PERNIKAHAN
“ Mungkin
bagimu pernikahan hanyalah sebuah kontrak yang menyangkut masalah uang,
keturunan dan keluarga. Tapi bagiku, pernikahanlah yang telah memperkenalkanku
padamu, menyatukan kita dan terimakasih untuk kata “ ya “ yang terucap dari
bibirmu, meskipun sebenarnya itu tak berarti bagimu “
Ini
sudah batang yang kelima sejak satu jam yang lalu. Ada banyak perubahan sejak
kata “ iya “ terucap dari bibirku, terutama tentang rokok. Saat ini hidupku
terasa tak bisa dipisahkan dengan benda ini. Padahal sebelumnya menghirup asapnya saja membuatku tak henti-hentinya
terbatuk.
“
Bang, Abang yakin mau nikah sama mbak Raras? “ Aji, adikku satu-satunya, tiba-tiba saja
melontarkan sebuah pertanyaan yang aku sendiri tak pernah tau jawabannya.
“
Kalau aku bilang nggak yakin, apa mungkin aku membatalkan pernikahan ini? “
kuhembuskan asap rokok yang tadi kuhisap dalam-dalam.
“
Gila kamu bang, jangan lah, tinggal sejam lagi, ibu bisa shock “
“
Trus ngapain kamu nanya pertanyaan konyol itu? Bego “
“
Aku cuma ngerasa kasihan aja bang sama kamu “ Bahkan Aji, anak ingusan ini
merasa kasihan dengan hidupku. “ Oia Bang, Dimas diundang? “ Aku
mengangguk “ Jangan sampai dia bikin keributan “ Aji memperingatkan. Dan
kenyataan Dimas akan datang dalam acara pernikahanku semakin membuat uratku menegang. Kubuang puntung rokokku yang telah habis, dan kusulut
lagi batang rokok yang masih utuh. Meskipun hari ini belum kulalui seutuhnya, entah
mengapa aku sudah merasa sangat lelah.
***
Hari
ini hari pernikahanku, namun tak seperti pengantin kebanyakan. Saat berada di
pelaminan, seluruh ototku terasa menegang. Hidupku berakhir hari ini. Entah
mengapa aku merasa Raras lebih terlihat santai jika dibandingkan denganku, dia
masih bisa menyunggingkan senyumnya
kepada tamu yang datang. Ah, aku lupa.
Raras memang pemain lakon yang baik.
“ Ya ampun, kalian menikah? Tau gini dulu aku nggak bakal
berani pukul kamu No, siapa yang nyangka kalau kalian jodoh “ Bobby, sepupu
Raras. Hari ini aku tak ingin meladeninya.
“ Udah Bob, nggak usah cari
perkara “ ancam Raras, tau tabiat sepupunya yang memang suka cari perkara.
“
Seperti biasa, apapun yang anda perintahkan tuan puteri “ Bobby memeluk Raras “
Semoga kamu bahagia ya puteriku “ ucap Bobby tulus.
“
Bob, aku bukan anak kecil lagi “ Raras melepaskan pelukan Bobby dan setelah
sesi foto, Bobby turun dari pelaminan. Laki-laki ini, aku juga sangat
membencinya.
Setengah jam kemudian, ketika sahabat-sahabatku datang.
Entah mengapa tubuhku semakin merasa menegang, salah
satu diantara mereka, aku tak tau apa yang akan dilakukannya.
“
Wah selamat “ Dimas menjabat tangan Raras, dan sedetik kemudian dia sudah
menariknya kedalam pelukannya, aku semakin menegang, apa yang dilakukan pria
bodoh ini, bagaimana pandangan semua orang jika melihat pemandangan ini dan
Raras yang tadinya tenang kini mulai terlihat panik. Dimas nampak berbisik di telinga Raras, Raras
mencengkeram tanganku, berusaha untuk tidak terjatuh. Ini bukan Raras yang
biasanya, Raras yang tanpa emosi dan selalu percaya diri. Raut muka Raras
benar-benar terlihat pucat. Apa yang dibicarakan Dimas hingga Raras bisa
seperti ini?
Kucengkeram
lengan Dimas,
memperingatkannya dimana dia berada.
“
Sorry, nggak bisa nahan liat Raras “ Dimas tersenyum, “ Sorry . . . “ sekali
lagi Dimas mengucapkan kata “ Sorry “ tanpa bersuara. Tapi meskipun demikian
suasana masih terasa kaku, begitupula dengan Raras. Senyum yang tadi
tersungging dibibirnya, kini terlihat menghilang.
Aku melihat ke arah Ibu dan beliau terlihat cemas, namun
sedetik kemudian beliau mengangguk dan tersenyum padaku. " Foto " Ibu
mengisyaratkan kepada fotografer untuk mengambil gambar kami. Lagi-lagi Dimas
berulah, ia berdiri di dekat Raras. Menggandeng tangan Raras, dan tersenyum
tanpa dosa. Sial, apa yang dilakukannya. Refleks kutarik tangan Raras yang
Dimas gandeng, setelah terlepas. Aku menarik tangan Dimas untuk berdiri
didekatku saja.
" Apa kamu sudah menyadari perasaanmu yang
sebenarnya? " Dimas berbisik mengejek, dan seluruh tubuhku menegang. Apa
yang dibicarakannya. Perasaan apa. Sepertinya dia masih menaruh dendam padaku
sejak peristiwa itu.
Setelah berfoto, ia kembali bersalaman dengan Raras.
Memandangnya lama dan tersenyum.
" Ingat yang aku katakan tadi dan aku juga nggak
akan sok baik dengan mendoakan kalian bahagia " katanya sambil berlalu,
Dimas berbalik “ Ah, kamu selalu cantik “
" Apa yang Dimas katakan? " tanyaku pada Raras,
setelah teman-temanku turun dari pelaminan.
" Bukan urusanmu " selalu saja begitu. Aku
memutuskan akan bertanya langsung pada Dimas, tapi apa dia akan menjawab
pertanyaanku? Setelah perang dingin yang kami lalui selama ini.
***
Ruang resepsi pernikahanku sudah sepi, namun Dimas, Angga
dan teman-teman masa SMAku belum juga beranjak dari duduknya. Aku memutuskan
untuk menghampiri mereka dan memperingatkan Dimas mengenai Raras. Apapun yang
pernah terjadi dulu, saat ini Raras adalah Istriku.
" Apa yang kamu lakukan? " tanyaku geram kepada
Dimas, dia memang sahabatku, tapi apa yang dilakukannya barusan bisa mencoreng
nama keluargaku, yang artinya juga menyangkut ibu dan bapak.
" Apa? " tanyanya tanpa rasa bersalah.
" Dimas, sorry kalau dulu aku pernah nyakitin kamu,
tapi sekarang keadaannya udah berbeda. Raras, sekarang perempuan itu adalah
istriku "
" Apa perduliku? " jawabnya cuek, membuat
darahku semakin mendidih.
" Apa kamu masih mencintainya? "
" Kalau iya kenapa dan kalau nggak kenapa? " refleks aku
meninju muka Dimas, “ Jauhi Raras! “ desisku marah dan sontak tamu yang masih ada dalam ruangan menjerit
melihat peristiwa ini. Aku tak perduli dengan pendapat mereka. Yang terpenting
saat ini adalah memperingatkan Dimas. Aku sangat kenal laki-laki ini, dia bisa
saja melakukan hal-hal bodoh yang tak pernah terfikirkan oleh otak orang waras.
Dia memang benar-benar brengsek, seharusnya aku tak membelanya saat Dinda
mencela laki-laki ini. Saat Dimas ingin membalas pukulanku, Angga melerainya.
" Kalian gila? Apa kata orang!! "
" Apa ini tempat bermain kalian? " Raras,
perempuan tanpa ekspresi itu akhirnya menghampiri kami. Kurasa rasa takutnya
sedikit memudar. Auranya sudah kembali seperti semula.
" Bukan urusanmu " kali ini aku meminjam
kalimat Raras dan berhasil melafalkannya dengan nada dan intonasi yang biasa
digunakannya. Raras tersenyum mengejek.
" Masalah apa yang sedang kalian bahas sampai
terjadi pertunjukkan tinju seperti tadi, aku? Berarti itu juga masalahku "
jawabnya enteng.
" Kenapa kamu jadi seperti ini, bukan seperti Raras
yang kukenal " Dimas tertawa mengejek, melihat betapa dinginnya Raras
" Apa karena dia? " Dimas menunjuk ke arahku.
" Apa sekarang kau menertawakanku? " tanya
Raras sarkatis.
" Aku hanya simpati padamu, laki-laki yang sekarang
bersamamu, adalah laki-laki yang dulu menyakitimu "
" Tapi sayangnya aku tak butuh simpatimu "
" Kamu memang bukan Raras yang dulu, tapi sampai
sekarang sepertinya aku masih mencintaimu "
" Cukup Dimas, lebih baik kamu pulang, sikapmu hari
ini benar-benar memuakkan " aku sudah tak tahan dengan kelakuan sahabatku
ini.
" Kenapa? Apa yang memuakkan? Setidaknya aku jujur
dengan perasaanku, jika dibandingkan dengan orang munafik didepanku "
Raras menggenggam tanganku, seolah memberi isyarat " Apa yang sedang kamu
lakukan? Semua mata memandang ke arah kita "
" Dimas Aditya, ini pernikahan saya. Sepertinya saat
ini anda tak diharapkan untuk hadir disini, anda memilih pergi baik-baik atau
perlu saya panggilkan petugas keamanan? "
" Aku akan pergi, tapi kamu harus ingat apa yang aku
katakan tadi " Raras terdiam, nampaknya dia sedang memikirkan sesuatu.
" Dimas " Dimas menghentikkan langkahnya ketika
Raras memanggil namanya.
" Dari awal, memang bukan kamu dan kamu tau betul
itu " Dimas tak menjawab, ia nampak kesal dan akhirnya benar-benar pergi
meninggalkan ruang resepsi. Aku melihat Raras, ia menghela nafas lelah.
***
Sepertinya taman depan rumah Raras adalah tempat
favoritku hari ini. Bahkan sebelum aku mengganti pakaian pernikahanku, aku
sudah menghabiskan satu batang rokok disini. Firasatku benar, hari ini
benar-benar melelahkan.
" Woi ngelamun aja pengantin baru ini " Aji, tanpa
kusadari dia sudah duduk disampingku.
" Ngapain kamu? " aku merebut rokok yang ada di
tangan Aji dan memasukkannya lagi ke dalam bungkusnya.
" Yaelah Bang, kan aku udah kuliah "
" Nggak pakek, rokok bikin cepet mati "
" Tuh Abang tau, tapi napa tetep aja masih rokokan
kayak kereta api batu bara? " Aji nampak kesal karena larangannku, "
Abang pengen cepet mati ya? Jangan Bang, kalau Mbak Raras jadi janda ntar Dimas
bisa kesenengan " Aji berbisik dan refleks kupukul kepalanya agar dia sedikit
sadar.
" Bang, hari ini hobby banget mukul orang, kerasukan
hantu preman ya " aku tak menghiraukan teriakan Aji.
" Wah Bang, Dimas gila ya, tapi masih gila kamu kok
Bang, masak di hari pernikahan sendiri malah mukul orang, di depan tamu
undangan pula "
" Anak kecil nggak usah ikut campur "
" Bang, aku udah 20 tahun "
" Tapi aku 30 tahun "
" Eh tapi Mbak Raras tadi keren ya, dingin gitu
kayaknya, aduh jadi ngefans dech sama kakak iparku itu "
Aji benar, jika dibandingkan dengan sikapku Raras memang
terlihat keren. Bagaimana dia bisa bersikap sedingin itu? Padahal sebelumnya
dia nampak ketakutan melihat kedatangan Dimas. Raras benar-benar bisa
mengontrol dan menyembunyikan emosinya dengan baik.
" Nggak ribet Bang pake baju gituan? " tanya
Aji kasihan melihat pakaianku, dan aku baru sadar, belum mengganti pakaianku.
***
Aku memasuki kamar pengantinku. Sebuah ruangan yang
dihiasi beraneka macam bunga. Apa-apaan ini, bagaimana kalau kami disengat
lebah jika ada banyak bunga di sini? Tanyaku keheranan tak mengerti fikiran orang-orang
yang mendekor ruangan ini.
Sepertinya ini
kamar Raras, ada beraneka macam buku yang di tata rapi di sebuah rak.
Ada sebuah meja kerja kecil dan sebuah meja rias, dipojok ruangan ada sebuah
lemari besar, nampaknya lemari pakaian. Dan hal yang membuatku yakin ini adalah
kamar Raras adalah sebuah foto berukuran besar yang ada di atas ranjang, foto
Raras.
Aku memilih duduk diatas ranjang, dan menyingkirkan
kelopak bunga mawar putih yang memenuhi ranjang. Memang gila ini orang
dekorasinya, fikirku kesal. Tak berapa lama kemudian Raras masuk ke dalam
kamar. Ia sudah berganti pakaian, riasan make upnya sudah dibersihkan meskipun
bekasnya masih sedikit terlihat. Yang membuatku ingin tertawa adalah rambutnya
yang masih terlihat seperti jambul singa. Untung aku dilahirkan sebagai
laki-laki, bagaimana kalau aku jadi perempuan, rambut disanggul dan di sasak
seperti itu. Tak bisa membayangkan betapa pusingnya kepalaku.
" Ada yang lucu? " tanya Raras ketika melihat
seringaiku dan aku hanya menggeleng.
" Nggak ada TV disini? " tanyaku bosan.
" Ada di ruang keluarga, aku nggak suka nonton TV,
acaranya nggak mutu semua "
" Trus kamu ngapain kalau dikamar? " tanyaku
iseng dan Raras menunjuk ke arah rak bukunya untuk menjawab pertanyaanku, dapat
ditebak dari rak bukunya yang tertata rapi bahwa perempuan ini selain gila
kerja juga gila membaca.
" Ganti gih pakaiannnya, udah di tungguin bajunya
" Raras duduk di meja riasnya dan berusaha mengurai rambutnya.
" Ok " aku beranjak dari dudukku.
" Loh, kamu mau kemana? Ganti disini aja, kalau kamu
ganti di ruangan lain, orang-orang bisa curiga " jawab Raras enteng.
" Kenapa? Aku nggak mungkin tertarik sama kamu
" Raras tersenyum mengejek melihat ekspresi wajahku yang nampak terkejut.
Dia melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan pandangan mengejek,
menunjukku dengan jari telunjukknya dan menggeleng sarkatis. Seolah berkata
" Hallo, aku nggak tertarik dengan laki-laki seperti kamu ".
Akhirnya aku menurut saja, mencoba melepas kain yang
membebat tubuhku. Tapi ini nampak begitu sulit. Raras menghampiriku, mungkin
karena kasihan melihatku tak bisa melepas kain-kain ini sendiri.
" Kamu nggak ada mulut ya buat bilang tolong? "
tanyanya ketus dan aku hanya diam. Raras membantuku melepas satu persatu kain
yang membebat tubuhku. Sedekat ini dengan Raras entah mengapa membuatku sedikit
berdebar, dari kejauhan kulihat ekspresiku di cermin. Wajahku terlihat memerah
dan ketika aku melihat Raras, benar-benar masih tetap sama, tak ada reaksi
apapun.
" Mmm . . . udah Ras, aku bisa sendiri kok "
Raras berhenti melepasi kainku dan memandangku, membuatku salah tingkah.
" Nggak usah berimajinasi yang bukan-bukan "
katanya tenang dan membuatku semakin salah tingkah, bagaimana dia bisa
menyadarinya.
***
" Kalian mau bulan madu kemana? Udah ada rencana?
" Ibu menanyai kami saat makan malam.
" Di Jakarta aja Tante, Raras cuma bisa ngambil cuti
seminggu "
" Kok panggil Tante sich, panggil Ibu donk sayang
"
" Ah, ia bu "
" Ya ampun Raras, kamu masih aja mikirin kerja
" Tante Ambar datang sambil membawa mangga yang sudah dikupas.
" Benar kata Mama kamu sayang, sekarang prioritas
utama kamu adalah keluarga " Om Ali, Papa Raras menimpali dan Raras hanya
tersenyum.
" Ah ini ayo diminum " Bapak keluar dari dapur
sambil membawa dua gelas yang dapat ditebak berisi jamu.
" Ah, maaf Pak, lambung saya nggak bisa kalau
dikasih jamu-jamuan, bisa seharian sakit malahan " Raras menolak secara
halus ketika Bapak menyodorinya segelas jamu.
" Yah, kalau gitu semuanya buat Tresno aja , ayo
diminum "
" Jamu apa ini Pak, Tresno kan nggak sakit "
" Udah diminum aja, kamu ini mesti mbantah kata-kata
orang tua, lagian mana mungkin bapak kasih racun ke kamu " Bapak memaksaku
untuk meminum dua gelas jamu sekaligus, saat aku melirik Raras, ia sedang
mengusap wajahnya, menyembunyikan seringai geli di bibirnya.
***
Saat kami masuk ke dalam kamar, Raras tak dapat
menyembunyikan tawanya lagi.
" Bapak kamu lucu ya? " lagi-lagi dia tertawa.
" Jamu apa sich tadi, pahit banget "
" Kamu fikir jamu apa yang dikasih ke pengantin
baru? " Raras tertawa dan kali ini benar-benar keras. Ah, mampus, aku baru
menyadarinya dan aku meminum dua gelas sekaligus. " Kalau bego, itu nggak
sampe segitunya kali No "
" Trus tadi . . . jadi kamu . . . " seperti
orang bodoh aku baru menyadari kalau tadi Raras sudah berhasil menolak meminum
jamu yang diberikan Bapak.
" Ya tadi cuma pura-pura lah, Tresno lambungku nggak
akan protes kalau cuma minum jamu segelas " Aku mengacak-acak rambutku
kesal.
" Nampaknya kamu perlu diikat supaya malam ini aku
aman " Raras, nampaknya dia sangat puas membuat lelucon tentang aku.
Dengan kesal, kuambil selimut tebal dan sebuah bantal. Menatanya dilantai,
untuk alas tidurku.
" Kamu yakin mau tidur di situ? Dingin lo, kalau AC
nya dinyalain "
" Biar kamu aman " kataku kesal, dan Raras
kembali tertawa.
" Kamu yakin nggak mau tidur sama aku? "
katanya menggoda, aku berusaha
mengabaikannya. Kututup telingaku dengan bantal, malam ini aku melihat sisi
lain dari Raras. Seharusnya ia selalu seperti ini, tertawa dan tertawa. Karena
dia terlihat berbeda jika tertawa, sangat cantik.
***
Kamar Raras begitu gelap, hanya diterangi seberkas cahaya
lampu jalan yang masuk melewati sela-sela jendela. Sepertinya efek dari jamu yang
diberikan Bapak baru saja bereaksi. Aku benar-benar tak bisa tidur. Jantungku
berdebar begitu kencang, meskipun AC dinyalakan, keringat bercucuran dari
seluruh tubuhku. Fikiranku benar-benar kacau, apa yang harus kulakukan.
Tanpa menimbulkan suara, aku memilih untuk melakukan sit
up dan push up. Tapi semuanya sia-sia. Aku melihat ke arah Raras, dia sudah
tertidur. Aku mencoba mendekati Raras, melihat wajahnya yang tenang dalam
tidurnya. Membuatku semakin gelisah.
Mungkin jika aku menciumnya dia tak akan terbangun.
Setelah jarak wajah kami tinggal beberapa centimeter lagi, aku memutuskan untuk
mengurungkan niatku. Takut tiba-tiba dia terbangun dan berteriak. Ah, apa yang
kau fikirkan Tresno, ingat perjanjian kalian. Tapi nampaknya dia tertidur
sangat pulas, aku rasa tak apa jika aku melakukannya dengan lembut. Ah tidak,
bagaimana kalau setelah menciumnya aku menginginkan lebih.
Bodoh dengan semua itu, aku belum mencobanya. Akhirnya
kuberanikan diri untuk mencium Raras. Saat jarak wajah kami tinggal beberapa
centi, tiba-tiba saja Raras terbangun.
" Apa yang kamu lakukan? " aku hanya bisa
mematung, Raras tiba-tiba saja terbangun.
Raras memukulku dengan boneka beruang besarnya,
menyadarkanku. Ia menyalakan lampu tidur dan duduk di ranjangnya.
" Apa kamu benar-benar nggak bisa nahan efek
jamunya? " tanyanya prihatin dan aku tak bisa menjawab, merasa malu atas
apa yang telah kulakukan.
Raras melemparkan boneka beruangnya. " Peluk aja
boneka itu dan berhitung sampai kamu ngantuk " Raras mematikan lampu
tidurnya. " Oia, jangan lakukan hal-hal bodoh sepert apa yang kamu lakukan
barusan kalau kamu nggak mau mati " ancamnya. Akhirnya aku menuruti apa
yang diperintahkan Raras, memeluk boneka beruang sambil berhitung, hingga
akhirnya aku tertidur.
***
Hari ini orang tuaku dan orang tua Raras mengantarkan aku
dan Raras ke Stasiun. Kami akan pulang ke Jakarta. Entah apa yang sedang
difikirkan artis baru ini, dari tadi dia memeluk pingganggku, membuatku sedikit
kikuk. Apalagi ejekan dari Aji yang tak henti-hentinya di lontarkan dari mulut
usilnya.
" Ya ampun, pengantin baru ini mesra banget ya
"
" Hush, anak kecil nggak boleh bilang gitu "
" Ibu, Aji kan udah kuliah, masih aja dianggap anak
kecil "
" Aji benar Jeng, kalau begini kan kita jadi cepet
nimang cucunya " Tante Ambar membela Aji, dan membuatku terbatuk.
" Sayang, kamu nggak papa? " Raras mengelus
dadaku dengan lembut. Sayang? Perempuan ini benar-benar gila. Bagaimana
aktingnya bisa sebagus ini, seharusnya daripada menjadi seorang Public Relations, perempuan ini lebih
cocok menjadi seorang artis.
" Aku nggak papa " jawabku kikuk, jelas aku tak
bisa berkata dengan biasa, aku tidak sedang berakting lagipula aku juga tak
pandai berakting.
" Kami pamit dulu ya Bu, Ma " Aku berpamitan
mencium kedua tangan orang tuaku dan kedua mertuaku bergantian. Memeluk Aji.
Begitupula dengan Raras.
" Titip Raras ya Nak Tresno " Tante Ambar mulai
menangis. Ah, drama queen banget Mama Raras ini.
" Pasti Ma " Aku mengecup pipi Raras, dan
sontak dia terlihat kaget. Tapi karena berada didepan orang tua kami, dia tak
bisa berkata apa-apa.
" Yeks, aku pengen muntah " Aji tertawa
mengejek melihatku mencium pipi Raras.
Raras masih memeluk pinggangku sampai di petugas
pemeriksaan karcis. Namun saat berada di dalam ruang tunggu, dimana orang tua
kami tidak boleh masuk, yang artinya tidak
bisa melihat apa yang sedang kami lakukan.
Perempuan ini
memperlihatkan sikap aslinya.
" Awww, apa yang kamu lakukan " aku berteriak
kesal karena Raras menendang kakiku.
" Awas ya kalau kamu mencuri kesempatan lagi "
" Siapa yang mencuri kesempatan? Aku cuma berakting,
masa cuma kamu yang bisa berakting " Raras tak membalas kata-kataku, hanya
dapat terlihat jelas dari raut mukanya bahwa dia sangat kesal dan membuatku
tersenyum puas melihatnya.
Mmm . . . tapi membuat Raras kesal, kenapa membuatku
begitu senang?
***
Saat berada didalam kereta api, sepertinya Raras masih
nampak kesal. Dia hanya diam, dan aku juga tak berniat untuk berbicara
dengannya. Sesampainya stasiun pemberhentian selanjutnya, ada seorang
laki-laki, mungkin seusia Aji, duduk di samping Raras.
" Mbak mau turun mana? " tanyanya basa-basi
pada Raras. Apa-apaan anak ingusan ini, apa dia tak melihat Raras sedang
bersamaku? Sengaja kumainkan tangan Raras didepannya, bukannya menarik
perhatian bocah ingusan itu, Raras malah menarik tangannya kasar. Argh, aku
benar-benar tak suka melihatnya, seharusnya aku membeli tiga tiket agar satu
sisa bangku tak diduduki orang lain.
Apa yang harus kulakukan, seharusnya aku duduk di tengah
dan membiarkan Raras duduk di dekat jendela, tapi apa yang harus kukatakan?
Kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa aku jadi perduli siapa yang akan duduk di
dekat Raras.
" Ada acara apa Mbak ke Jakarta? " bocah ini
benar-benar terlalu ingin tahu, apa urusannya dengan " apa yang akan
dilakukan teman sebangkunya di kereta api di Jakarta " benar-benar
membuatku muak. Selintas sebuah ide cemerlang melintas di kepalaku.
" Aku mau ke kamar mandi dulu " aku berdiri dan
tak ada respon dari Raras. Sebenarnya aku tak ingin ke kamar mandi, tapi inilah
satu-satunya cara agar Raras pindah tempat duduk. Setelah merasa aman, aku
kembali ke kursiku " Minggir " aku menyuruh Raras menggeser duduknya,
Raras tak menjawab hanya memberikan tanda dengan jari telunjuknya agar aku
duduk di tempat semulaku. " Minggir " ulangku lagi, dengan paksa, aku
duduk di antara Raras dan pemuda tadi dan akhirnya Raras mengalah, walaupun
diikuti dengan cibiran kesal dari mulutnya. Berhasil, fikirku senang.
Langit terlihat gelap, dan jam ditanganku menunjukkan
pukul 23.00. Sudah malam rupanya, kulihat Raras sudah mulai mengantuk.
Kepalanya disandarkan di dinding gerbong, pasti tak nyaman. Dengan perlahan,
kuletakkan kepalanya di bahuku. Mungkin dia terlalu kecapaian, hingga tak
merasakan apa yang sedang kulakukan. Aku tersenyum puas ketika si Pemuda
melihat ke arah kami, sekarang tau bukan, perempuan ini adalah istriku. Ini
masih belum seberapa, kugenggam tangan kanannya, sengaja kuperlihatkan cincin
pernikahan kami kepada pemuda itu dan setelah melihat ekspresi pemuda tadi, aku
tertidur puas dengan tetap menggenggam tangan Raras. Argh, bodoh dengan reaksi
Raras besok, yang terpenting sekarang adalah membuat pemuda di sampingku ini
menjauh.
***
"Aku pulang dulu " aku berpamitan setelah
membantu Raras membawa barang-barangnya masuk ke apartemen.
" Kamu nggak pindah ke sini aja? Akan lebih mudah
untuk kita berpura-pura didepan orang tua kita, kalau kamu pindah disini, kamu
bisa pakai kamar tamu "
" Tapi ini rumahmu, aku di bisa di kontrakan saja
"
" Lagipula kamu bisa lebih menghemat uang "
" Lebih nyaman tinggal di kontrakan "
" Terserah kamu sajalah "
akhirnya Raras mengalah.
Sebetulnya
ide Raras untuk tinggal bersama adalah sebuah ide yang bagus. Jadi ketika orang
tua kami mengunjungi kami. Akan lebih mudah bagi kami untuk berbohong. Lagipula
benar katanya, ini akan menghemat uang, aku tak perlu membayar kontrakan.
Tapi
aku merasa sangat tidak nyaman jika harus tinggal berdua dengan Raras, meskipun
sekarang perempuan ini adalah istriku, sebenarnya dia hanyalah perempuan asing
yang telah menyepakati sebuah kontrak pernikahan denganku, demi keluarga kami
yang begitu menginginkan pernikahan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar