Kamis, 03 April 2014

Tresno - Masa Lalu



MASA LALU
“ Jika aku tak melakukan kebodohan – kebodohan di masa lalu kita, akankah detik ini kita dapat bersama. Kebodohanku adalah takdir Tuhan yang ditulis untuk mempersatukan kita “

" Pagi nak, mau berangkat sekolah? Bareng sama Tresno aja " suara bapak terdengar samar-samar dari luar rumah, dan sudah bisa ditebak beliau sedang berbicara dengan siapa, karena hanya dengan gadis itu bapak dapat berbicara serenyah ini. Apalagi menawarkanku untuk jadi ojek gratis baginya. Aku melihat dari jendela, Raras sedang berbasa-basi dengan bapak, sesekali mereka tertawa. Perempuan munafik, gerutuku kesal.
" Bu', bapak apa-apaan sich, aku nggak suka sama cara beliau yang seperti itu " Aku duduk di meja makan, bersama Ibu dan Aji.
" Apa sich nak? "
" Raras "
" Ada apa lagi dengan Raras? Salah apa dia sama kamu, menurut Ibu Raras itu anak baik, sopan lagi. Kamu jangan terlalu benci sama dia " Ibu dan bapak selalu berada di sisi Raras.
" Ibu sama bapak sama saja, apa bagusnya perempuan itu " aku beranjak dari dudukku, selalu begitu kalau menyangkut Raras.
" Loh, kok kamu malah marah "
“ Pokoknya aku nggak suka ngelihat bapak, ibu atau Aji deket-deket sama perempuan itu “
“ Mas Tresno lagi PMS buk, biasa anak perawan “ kata Aji, dengan nada mengejek.
" Tau apa kamu anak kecil " aku menjitak kepala Aji, melampiaskan kekesalanku kepada Raras.
***
" No, tau nggak, si Dimas punya pacar baru, anak kelas satu " Angga nampak berapi-api, namun aku begitu malas untuk menanggapinya.Apa urusanku dengan Dimas, tak ada untungnya mengurusi pacar barunya, bukannya berganti pacar adalah hal biasa untuknya? Apa yang harus dibesar-besarkan?
" Kayaknya ini bakalan serius, Dimas suka banget sama pacar barunya "
" Palingan juga maksimal tiga bulan, kayak nggak tau Dimas aja " jawabku malas.
" Seriusan, katanya dia tetanggamu lo "
" Ooo jadi itu alasannya si Dimas rajin banget ke rumah? Jadi sekarang alasannya bukan cuma makanan gratis? " entah mengapa aku begitu kesal karena hal ini. Tapi tetanggaku? Kelas satu? Siapa? Mungkinkah Raras? Semoga saja bukan.
" Ya ini dia, panjang umur ini anak " Dimas meletakkan tasnya di mejaku, dia nampak tersenyum senang dan rasanya auranya memang nampak berbeda.Membuatku penasaran, siapa tetanggaku yang dipacarinya.
" Siapa pacar baru kamu? " tanyaku, mencoba bertanya dengan nada tak perduli, namun malah suaraku terdengar seperti orang yang sedang kesal.
" Salah makan No? Pagi-pagi udah suram gitu "
" Siapa? " Ulangku sekali lagi dan berharap itu bukan Raras.
" Eits sabar boss, ntar siang aku kenalin ke kalian semua, sekarang yang penting pinjem PR Fisika kalian " Dimas mengambil tasku, dan menemukan buku Fisika yang dicarinya. Sedetik kemudian dia sudah sibuk menyalin PR Fisikaku.Jika benar pacar baru Dimas adalah Raras, maka perempuan ini benar-benar bodoh, jadi seleranya hanya selevel Dimas?
" Kamu suka Dimas ya No? " Angga berbisik ketelingaku, aku memandangnya dengan tatapan heran, dan sedetik kemudian memukul kepala Angga dengan botol mineral yang ada didepanku.
" Abisnya temennya punya pacar baru bukannya seneng malah sewot, kayak istri yang tau suaminya selingkuh aja " Angga menggerutu kesal. Argh, ini semua gara-gara Raras. Perempuan itu benar-benar membuatku kesal.
***
Teeetttttt . . . Teeettttt . . .
Bel tanda istirahat berbunyi, Dimas nampak bergegas keluar kelas.
" Tunggu dikantin ya? " teriaknya dengan penuh semangat dari luar kelas.
" Ayo No " Angga mulai menyeretku ketika melihat tak ada reaksi dariku.
" Ia aku bisa jalan sendiri " aku mengibaskan tangan Angga kesal, bagaimana kalau ada yang melihat dan mengira kami homo? Bergandengan di area sekolah, pada saat jam istirahat.
Aku berjalan dengan malas, berharap waktu berhenti, takut jika perempuan yang dimaksud Dimas adalah Raras. Kantin yang begitu dekat terasa begitu jauh. Kami memilih tempat biasanya, pojokan, tempat biasa anak kelas tiga menghabiskan waktu istirahatnya atau tempat persembunyian terbaik bagi murid-murid yang membolos. Seperti biasa, Angga memesan bakso dan sebotol air mineral. Sementara aku, perutku terasa mulas, harap-harap cemas, semoga pacar baru Dimas bukan Raras. Entah mengapa aku begitu membenci perempuan ini, dan tak rela jika dia berpacaran dengan sahabatku. Meskipun itu adalah seorang playboy seperti Dimas.
Dan Dimas, dia bersama dengan seorang perempuan.
" Kenalin ini Raras, pacar baruku " Dimas memperkenalkan Raras dengan penuh semangat.
" Bukan pacar, lagian siapa yang mau pacaran sama kamu " Raras, dia tersenyum dan entah mengapa membuatku semakin membencinya.
" Tresno, kamu kenal Raras kan? "aku tak menjawab pertanyaan Dimas, hanya terus memandang Raras dengan pandangan kesal.
" Ahh, kenal " Raras mencoba tersenyum padaku, tapi entah mengapa senyum itu serasa dipaksakan. Tak tulus.
Aku hanya memandang tangannya yang terulur menunggu tanganku untuk berjabat, sedetik kemudian aku memandang wajahnya, ia nampak kikuk. Sadar tak akan ada respon dariku, Raras menarik tangannya kembali.
“ Aku nggak kenal “ kataku malas, beranjak dari dudukku, kutinggalkan Raras, Dimas dan Angga. “ Aku balik ke kelas dulu “ kataku sambil berlalu.
“ Aish, bocah ini . . . “ kudengar Angga mendesis kesal.
“ Maafin dia ya Ras, maklum, pasangan homonya kamu rebut “ samar-samar kudengar Angga mencoba membuat sebuah lelucon. Maaf? Untuk apa? Seharusnya gadis ini yang meminta maaf padaku. Meminta maaf karena telah menjungkir balikkan duniaku.
***
" Kenapa sich harus dia? Nggak ada perempuan lainnya ya? Apa stock kamu udah habis? Perlu aku cariin? " aku memantul-mantulkan bola basket ke tanah, sementara Angga dan Dimas duduk didepanku, beristirahat karena pelajaran olahraga yang baru saja selesai.
" Kamu ini yang kenapa? Dari dulu sewot banget sama Raras " bukannya Dimas menjawab pertanyaanku, Angga malah melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tak bisa kujawab.
" Situ nggak usah ikut campur ya " kataku marah pada Angga.
" Oke oke, aku nggak akan ikut campur masalah rumah tangga kalian "
" Raras, nggak ada alasan buat jatuh cinta sama dia " tiba-tiba saja Dimas berkata pelan, pandangannya tampak membayangkan sesuatu yang aku sendiri tak ingin membayangkannya, pasti perempuan itu dan senyumnya mengembang. Benar-benar menjijikkan.
" Kamu gila, pasti ada alasan buat seseorang jatuh cinta, entah dia cantik, entah dia baik, entah dia kaya "
" Aku juga bingung, awalnya cuma iseng ngedeketin dia, tapi tiba-tiba aja aku udah ngerasa suka banget sama dia. Nggak tau awalnya kapan " Dimas tersenyum malu, dan di mataku ini sangat memuakkan.
" Eh itu Raras, Raras " Angga memanggil Raras, bukannya pura-pura tak mendengar perempuan bodoh itu malah datang menghampiri kami.
" Baru selesai olahraga ya " tanyanya basa-basi, bukannya dia sudah melihat. Kami mengenakan pakaian olahraga, dan keringat bercucuran dari tubuh kami, sudah pasti kami habis berolahraga. Aku melemparkan bola basket dengan kesal ke arah Raras, meskipun terkejut tapi Raras berhasil menghindarinya.
" Woi, apa-apaan kamu " Dimas berdiri dari duduknya " Kamu nggak papa? " Raras menggeleng.
" Sorry nggak sengaja " kataku enteng dan pergi meninggalkan mereka.
" Bener-bener nggak waras tu orang " Angga menggerutu kesal melihat sikapku.
“ Kekanakan “ desis Raras kesal.
***
Hari ini hari Minggu, dan jam menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun Angga dan Dimas sudah berada dirumahku, seperti biasa, meminta sarapan gratis. Dan seperti biasanya waktu tidurku yang harus dikorbankan.
“ Makasih sarapannya tante “ ujar Dimas dan Angga bebarengan. Suara denting sendok dan piring bergema diseluruh ruangan, dalam sekejap nasi goreng yang ada di piring mereka telah tandas, sementara piringku masih belum tersentuh.
“ Kamu nggak bisa ya putusin Raras? “ tiba-tiba saja aku ingin menanyakan ini pada Dimas. Sontak, seluruh orang yang ada diruangan menjadi hening. Masa bodoh dengan reaksi mereka. Yang jelas Raras harus menjauh dari Dimas, menjauh dari sekelilingku.
“ Loh, Raras siapa? Dimas pacaran sama Raras anaknya Bu Ambar? “ Ibu yang sedari tadi menunggui kami mulai angkat bicara dan aku hanya terdiam.
“ Ia tante “ Dimas menjawab, dan raut mukanya mulai berubah.
“ Mmm . . . Tante ambilkan nasi lagi ya, kalian harus nambah ya “ ibu memilih untuk meninggalkan kami.
“ Kamu suka Raras? “ Dimas bertanya.
“ Bukan suka tapi benci “ jawabku“ Akucuma nggak suka melihat dia bersama dengan sahabatku, dia nggak pantas buat kamu “ tambahku.
“ Itu bukan suatu alasan “ Dimas beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan rumahku. Benar, pergi saja yang jauh, jika Dimas menjauh maka Raras juga akan ikut menjauh, bukannya seorang pacar akan mengikuti pacarnya?
“ Kamu gila No, itu bukan benci, jangan-jangan kamu suka Raras, benar kan? Itu baru sebuah alasan “ Angga menyusul Dimas.
“ Loh, kemana Angga sama Dimas? “ ibu kembali dengan membawa nasi goreng di mangkuk.
“ Pulang “
“ Apa karena Raras kalian bertengkar? “ tanpa menjawab pertanyaan ibu, aku meninggalkan meja makan dengan perasaan sangat kesal. Bagus, dulu keluargaku dan sekarang teman-temanku. Raras, jika Dimas tidak memutuskanmu. Aku yang akan membuatmu memutuskannya.
***
Sepertinya aku mengenali anak lelaki itu, ia menangis sesenggukan didepan bekas sekolahku. Dikerumuni oleh segerombolan anak kecil berseragam putih merah lainnya, bukannya menenangkan mereka malah semakin mengejek anak kecil itu hingga tangisannya semakin kencang.
“ Yaaaa, apa yang kalian lakukan!! “ seorang anak gadis masih mengenakan seragam sekolahnya, sepertinya ia masih duduk di bangku TK,  masuk ke tengah kerumunan.
“ Kalau kalian berani jangan maen keroyokan “ anak gadis itu menendang salah satu kaki gerombolan anak tadi.
“ Kamu anak kecil jangan ikut campur “ salah seorang anak mendorong anak gadis itu hingga terjatuh, bukannya takut, anak gadis itu berdiri dan malah memukul perut anak laki-laki yang mendorongnya hingga terjatuh.
“ Pergi nggak kalian? “ ia memutar-mutar tasnya, dan gerombolan anak kecil tadi lari berhamburan menghindari sabetan tas gadis kecil itu.
“ Kamu nggak papa? “ bukannya berterimakasih, anak laki-laki itu malah mendorong gadis kecil yang menolongnya hingga terjatuh, tak tau diri fikirku.
“ Apa yang kamu lakukan? “ gerombolan anak kecil lainnya datang, tapi sepertinya bukan gerombolan pertama yang membuat anak laki-laki itu menangis, tapi anak laki-laki taditerlalu  takutuntuk mengenali siapa mereka dan berlari ketakutan.
“ Janganpernah ganggu sepupuku!!! “ pimpinan dari gerombolan anak kecil itu berteriak kesal.
“ Aku nggak papa kok Bob, bukan dia yang gangguin Raras “ sayup-sayup kudengar gadis kecil itu berkata. Raras . . . .
Aku terbangun dari tidurku. Ternyata hanya sebuah mimpi. Peluh bercucuran dari tubuhku. Sekarang aku ingat siapa mereka. Anak laki-laki itu adalah aku, dan anak gadis itu adalah Raras.. Lamunanku kembali ke masa lalu, saat itu aku duduk di bangku kelas dua SD, sebagai seorang murid pindahan, ada-ada saja ulah teman-temanku untuk mem-bully-ku. Dan Raras saat itu masih TK, namun ia sudah sangat berani. Hingga membuatku sangat marah dan mulai membencinya.
" Kamu nggak papa? " Raras kecil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
" Argh, anak kecil ini lagi " Willy, teman sekelas yang selalu membully-ku nampak tak suka dengan kedatangan Raras.
" Minggir " dia mendorong Raras hingga terjatuh, kulihat kaki Raras terluka. Namun ia segera berdiri, dengan menahan sakit ia berdiri diantara kami, melebarkan kedua tangannya.
" Kalau kamu nggak pergi, aku laporin kamu ke bu guru " ancamnya tanpa rasa takut.
" Argh, anak ini benar-benar membuatku kesal, kita pergi saja " Willy dan teman-temannya akhirnya pergi meninggalkanku.
" Kamu nggak papa? " lagi-lagi Raras mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Namun aku malah menepis tangannya.
" Bodoh, apa yang kamu lakukan? Willy jauh lebih besar daripada kamu, bagaimana kalau kamu dipukul, lihat kakimu berdarah " Aku meneriakinya kesal, namun Raras tak takut atau menangis, dia malah tersenyum.
" Raras nggak takut sama Willy, kalau Willy macem-macem sama Raras, Raras bisa hajar Willy kok "
Bahkan Raras kecil terlalu berani, bukan seperti perempuan kecil lainnya yang membutuhkan perlindungan, ia malah sok jagoan melindungi orang lain.Apa dia tak pernah berfikir, bagaimana jika salah satu diantara anak-anak nakal itu memukulnya. Dan gara-gara Raras pula, sampai lulus SD aku dijuluki anjing yang bersembunyi di belakang kucing.
***
Hari ini aku sengaja menunggu Raras di halte bus untuk menjalankan misiku. Tak berapa lama Raras datang, ia duduk di tempat yang masih kosong, terlalu jauh, fikirku. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya.
“ Kamu beneran pacaran sama Dimas? “ tanyaku tanpa basa-basi. Tapi Raras tak menjawabnya.
“ Hei, jawab donk, kamu nggak bisu kan atau kamu tuli? “
“ Apa urusannya denganmu? “ Aku terdiam, mencari sebuah alasan yang tepat.
“ Aku cuma merasa kasihan, Dimas memanfaatkanmu, kamu hanya sebagai bahan taruhan kami dan sekarang Dimas menang karena bisa mendapatkanmu“
“ Kenapa aku harus percaya dengan apa yang kamu katakan? “
“ Aku hanya ingin mengingatkanmu, anggap saja balasan karena dulu kamu selalu menolongku “
“ Terimakasih, tapi aku tak butuh bantuanmu “ Raras menghentikkan sebuah bus, tanpa menghiraukanku dan aku mengekor di belakangnya.
***
" Ah, jadi kamu cuma iseng ngedeketin Raras " aku berkata dengan sedikit berteriak, ketika melihat Raras memasuki kantin dan Dimas tak menyadarinya.
" Selamat ya nampaknya kamu sudah berhasil " Raras, ia memandangku dengan kesal. Mungkin dia tau, aku sengaja mengeraskan suaraku agar dia mendengarnya. Tapi masa bodoh, bukankah ini memang tujuanku?
" Raras . . . " Angga yang duduk di sampingku menyadari keberadaan Raras, namun kali ini Raras memilih untuk pergi. Keputusan yang tepat. Dimas yang tadinya tak menghiraukanku, nampak benar-benar marah. Tanpa berkata apa-apa dia mengejar Raras keluar.
" Gila kamu ya, sakit!! " Angga nampaknya juga kesal padaku dan meninggalkanku sendirian di kantin. Tapi apa perduliku dengan mereka, asalkan tujuanku sudah tercapai, itu sudah cukup. Segala resikonya akan ku tanggung.
***
Bobby dan teman-temannya menyeretku paksa kebelakang sekolah. Ini pasti karena Raras. Benar-benar keluarga menyebalkan. Bobby adalah sepupu Raras, tapi tingkahnya kepada Raras benar-benar seperti ayah kepada anaknya. Sejak kecil, dia selalu melindungi Raras dan tak akan pernah mengampuni siapa saja yang membuat Raras menangis. Tapi sayangnya Raras tak pernah menangis, jadi indikator dia menghajar bocah demi Raras ia turunkan, menjadi siapa saja yang dianggapnya, secara subyektif, mengganggu Raras, akan berhadapan dengannya. Benar-benar kekanakan.
“ Dari dulu sudah pernah aku bilang, jangan ganggu Raras!!! “ bogem mentah Bobby mendarat di perutku hingga membuatku terjatuh.
“ Apa-apaan ini? “ aku mencoba berdiri.“ Siapa yang mengganggu Raras? “
“ Dari dulu sebenarnya aku ingin memukulmu, tapi Raras selalu membelamu, melihatmu selalu mengacuhkan Raras padahal dia selalu menolongmu, kamu benar-benar tak tau malu. Kamu bahkan lebih rendah dari anjing yang bersembunyi di belakang kucing“ lagi-lagi Bobby melayangkan tinjunya, aku tak dapat menghindar, karena dua teman Bobby memegang tanganku.“ Itu untuk Raras kecil “ dan sekali lagi Bobby melayangkan tinjunya “ Itu untuk apa yang kamu lakukan hari ini “
“ Bobby . . .  Raras berteriak, dan berlari menghampiri kami. Kucing yang selalu menyelamatkanku akhirnya datang.
" Apa yang kamu lakukan? "
" Memberi pelajaran bocah tak tau diri ini " sekali lagi Bobby meninju perutku.
" Plaaakkk " terdengar suara tamparan, aku bisa menebak, pasti Raras menampar pipi Bobby.
" Kamu gila, apa kamu sekarang udah jadi preman? "
" Tapi aku lakuin ini semua buat kamu Ras "
" Pergi!!! Dari dulu aku sudah bilang sama kamu, aku nggak butuh perlindunganmu " Raras hanya berteriak sekali dan anehnya sudah bisa membuat Bobby pergi. Bagaimana bisa, seorang preman sekolah seperti Bobby takut dengan gadis seperti Raras? Apa yang dipunya perempuan ini hingga semua orang sangat menyukainya dan menuruti semua kata-katanya?
" Aku nggak akan mengulurkan tanganku buat nolong kamu berdiri, karena kamu pasti menepisnya. Aku nggak akan nanya apa kamu baik-baik saja atau mana yang terluka, karena kamu pasti tak akan menjawabnya. Tapi dari dulu sampai sekarang, aku nggak pernah habis fikir, kenapa kamu begitu membenciku? Apa salahku? " aku tersenyum mengejek, kesalahanmu sangat banyak. Bahkan kamu di lahirkan di dunia ini itu saja sudah salah. Kesalahanmu adalah kamu selalu ada didekatku, kamu yang selalu melihat sisi lemahku dan kamu yang selalu sok jagoan membelaku. Aku ingin menjawabnya, namun rasanya tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku
" Apakah kamu juga tak bisa menjawab pertanyaanku? " raut muka Raras terlihat sangat sedih, tanpa berkata-kata dia pergi meninggalkanku.
" Oia " Raras berbalik dan menghampiriku " Percaya atau nggak, aku nggak pernah jadian sama Dimas, dan apa yang kamu lakukan itu semua percuma. Demi buat nyakitin aku, kamu malah kehilangan sahabat-sahabatmu " sekilas aku melihat air mata di ujung matanya dan sebelum aku melihatnya dengan lebih jelas, Raras benar-benar pergi meninggalkanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar