sedang bersamaku? Sengaja kumainkan tangan Raras didepannya, bukannya menarik perhatian bocah ingusan itu, Raras malah menarik tangannya kasar. Argh, aku benar-benar tak suka melihatnya, seharusnya aku membeli tiga tiket agar satu sisa bangku tak diduduki orang lain.
Apa yang harus kulakukan, seharusnya aku duduk di tengah dan membiarkan Raras duduk di dekat jendela, tapi apa yang harus kukatakan? Kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa aku jadi perduli siapa yang akan duduk di dekat Raras.
" Ada acara apa Mbak ke Jakarta? " bocah ini benar-benar terlalu ingin tahu, apa urusannya dengan " apa yang akan dilakukan teman sebangkunya di kereta api di Jakarta " benar-benar membuatku muak. Selintas sebuah ide cemerlang melintas di kepalaku.
" Aku mau ke kamar mandi dulu " aku berdiri dan tak ada respon dari Raras. Sebenarnya aku tak ingin ke kamar mandi, tapi inilah satu-satunya cara agar Raras pindah tempat duduk. Setelah merasa aman, aku kembali ke kursiku " Minggir " aku menyuruh Raras menggeser duduknya, Raras tak menjawab hanya memberikan tanda dengan jari telunjuknya agar aku duduk di tempat semulaku. " Minggir " ulangku lagi, dengan paksa, aku duduk di antara Raras dan pemuda tadi dan akhirnya Raras mengalah, walaupun diikuti dengan cibiran kesal dari mulutnya. Berhasil, fikirku senang.
Langit terlihat gelap, dan jam ditanganku menunjukkan pukul 23.00. Sudah malam rupanya, kulihat Raras sudah mulai mengantuk. Kepalanya disandarkan di dinding gerbong, pasti tak nyaman. Dengan perlahan, kuletakkan kepalanya di bahuku. Mungkin dia terlalu kecapaian, hingga tak merasakan apa yang sedang kulakukan. Aku tersenyum puas ketika si Pemuda melihat ke arah kami, sekarang tau bukan, perempuan ini adalah istriku. Ini masih belum seberapa, kugenggam tangan kanannya, sengaja kuperlihatkan cincin pernikahan kami kepada pemuda itu dan setelah melihat ekspresi pemuda tadi, aku tertidur puas dengan tetap menggenggam tangan Raras. Argh, bodoh dengan reaksi Raras besok, yang terpenting sekarang adalah membuat pemuda di sampingku ini menjauh.
***
"Aku pulang dulu " aku berpamitan setelah membantu Raras membawa barang-barangnya masuk ke apartemen.
" Kamu nggak pindah ke sini aja? Akan lebih mudah untuk kita berpura-pura didepan orang tua kita, kalau kamu pindah disini, kamu bisa pakai kamar tamu "
" Tapi ini rumahmu, aku di bisa di kontrakan saja "
" Lagipula kamu bisa lebih menghemat uang "
" Lebih nyaman tinggal di kontrakan "
" Terserah kamu sajalah " akhirnya Raras mengalah.
Sebetulnya ide Raras untuk tinggal bersama adalah sebuah ide yang bagus. Jadi ketika orang tua kami mengunjungi kami. Akan lebih mudah bagi kami untuk berbohong. Lagipula benar katanya, ini akan menghemat uang, aku tak perlu membayar kontrakan.
Tapi aku merasa sangat tidak nyaman jika harus tinggal berdua dengan Raras, meskipun sekarang perempuan ini adalah istriku, sebenarnya dia hanyalah perempuan asing yang telah menyepakati sebuah kontrak pernikahan denganku, demi keluarga kami yang begitu menginginkan pernikahan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar