Kamis, 03 April 2014

Tresno - Rumah Tangga



RUMAH TANGGA
“ Dari sini, ketika aku belajar untuk mencintaimu, aku berharap kau juga mau belajar mencintaiku.

“ Hallo “ aku melihat jam di dinding, masih pukul empat pagi. Tapi Ibu sudah menelfon.
Hallo, gimana kabar istri kamu? “ ya ampun Ibu apa-apaan, baru saja kami pulang dan sekarang sudah menelfon menanyakan kabar Raras.
“ Baik Bu, dia masih tidur, capek banget kayaknya “ aku melihat ke sampingku, kosong, tak ada siapa-siapa. Jelas, karena kami memutuskan hidup masing-masing, di rumah masing-masing.
Ow gitu ya, besok, ibu sama bapak rencana mau ke Jakarta
“ Apa? “ sontak aku kaget mendengar Ibu yang akan ke Jakarta. “ Ngapain Bu? Nggak usah, kan kita baru aja pulang kemarin, masak ibu langsung ke Jakarta “
Ibu kasihan sama Raras, kamu tau sendiri kan kerjaannya banyak banget, baru nikah pula. Pasti dia masih belum bisa bagi waktu
“ Nggak usah bu, yang penting doanya saja “
Udah kamu jangan mbantah, pokoknya besok Ibu sama Bapak ke Jakarta “ Ibu mematikan telefonnya, selalu saja begitu jika sudah ada maunya, tak ada yang bisa mencegahnya. Aku segera menghubungi Raras.
Hallo, kamu gila ini jam berapa? “ suara Raras, sepertinya ia baru saja bangun tidur.
“ Siang ini kamu ada waktu? “
Kenapa?
“ Ibu dan Bapak mau ke Jakarta, sebelum itu kita harus ketemu “
“ Apa? Kamu nggak bercanda kan?“ sepertinya Raras langsung 100% terjaga “ Oke, nanti jam makan siang aku ke kantormu “ aku mematikan telefon. Mungkin kami mulai saat ini harus berbohong lagi dan lagi untuk menutupi sebuah kebohongan besar yang telah kami sepakati.
***
“ Mau kemana kamu buru-buru? “ Anton, rekan kerjaku, laki-laki yang mulutnya paling tak bisa di jaga, selalu saja mau tau urusan orang.
“ Bukan urusanmu “ aku segera keluar dari lift begitu pintu terbuka, berjalan dengan terburu-buru menuju sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari kantorku. Disana Raras sudah menunggu, di pojok ruangan. Duduk dengan percaya diri, mengenakan setelan blazer warna hitam dengan riasan yang pas, ia nampak cantik. Selintas aku merasa bangga, menyadari perempuan itu adalah istriku, meskipun hanya pernikahan kontrak.
“ Sudah lama? “ banyak mata laki-laki yang memandang ke arah kami, sepertinya mereka sedikit kecewa. Kulihat tangan kanannya, ada cincin pernikahan kami di jari manisnya.
“ Nggak kok, baru aja nyampe “
“ Pesen makan dulu ya? “ tawarku dan Raras mengangguk.
“ Ow pantes, tadi buru-buru, mau ketemu wanita cantik ya? “ Anton, dia sudah ada di belakangku. Ah, laki-laki ini. Mendadak aku sangat kesal dengan Anton.
“ Kamu nggak mau ngenalin aku sama dia? “ Anton berbisik, dan sepertinya Raras mendengarnya.
“ Hai, aku Raras, istrinya Tresno “ Raras mengulurkan tangannya, Anton nampak terkejut, tapi akhirnya ia menjabat tangan Raras “ Anton “ katanya tergagap.
“ Kok kamu nggak bilang udah nikah, mana istrinya cantik lagi “ Anton berbisik lagi.
“ Maaf, tapi ada hal penting yang ingin kami bicarakan, mungkin lain kali kita bisa mengobrol bersama “ aku menyembunyikan senyumku mendengar Raras mengusir Anton secara halus.
“ Oh tentu-tentu, silahkan dinikmati makanannya “ Raras terseyum dan akhirnya Anton pergi meninggalkan kami, menghampiri meja yang letaknya tak jauh dari meja kami. Tempat segerombolan laki-laki yang sedari tadi memperhatikan kami. Setelah Anton bergabung, mereka nampak berbisik dan menunjuk-nunjuk ke arah kami.
“ Ibu gimana? “ Raras tak memperdulikan gerombolan laki-laki yang memperhatikannya dari tadi.
“ Kamu tau, mereka dari tadi memperhatikanmu “ aku berbisik, dan Raras melihat ke arah pandanganku.
“ Apa perduliku? “ Raras bertanya tak peduli “ Ibu gimana? “
“ Kamu nggak normal ya? “ aku tak menghiraukan pertanyaan Raras, aku lebih penasaran kenapa Raras tak pernah perduli dengan pandangan laki-laki di sekitarnya. Raras nampak kesal dengan pertanyaanku.
“ Bagaimana aku bisa memandang laki-laki lain kalau didepanku ada suamiku? “ aku tersenyum mengejek mendengar jawaban Raras. “ Sudah jangan perdulikan mereka, bagaimana Ibumu? “
“ Besok Ibu dan Bapak berangkat, mungkin lusa nyampenya “
“ Apa ku bilang, lebih baik kamu tinggal di apartemenku saja, akan lebih mudah kalau hal-hal semacam ini terjadi “
“ Oke-oke, nanti malam aku akan mulai pindahan “
“ Kalau Ibu Bapak datang kamu jangan ambil kesempatan ya? “ ancam Raras dan aku hanya dapat tersenyum kesal.
Bapak, Ibu maafkan anakmu ini, tapi kebohongan ini demi kalian juga.
***
“ Ibu, bapak “ Raras menyambut Ibu dan Bapak yang baru saja tiba. Ketika aku menjemput Bapak dan Ibu di stasiun, Raras menyiapkan makanan untuk kami.
“ Ibu sama Bapak istirahat dulu ya, makanannya udah Raras siapin, Raras sama Tresno mau berangkat ke kantor dulu habis ini “
“ Ia sayang, kamu nggak usah cemas, pokoknya selama Ibu ada disini kamu tenang aja “ Apanya yang tenang, malah menurutku hidupku semakin tak tenang jika ayah dan ibu ada disini.
***
“ Kamu tidur di bawah “ Raras melempar selimut tebalnya dan sebuah bantal. Benar-benar perempuan tak berbelas kasihan. “ Kamu jangan macem-macem ya “ Raras mematikan lampu dikamarnya dan mulai tertidur. Tak berapa lama kemudian, akupun tertidur.
Suara adzan subuh sudah terdengar, kulihat jam di dinding, sudah pagi rupanya. Sayup-sayup kudengar suara Ibu mengetuk pintu kamar Raras. Ah, apa yang dilakukan Ibu pagi-pagi begini. Aku segera naik ke atas ranjang, menata selimut dan pura-pura tertidur dengan memeluk Raras. Benar saja, Ibu masuk dengan mengendap-endap. Mungkin setelah melihat kami tertidur, Ibu menutup pintunya dengan perlahan.
“ Apa yang kamu lakukan? “ Raras berbisik, ternyata dia sudah bangun. Dari suaranya bisa ditebak ia sangat kesal dengan apa yang telah kulakukan.
“ Ssstt Ibu tadi masuk ke sini “
“ Kemarin kamu lupa nggak ngunci pintunya ya? “
“ Maaf, lupa “ kataku takut-takut, Raras menghela nafas kesal.
“ Ibu sudah pergi kan? “ aku mengangguk “ Sekarang kamu bisa lepasin tanganmu “ Aku baru menyadarinya, dari tadi aku masih memeluk perempuan ini.
“ Dan besok jangan lupa kunci pintunya “ Raras meninggalkanku sendirian di kamar “ Emang aku suka apa meluk perempuan kayak kamu “ gerutuku kesal.
***
Ini malam ketiga sejak Ibu dan Bapak ada disini, yang artinya malam ketiga pula aku harus tidur dilantai. Kenapa kamar ini tidak ada sofa, seharusnya Raras membelinya untuk jaga-jaga. Ah kamar ini sudah terlalu sempit untuk ditambah sebuah sofa. Aku baru menyadarinya setelah melihat ke sekelilingku. Kulihat jam di dinding, ini sudah pukul sebelas malam, dan selarut ini Raras belum pulang. Apa yang sebenarnya dikerjakannya di kantor? Benar-benar tak tau waktu.
Ah, mumpung Raras belum pulang, lebih baik aku tidur di ranjang saja. Kalau dia pulang pasti dia membangunkanku. Nyaman juga tidur di ranjang, apalagi wangi shampoo Raras bagai aromatherapi yang menenangkan.
" No, bangun, ngapain kamu tidur disana? " samar kudengar suara Raras. Namun rasanya berat untuk membuka mata. Bukannya bangun, kutarik selimut menutupi tubuhku, tubuhku terasa menggigil.
" No, bangun " Raras mengguncangkan tubuhku " No, kamu sakit, badanmu panas " Raras menempelkan punggung tangannya di keningku.
" Aku nggak papa " kataku lirih, mencoba bangun, tapi rasanya kepalaku begitu sakit.
" Udah kamu tidur disini aja " suara Raras terdengar cemas " Udah minum obat? " aku menggeleng " Aku ambilin obat ya? " tawarnya.
" Nggak usah, aku cuma butuh istirahat "
" Oke, kalau besok kamu belum sembuh juga, kita ke dokter. Aku nggak mau disalahkan kalau ada apa-apa sama kamu "
' Ok " Raras mengambil selimut tebal yang biasa kugunakan untuk tidur dan mulai menatanya di lantai.
" Buat sapa Ras? " aku mencoba untuk duduk.
" Aku " jawabnya singkat. " Kamu mau tidur di lantai? Kalau gitu biar aku aja yang tidur di lantai "
" Nggak usah kamu tidur di ranjang aja, kamu kan lagi sakit "
" Kalau gitu kamu juga tidur di ranjang " aku menepuk kasur di sampingku, Raras menatapku ragu. " Kalau gitu aku yang tidur di lantai kamu di ranjang " Raras nampak kesal " Aku terlalu sakit untuk berbuat macam-macam " tambahku, dan akhirnya Raras mengalah, ia tidur disampingku. Memunggungiku dan tak berbicara sepatah katapun.
Aku tak tau sebenarnya apa yang sedang kulakukan, sedari tadi aku terus memandangi punggung Raras dan rasanya ingin sekali memeluknya. Apakah aku harus belajar mencintai Raras? Argh, pasti ini efek dari rasa sakit dikepalaku. Fikiranku jadi benar-benar kacau.
“ Jangan melakukan apapun yang dapat membuat semua ini menjadi sulit. Lebih baik kamu menghindarinya “ Raras berkata pelan. Raras benar, tidak seharusnya aku berfikiran seperti itu. Sejak awal memang telah kami sepakati, seharusnya tidak ada cinta dalam pernikahan ini jika tidak ingin salah satu pihak tersakiti.
***
Ketika aku terbangun Raras sudah tidak ada disampingku. Apa dia sudah berangkat kerja, tapi bukankah hari ini hari Sabtu? Aku melihat jam didinding, pukul enam pagi. Kepalaku masih terasa berat. Kupaksakan kaki melangkah keluar dari kamar. Kulihat Ibu dan Raras sedang memasak berdua didapur.
" Maaf ya Bu, Raras nggak bisa masak "
" Ya kan semua butuh proses " Ibu benar-benar wanita yang sangat sabar.
" Sudah bangun? Seharusnya kamu di kamar saja " Raras menyadari keberadaanku, dia menghampiriku dan memapahku untuk duduk. Mengapa aktingnya benar-benar terlihat begitu alami. Raras menempelkan punggung tangannya ke keningku " Syukur udah nggak demam " Raras tersenyum.
" Kamu beneran nggak papa No? " Ibu nampak khawatir.
" Sudah lah bu, Tresno kan sekarang udah ada Raras yang jagain, Ibu nggak usah terlalu cemas " Bapak menimpali dari balik korannya.
" Apa Ibu nggak pulang saja ya hari ini? Biar Bapakmu aja yang pulang "
" Nggak usah Bu, Bapak betul disini sudah ada Raras "
" Bener kamu nggak papa? " Aku hanya bisa mengangguk, tanpa tau apakah Raras benar-benar akan menjagaku ketika Ibu pulang. Masa bodoh dengan itu, toh ini hanya demam biasa. Kecemasan Ibu yang berlebihan hanya membuatku semakin merasa tak nyaman.
***
Sepulang dari mengantar Ibu dan Bapak ke stasiun, entah mengapa seluruh tubuhku kembali menggigil. Aku terduduk di sofa ruang tengah apartemen Raras.
" Makanya, tadi kan aku udah bilang, kamu nggak usah ikut. Jadi tambah sakit kan sekarang " dari tadi Raras terus saja mengomel, membuat kepalaku semakin berdenyut.
" Sekarang kamu tidur aja di kamar, aku buatin bubur, setelah itu baru minum obat " aku menepis tangan Raras yang mencoba memapahku " Aku bisa sendiri " tapi tubuhku ternyata tak mendukung ucapanku, hampir saja aku terjatuh jika Raras tak menopangku.
" Nggak usah keras kepala, nggak ada untungnya! "
" Kamu nggak bisa ya nggak pake marah-marah " Raras menjatuhkan tubuhku di ranjang dengan kasar " Kalau bukan kamu, mungkin bisa " jawabnya ketus.
Tak berapa lama kemudian, Raras datang dengan semangkuk bubur.
" Makan " Raras meletakkannya di meja, didekat ranjangku. " Habis gitu jangan lupa minum obatnya, jangan nyusahin orang kamu " setelah mengucapkan kata-kata yang cukup membuat orang sakit hati, Raras meninggalkanku sendiri. Dia benar-benar tak perduli, apakah aku akan memakannya atau tidak. Dengan menahan sakit, aku memakan bubur yang dibuatkan Raras, " Apa-apaan ini, dia mau ngracunin aku? " rasanya begitu asin, apa perempuan ini benar-benar tak bisa masak? Bahkan hanya untuk memasak bubur saja dia tak bisa? Benar-benar tak punya kelebihan. Tapi bagaimanapun juga aku harus memakannya, aku harus sembuh. Setelah meminum obat yang diberikan Raras, aku berusaha untuk tidur. Berharap dengan beristirahat dapat segera mengembalikan kesehatanku.
Meskipun mataku terpejam, aku bisa merasakannya. Raras mengendap-endap masuk kedalam kamarku. Dia duduk disamping ranjangku, memeriksa suhu tubuhku dengan punggung tangannya. Ia nampak menghela nafas, entah apa yang sedang dirasakannya. Aku mencoba mengatur nafasku seteratur meskipun kurasakan tubuhku mulai menggigil kedinginan. Raras merapikan letak selimutku.
" Kenapa kamu selalu seperti ini? " tiba-tiba saja Raras berkata pelan, setengah berbisik " Maaf jika ini semua membuat hidupmu semakin sulit. . . " Raras beranjak dari duduknya dan kudengar suara pintu tertutup. Setelah memastikan Raras pergi, aku membuka mataku. Apa yang sebenarnya difikirkan perempuan itu? Apa maksudnya berkata seperti itu? Raras, aku benar-benar tak bisa memahami perempuan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar