MASA LALU
“ Jika aku tak
melakukan kebodohan – kebodohan di masa lalu kita, akankah detik ini kita dapat
bersama. Kebodohanku adalah takdir Tuhan yang ditulis untuk mempersatukan kita
“
" Pagi nak, mau berangkat sekolah? Bareng sama
Tresno aja " suara bapak terdengar samar-samar dari luar rumah, dan sudah
bisa ditebak beliau sedang berbicara dengan siapa, karena hanya dengan gadis
itu bapak dapat berbicara serenyah ini. Apalagi menawarkanku untuk jadi ojek
gratis baginya. Aku melihat dari jendela, Raras sedang berbasa-basi dengan
bapak, sesekali mereka tertawa. Perempuan munafik, gerutuku kesal.
" Bu', bapak apa-apaan sich, aku nggak suka sama
cara beliau yang seperti itu " Aku duduk di meja makan, bersama Ibu dan
Aji.
" Apa sich nak? "
" Raras "
" Ada apa lagi dengan Raras? Salah apa dia sama
kamu, menurut Ibu Raras itu anak baik, sopan lagi. Kamu jangan terlalu benci
sama dia " Ibu dan bapak selalu berada di sisi Raras.
" Ibu sama bapak sama saja, apa bagusnya perempuan
itu " aku beranjak dari dudukku, selalu begitu kalau menyangkut Raras.
" Loh, kok kamu malah marah "
“
Pokoknya aku nggak suka ngelihat bapak, ibu atau Aji deket-deket sama perempuan
itu “
“
Mas Tresno lagi PMS buk, biasa anak
perawan “ kata Aji, dengan nada mengejek.
" Tau apa kamu anak kecil "
aku menjitak kepala Aji, melampiaskan kekesalanku kepada Raras.
***
" No, tau nggak, si Dimas punya pacar baru, anak
kelas satu " Angga nampak berapi-api, namun aku begitu malas untuk
menanggapinya.Apa urusanku dengan Dimas, tak ada untungnya mengurusi pacar
barunya, bukannya berganti pacar adalah hal biasa untuknya? Apa yang harus
dibesar-besarkan?
" Kayaknya ini bakalan serius, Dimas suka banget
sama pacar barunya "
" Palingan juga maksimal tiga bulan, kayak nggak tau
Dimas aja " jawabku malas.
" Seriusan, katanya dia tetanggamu lo "
" Ooo jadi itu alasannya si Dimas rajin banget ke
rumah? Jadi sekarang alasannya bukan cuma
makanan gratis? " entah
mengapa aku begitu kesal karena hal ini. Tapi tetanggaku? Kelas satu? Siapa?
Mungkinkah Raras? Semoga saja bukan.
" Ya ini dia, panjang umur ini anak " Dimas
meletakkan tasnya di mejaku, dia nampak tersenyum senang dan rasanya auranya
memang nampak berbeda.Membuatku penasaran, siapa tetanggaku yang dipacarinya.
" Siapa pacar baru kamu? " tanyaku,
mencoba bertanya dengan nada tak perduli, namun malah suaraku terdengar seperti
orang yang sedang kesal.
" Salah makan No? Pagi-pagi udah suram gitu "
" Siapa? " Ulangku sekali lagi dan berharap itu
bukan Raras.
" Eits sabar boss, ntar siang aku kenalin ke kalian
semua, sekarang yang penting pinjem PR Fisika kalian " Dimas mengambil
tasku, dan menemukan buku Fisika yang dicarinya. Sedetik kemudian dia sudah
sibuk menyalin PR Fisikaku.Jika benar pacar baru
Dimas adalah Raras, maka perempuan ini benar-benar bodoh, jadi seleranya hanya
selevel Dimas?
" Kamu suka Dimas ya No? " Angga berbisik
ketelingaku, aku memandangnya dengan tatapan heran, dan sedetik kemudian
memukul kepala Angga dengan botol mineral yang ada didepanku.
" Abisnya temennya punya pacar baru bukannya seneng
malah sewot, kayak istri yang tau suaminya selingkuh aja " Angga
menggerutu kesal. Argh, ini semua gara-gara Raras. Perempuan itu benar-benar
membuatku kesal.
***
Teeetttttt . . . Teeettttt . . .
Bel tanda istirahat berbunyi, Dimas nampak bergegas
keluar kelas.
" Tunggu dikantin ya? " teriaknya dengan penuh
semangat dari luar kelas.
" Ayo No " Angga mulai menyeretku ketika
melihat tak ada reaksi dariku.
" Ia aku bisa jalan sendiri " aku mengibaskan
tangan Angga kesal, bagaimana kalau ada yang melihat dan mengira kami homo?
Bergandengan di area sekolah, pada saat jam istirahat.
Aku berjalan dengan malas, berharap
waktu berhenti, takut jika
perempuan yang dimaksud Dimas adalah Raras. Kantin yang begitu dekat terasa
begitu jauh. Kami memilih tempat biasanya, pojokan, tempat biasa anak kelas
tiga menghabiskan waktu istirahatnya atau tempat persembunyian terbaik bagi
murid-murid yang membolos. Seperti biasa, Angga memesan bakso dan sebotol air
mineral. Sementara aku, perutku terasa mulas, harap-harap cemas, semoga pacar
baru Dimas bukan Raras. Entah mengapa aku begitu membenci perempuan ini, dan
tak rela jika dia berpacaran dengan sahabatku. Meskipun itu adalah seorang
playboy seperti Dimas.
Dan Dimas, dia bersama dengan seorang perempuan.
" Kenalin ini Raras, pacar baruku " Dimas
memperkenalkan Raras dengan penuh semangat.
" Bukan pacar, lagian siapa yang mau pacaran sama
kamu " Raras, dia tersenyum dan entah mengapa membuatku semakin
membencinya.
" Tresno, kamu kenal Raras
kan? "aku tak menjawab
pertanyaan Dimas, hanya terus memandang Raras dengan pandangan kesal.
" Ahh, kenal " Raras mencoba tersenyum padaku, tapi
entah mengapa senyum itu serasa dipaksakan.
Tak tulus.
Aku
hanya memandang tangannya yang terulur menunggu tanganku untuk berjabat,
sedetik kemudian aku memandang wajahnya, ia nampak kikuk. Sadar tak akan ada respon dariku, Raras menarik
tangannya kembali.
“
Aku nggak kenal “ kataku malas, beranjak dari dudukku, kutinggalkan Raras,
Dimas dan Angga. “ Aku balik ke kelas dulu “ kataku sambil berlalu.
“
Aish, bocah ini . . . “ kudengar Angga mendesis kesal.
“
Maafin dia ya Ras, maklum, pasangan
homonya kamu rebut “ samar-samar kudengar Angga
mencoba membuat sebuah lelucon. Maaf? Untuk apa? Seharusnya gadis ini yang
meminta maaf padaku. Meminta maaf karena telah menjungkir balikkan duniaku.
***
" Kenapa sich harus dia? Nggak ada perempuan lainnya
ya? Apa stock kamu udah habis? Perlu aku cariin? " aku memantul-mantulkan bola basket ke tanah,
sementara Angga dan Dimas duduk didepanku, beristirahat karena pelajaran
olahraga yang baru saja selesai.
" Kamu ini yang kenapa? Dari dulu sewot banget sama
Raras " bukannya Dimas menjawab pertanyaanku, Angga malah melontarkan
pertanyaan yang sebenarnya tak bisa kujawab.
" Situ nggak usah ikut campur ya "
kataku marah pada Angga.
" Oke oke, aku nggak akan ikut campur masalah rumah
tangga kalian "
" Raras, nggak ada alasan buat jatuh cinta sama dia
" tiba-tiba saja Dimas berkata pelan, pandangannya tampak membayangkan
sesuatu yang aku sendiri tak ingin membayangkannya, pasti perempuan itu dan
senyumnya mengembang. Benar-benar menjijikkan.
" Kamu gila, pasti ada alasan buat seseorang jatuh
cinta, entah dia cantik, entah dia baik, entah dia kaya "
" Aku juga bingung, awalnya cuma iseng ngedeketin
dia, tapi tiba-tiba aja aku udah ngerasa suka banget sama dia. Nggak tau
awalnya kapan " Dimas tersenyum malu, dan di mataku ini sangat memuakkan.
" Eh itu Raras, Raras " Angga memanggil Raras,
bukannya pura-pura tak mendengar perempuan bodoh itu malah datang menghampiri
kami.
" Baru selesai olahraga ya " tanyanya
basa-basi, bukannya dia sudah melihat. Kami mengenakan pakaian olahraga, dan
keringat bercucuran dari tubuh kami, sudah pasti kami habis berolahraga. Aku
melemparkan bola basket dengan kesal ke arah Raras, meskipun terkejut tapi
Raras berhasil menghindarinya.
" Woi, apa-apaan kamu " Dimas berdiri dari
duduknya " Kamu nggak papa? " Raras menggeleng.
" Sorry nggak sengaja " kataku enteng dan pergi
meninggalkan mereka.
" Bener-bener nggak waras tu orang " Angga menggerutu
kesal melihat sikapku.
“
Kekanakan “ desis Raras kesal.
***
Hari
ini hari Minggu, dan jam menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun Angga dan Dimas
sudah berada dirumahku, seperti biasa, meminta sarapan gratis. Dan seperti biasanya
waktu tidurku yang harus dikorbankan.
“
Makasih sarapannya tante “ ujar Dimas dan Angga bebarengan. Suara denting
sendok dan piring bergema diseluruh ruangan, dalam sekejap nasi goreng yang ada
di piring mereka telah tandas, sementara piringku masih belum tersentuh.
“
Kamu nggak bisa ya putusin Raras? “ tiba-tiba saja aku ingin menanyakan ini
pada Dimas. Sontak, seluruh orang yang ada diruangan menjadi hening. Masa bodoh
dengan reaksi mereka. Yang jelas Raras
harus menjauh dari Dimas, menjauh dari sekelilingku.
“
Loh, Raras siapa? Dimas pacaran sama Raras anaknya Bu Ambar? “ Ibu yang sedari
tadi menunggui kami mulai angkat bicara dan aku hanya terdiam.
“
Ia tante “ Dimas menjawab, dan raut mukanya mulai berubah.
“
Mmm . . . Tante ambilkan nasi lagi ya, kalian harus nambah ya “ ibu memilih
untuk meninggalkan kami.
“
Kamu suka Raras? “ Dimas bertanya.
“
Bukan suka tapi benci “ jawabku“ Akucuma nggak suka melihat dia bersama dengan
sahabatku, dia nggak pantas buat kamu “ tambahku.
“
Itu bukan suatu alasan “ Dimas beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan
rumahku. Benar, pergi saja yang jauh, jika Dimas menjauh maka Raras juga akan
ikut menjauh, bukannya seorang pacar akan mengikuti pacarnya?
“
Kamu gila No, itu bukan benci, jangan-jangan kamu suka Raras, benar kan? Itu
baru sebuah alasan “ Angga menyusul Dimas.
“
Loh, kemana Angga sama Dimas? “ ibu kembali dengan membawa nasi goreng di
mangkuk.
“
Pulang “
“
Apa karena Raras kalian bertengkar? “ tanpa menjawab pertanyaan ibu, aku
meninggalkan meja makan dengan perasaan sangat kesal. Bagus, dulu keluargaku
dan sekarang teman-temanku. Raras, jika Dimas tidak memutuskanmu. Aku yang akan
membuatmu memutuskannya.
***
Sepertinya aku
mengenali anak lelaki itu, ia menangis sesenggukan didepan bekas sekolahku. Dikerumuni
oleh segerombolan anak kecil berseragam putih merah lainnya, bukannya
menenangkan mereka malah semakin mengejek anak kecil itu hingga tangisannya
semakin kencang.
“ Yaaaa, apa yang
kalian lakukan!! “ seorang anak gadis masih mengenakan seragam sekolahnya,
sepertinya ia masih duduk di bangku TK, masuk ke tengah kerumunan.
“ Kalau kalian berani
jangan maen keroyokan “ anak gadis itu menendang salah satu kaki gerombolan
anak tadi.
“ Kamu anak kecil
jangan ikut campur “ salah seorang anak mendorong anak gadis itu hingga
terjatuh, bukannya takut, anak gadis itu berdiri dan malah memukul perut anak
laki-laki yang mendorongnya hingga terjatuh.
“ Pergi nggak kalian? “
ia memutar-mutar tasnya, dan gerombolan anak kecil tadi lari berhamburan
menghindari sabetan tas gadis kecil itu.
“ Kamu nggak papa? “
bukannya berterimakasih, anak laki-laki itu malah mendorong gadis kecil yang
menolongnya hingga terjatuh, tak tau diri fikirku.
“ Apa yang kamu
lakukan? “ gerombolan anak kecil lainnya datang, tapi sepertinya bukan
gerombolan pertama yang membuat anak laki-laki itu menangis, tapi anak
laki-laki taditerlalu takutuntuk mengenali siapa mereka dan berlari ketakutan.
“ Janganpernah ganggu
sepupuku!!! “ pimpinan dari gerombolan anak kecil itu berteriak kesal.
“ Aku nggak papa kok
Bob, bukan dia yang gangguin Raras “ sayup-sayup kudengar gadis kecil itu
berkata. Raras . . . .
Aku
terbangun dari tidurku. Ternyata hanya sebuah mimpi. Peluh bercucuran dari
tubuhku. Sekarang aku ingat siapa mereka. Anak laki-laki itu adalah aku, dan
anak gadis itu adalah Raras.. Lamunanku kembali ke masa lalu, saat itu aku
duduk di bangku kelas dua SD, sebagai seorang murid pindahan, ada-ada saja ulah
teman-temanku untuk mem-bully-ku. Dan
Raras saat itu masih TK, namun ia sudah sangat berani. Hingga membuatku sangat
marah dan mulai membencinya.
" Kamu
nggak papa? " Raras kecil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
" Argh,
anak kecil ini lagi " Willy, teman sekelas yang selalu membully-ku nampak
tak suka dengan kedatangan Raras.
" Minggir
" dia mendorong Raras hingga terjatuh, kulihat kaki Raras terluka. Namun
ia segera berdiri, dengan menahan sakit ia berdiri diantara kami, melebarkan
kedua tangannya.
" Kalau
kamu nggak pergi, aku laporin kamu ke bu guru " ancamnya tanpa rasa takut.
" Argh,
anak ini benar-benar membuatku kesal, kita pergi saja " Willy dan
teman-temannya akhirnya pergi meninggalkanku.
" Kamu
nggak papa? " lagi-lagi Raras mengulurkan tangannya untuk membantuku
berdiri. Namun aku malah menepis tangannya.
" Bodoh,
apa yang kamu lakukan? Willy jauh lebih besar daripada kamu, bagaimana kalau
kamu dipukul, lihat kakimu berdarah " Aku meneriakinya kesal, namun Raras
tak takut atau menangis, dia malah tersenyum.
" Raras
nggak takut sama Willy, kalau Willy macem-macem sama Raras, Raras bisa hajar
Willy kok "
Bahkan Raras kecil terlalu berani, bukan seperti
perempuan kecil lainnya yang membutuhkan perlindungan, ia malah sok jagoan
melindungi orang lain.Apa dia tak pernah berfikir, bagaimana jika salah satu
diantara anak-anak nakal itu memukulnya. Dan gara-gara Raras pula, sampai lulus
SD aku dijuluki anjing yang bersembunyi di belakang kucing.
***
Hari
ini aku sengaja menunggu Raras di halte bus untuk menjalankan misiku. Tak
berapa lama Raras datang, ia duduk di tempat yang masih kosong, terlalu jauh,
fikirku. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya.
“
Kamu beneran pacaran sama Dimas? “ tanyaku tanpa basa-basi. Tapi Raras tak
menjawabnya.
“
Hei, jawab donk, kamu nggak bisu kan atau kamu tuli? “
“
Apa urusannya denganmu? “ Aku terdiam, mencari sebuah alasan yang tepat.
“
Aku cuma merasa kasihan, Dimas memanfaatkanmu, kamu hanya sebagai bahan taruhan
kami dan sekarang Dimas menang karena bisa mendapatkanmu“
“
Kenapa aku harus percaya dengan apa yang kamu katakan? “
“
Aku hanya ingin mengingatkanmu, anggap saja balasan karena dulu kamu selalu
menolongku “
“
Terimakasih, tapi aku tak butuh bantuanmu “ Raras menghentikkan sebuah bus, tanpa menghiraukanku
dan aku mengekor di belakangnya.
***
" Ah, jadi kamu cuma iseng ngedeketin Raras "
aku berkata dengan sedikit berteriak, ketika melihat Raras memasuki kantin dan
Dimas tak menyadarinya.
" Selamat ya nampaknya kamu sudah berhasil "
Raras, ia memandangku dengan kesal. Mungkin dia
tau, aku sengaja mengeraskan suaraku agar dia mendengarnya. Tapi masa bodoh,
bukankah ini memang tujuanku?
" Raras . . . " Angga yang duduk di sampingku
menyadari keberadaan Raras, namun kali ini Raras memilih untuk pergi. Keputusan
yang tepat. Dimas yang tadinya tak menghiraukanku, nampak benar-benar marah.
Tanpa berkata apa-apa dia mengejar Raras keluar.
" Gila kamu ya, sakit!! " Angga nampaknya juga
kesal padaku dan meninggalkanku sendirian di kantin. Tapi apa perduliku dengan
mereka, asalkan tujuanku sudah tercapai, itu sudah cukup. Segala resikonya akan
ku tanggung.
***
Bobby dan teman-temannya menyeretku paksa kebelakang
sekolah. Ini pasti karena Raras. Benar-benar keluarga menyebalkan. Bobby adalah
sepupu Raras, tapi tingkahnya kepada Raras benar-benar seperti ayah kepada
anaknya. Sejak kecil, dia selalu melindungi Raras dan tak akan pernah
mengampuni siapa saja yang membuat Raras menangis.
Tapi sayangnya Raras tak pernah menangis, jadi indikator dia menghajar bocah
demi Raras ia turunkan, menjadi siapa saja yang dianggapnya, secara subyektif,
mengganggu Raras, akan berhadapan dengannya. Benar-benar kekanakan.
“
Dari dulu sudah pernah aku bilang, jangan ganggu Raras!!! “ bogem mentah Bobby
mendarat di perutku hingga membuatku terjatuh.
“
Apa-apaan ini? “ aku mencoba berdiri.“ Siapa yang mengganggu Raras? “
“
Dari dulu sebenarnya aku ingin memukulmu, tapi Raras selalu membelamu,
melihatmu selalu mengacuhkan Raras padahal dia selalu menolongmu, kamu
benar-benar tak tau malu. Kamu bahkan lebih rendah dari anjing yang bersembunyi
di belakang kucing“ lagi-lagi Bobby melayangkan tinjunya, aku tak dapat
menghindar, karena dua teman Bobby memegang tanganku.“ Itu untuk Raras kecil “
dan sekali lagi Bobby melayangkan tinjunya “ Itu untuk apa yang kamu lakukan
hari ini “
“
Bobby . . . “ Raras berteriak, dan berlari menghampiri kami. Kucing
yang selalu menyelamatkanku akhirnya datang.
" Apa yang kamu lakukan? "
" Memberi pelajaran bocah tak tau diri ini "
sekali lagi Bobby meninju perutku.
" Plaaakkk " terdengar suara tamparan, aku bisa
menebak, pasti Raras menampar pipi Bobby.
" Kamu gila, apa kamu sekarang udah jadi preman?
"
" Tapi aku lakuin ini semua buat kamu Ras "
" Pergi!!! Dari dulu aku sudah bilang sama kamu, aku
nggak butuh perlindunganmu " Raras hanya berteriak sekali dan anehnya
sudah bisa membuat Bobby pergi. Bagaimana bisa, seorang
preman sekolah seperti Bobby takut dengan gadis seperti Raras? Apa yang dipunya
perempuan ini hingga semua orang sangat menyukainya dan menuruti semua
kata-katanya?
" Aku nggak akan mengulurkan tanganku buat nolong
kamu berdiri, karena kamu pasti menepisnya. Aku nggak akan nanya apa kamu
baik-baik saja atau mana yang terluka, karena kamu pasti tak akan menjawabnya.
Tapi dari dulu sampai sekarang, aku nggak pernah habis fikir, kenapa kamu
begitu membenciku? Apa salahku? " aku tersenyum mengejek, kesalahanmu
sangat banyak. Bahkan kamu di lahirkan di dunia ini itu saja sudah salah. Kesalahanmu
adalah kamu selalu ada didekatku, kamu yang selalu melihat sisi lemahku dan
kamu yang selalu sok jagoan membelaku. Aku ingin menjawabnya, namun rasanya tak
ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku
" Apakah kamu juga tak bisa menjawab pertanyaanku?
" raut muka Raras terlihat sangat sedih, tanpa berkata-kata dia pergi
meninggalkanku.
" Oia " Raras berbalik dan menghampiriku "
Percaya atau nggak, aku nggak pernah jadian sama Dimas, dan apa yang kamu
lakukan itu semua percuma. Demi buat nyakitin aku, kamu malah kehilangan
sahabat-sahabatmu " sekilas aku melihat air mata di ujung matanya dan
sebelum aku melihatnya dengan lebih jelas, Raras benar-benar pergi
meninggalkanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar