Selasa, 10 Desember 2013

Perempuan Bahu Laweyan




" Kamu harus segera menikah Nduk, umurmu sudah 25 tahun, apa kata orang jika tau anak perawan Ibu sampai sekarang belum menikah? " kepulanganku ke kampung halaman sejatinya adalah untuk menenangkan diri karena kematian Anton, tunanganku, seminggu yang lalu. Namun bukannya tenang, aku semakin dibebani dengan permintaan Ibu yang memintaku untuk segera menikah.
" Ibu, bukannya Sekar tidak mau menikah secepatnya, tapi Sekar masih berkabung, Anton baru saja meninggal. Lagipula Sekar masih belum menemukan pengganti Anton " kataku membujuk, berharap Ibu mengerti posisi dan perasaanku.
" Ibu tau Nduk, tapi jangan lama-lama berkabungnya, tidak baik kalau dilihat orang kampung. Meskipun Ibu tau bagaimana perasaanmu, tapi wong kampung iku bedo ( tapi orang kampung itu berbeda ), mereka tidak akan memikirkan hal-hal seperti itu. Kamu lihat Surti, teman SD kamu itu, sekarang anaknya sudah dua. Nah, yang mereka tahu itu ya cuma seperti itu, wong wadon iku tugase cuma masak, macak lan manak ( perempuan itu tugasnya hanya memasak, berhias dan melahirkan ) itu yang benar."
" Ibu, ini sudah jaman modern. Sudah tidak jaman Bu, kalau Ibu bilang wong wadon iku tugase cuma masak, macak lan manak. Kami bukan boneka, kami juga punya kehidupan yang ingin kami bangun dengan mimpi-mimpi kami  " protesku tidak setuju.
" Sekar, jika kamu adalah orang Jawa, apalagi seorang perempuan Jawa, dimanapun dan kapanpun kamu hidup, kamu harus menjadi seorang perempuan Jawa seutuhnya dan hidup dalam tradisi leluhur yang mau tak mau secara mutlak telah menempel dalam jati dirimu sebagai perempuan Jawa. Meskipun kamu punya mimpi, kamu harus ingat dengan kodratmu sebagai seorang perempuan " Ibu membelai rambutku lembut, nasehat ini selalu Ibu ucapkan ketika aku dianggap lupa dengan jati diriku yang sebenarnya.
" Sekar tau Bu " Akhirnya aku memilih untuk tidak membantah kata-kata Ibu, dan tertidur di sampingnya. Sekarang aku lelah dan hanya ingin tidur.
Ya, siapapun aku sekarang, aku tetaplah seorang perempuan Jawa di mata Ibuku dan orang-orang yang hidup di kampung ini. Bahkan tradisi itu tetap berlaku meskipun kamu adalah seorang wanita karir yang bekerja di kota metropolitan seperti Jakarta, menyandang gelar S2 dari perguruan tinggi luar negeri dan hidup di era globalisasi yang semuanya serba canggih dan modern. Kamu tetaplah perempuan Jawa, titik. Itulah jati dirimu.
***
" Mbak Sekar . . . Mbak Sekar . . . " Fitri, anak gadis Mbok Rah, pembantu Ibu, menggedor pintu kamarku seperti orang kesetanan.
" Ada apa Fit? " aku membukakan pintu untuk Fitri dan mempersilahkannya masuk ke kamarku. Usia Fitri 17 tahun, masih SMA, tapi dia sudah dilamar oleh Supri, anak juragan angkot yang hobbynya judi ayam dan mabuk-mabukan. Jadi setelah lulus SMA dia akan langsung menikah dengan lelaki tak berpenghasilan itu, tanpa bisa menolak atau hanya sekedar memberikan pendapat, dia hanya bisa pasrah menerima nasibnya.
" Hanya karena bapaknya juragan angkot Ibu menerima pinangan Supri, padahal Mbak tau Supri itu kerjaannya cuma mabuk-mabukan dan judi ayam " masih kuingat seminggu yang lalu Fitri menangis di hadapanku karena mendengar perjodohannya dengan Supri.
" Kamu kan bisa nolak Fit? " saranku prihatin.
" Ndak bisa Mbak, kata Ibu kalau Fitri menolak perjodohan ini, Fitri akan jadi perawan tua seumur hidup. Fitri ndak mau jadi perawan tua " aku hanya dapat menghela nafas mendengar cerita Fitri. Meskipun ingin membantu, tapi apa yang bisa kulakukan?
 Dan sekarang Fitri sudah kembali ceria, seperti tidak ada masalah apa-apa. Wajar, Fitri memang masih bau kencur untuk melihat masalah sebagai masalah.
" Ada apa, kamu habis melihat hantu ya? "
" Mbak tau Mbak tau, Fitri ada gosip hebat, Mbak Sekar pasti pingsan mendengarnya "
" Ada apa sich? " tanyaku penasaran.
" Tadi kan Fitri pergi ke pasar nemenin Ibu belanja, eh Fitri denger kalau Pak Lurah mau ngelamar Mbak Sekar " Fitri nampak benar-benar bersemangat.
" Pak Lurah? Maksud kamu Aji? "
" Iya Mbak, Mas Aji. Wah Ibuknya Mbak Sekar pasti seneng banget punya mantu lurah " duniaku terasa berputar, berharap apa yang dikatakan Fitri hanyalah kabar burung saja. Aji, dia temanku dari SD sampai SMA. Aku sudah tau betul peringainya, karena anak orang yang cukup kaya dan terpandang di desaku, dia tumbuh jadi anak yang bengal dan sombong. Bahkan aku yakin, jabatannya sekarang sebenarnya dibeli dengan uang keluarganya, karena dulu dia tidak terlalu pintar, nilainya selalu di bawah rata-rata.
" Kamu yakin? " Fitri mengangguk senang " kamu boleh pergi, nanti aku tanya Ibu kebenarannya seperti apa " Ibu, apa yang sedang Ibu fikirkan.
Fitri meninggalkanku sendirian di kamar. Setelah dapat menahan emosiku, aku menghampiri Ibu yang sedang memasak di dapur bersama Mbok Rah.
" Ibuk, Sekar dengar dari Fitri . . . " akhirnya aku berani bertanya setelah berdiri cukup lama di depan pintu dapur. " Aji . . . "
" Kamu sudah dengar dari Fitri ya. Ya ampun, bocah kui emang ra iso jogo rahasia ( anak itu memang tidak bisa menjaga rahasia ). Sini-sini, jangan berdiri didepan pintu gitu Nduk, ndak baik buat anak perawan " wajah Ibu nampak berseri-seri.
" Ibu yakin, ini Aji Bu. Ibu kan juga tau Aji itu gimana "
" Sudah, kamu jangan mbantah perintah Ibu. Mungkin aja dulu Aji seperti itu, kan sekarang dia sudah berubah. Lagipula Aji sekarang sudah jadi orang terpandang di desa ini " Jika Ibu berkata seperti ini, maka aku sudah tidak bisa membantah lagi, meskipun seribu alasan yang rasional ku ungkapkan. Ketika orang tua berkata menikah, maka kamu akan menikah. Seburuk apapun Aji di masa lalu, sekarang dia sudah jadi orang terpandang. Apalagi seorang Lurah dan aku sudah tahu apa yang akan difikirkan orang-orang kampung ini. Aku, adalah perempuan yang sangat beruntung.
***
Menjadi perempuan itu benar-benar merepotkan dan serba salah. Apapun yang kamu lakukan, yang paling penting adalah pandangan orang. Tapi masalahnya, bagaimanapun kamu berusaha untuk menjadi yang terbaik, masih ada celah bagi orang-orang kurang kerjaan itu untuk mencibirmu. Menjadikanmu bahan gunjingan yang terkadang memerahkan telinga.
" Untung ya Pa Lurah mau ngelamar anak perawannya Bu Wati, kalau ndak pasti Bu Wati sudah malu punya anak cantik, tapi jadi perawan tua "
" Meskipun Sekar itu cantik dan pintar, tapi kalau jadi perawan tua ya percuma, perempuan ndak laku itu namanya. Masak kembang desa kok ndak laku, bisa malu orang sedesa "
" Tapi Bu Wati memang beruntung, sudah kaya, anaknya cantik. Eh, sekarang punya mantu Lurah "
Ibu-ibu di kampung ini memang tidak ada kerjaan lain selain bergosip dan mengurusi hidup orang lain. Entah mereka memang tidak menyadari kehadiranku atau memang sudah tidak punya malu lagi, mereka membicarakan hidupku seolah aku selebritis yang baru naik daun. Ah, biarkan saja mereka bergosip, bukannya kalau kita dibicarakan seperti itu maka Tuhan akan mengurangi dosa kita? Anggap saja benar seperti itu, daripada harus pusing meladeni ocehan mereka yang tidak ada habisnya.
Aku memilih duduk di Musholla kampung, entah mengapa disini aku merasa lebih tenang. Disini aku tidak bisa mendengar orang-orang itu membicarakanku. Jelas, ini rumah Tuhan. Mana mungkin mereka melakukan hal-hal semacam itu disini. Ah, akhirnya aku bisa sedikit menenangkan fikiran, agar tidak menjadi gila karena sikap Ibu dan seluruh orang yang ada di kampung ini. Apa kata teman-temanku kalau aku menjadi gila? Aku lebih tidak bisa membayangkannya.
" Assalamua'laikum " seorang laki-laki muda membuyarkan lamunanku, mungkin usia laki-laki ini sepantaran denganku, mengenakan baju koko dan kopiah, bukan laki-laki modern pastinya. Pasti salah satu pemuda dari kampung ini.
" Assalamua'laikum " ulangnya, karena salam pertamanya tidak kujawab.
" Wa’alaikumsalam " jawabku sekenanya, aku beranjak dari dudukku dan pergi meninggalkan laki-laki ini sendirian. Tak berminat untuk membuka obrolan, karena sejujurnya aku sedang malas berbicara dengan siapapun. Apalagi dengan orang asing yang tidak kukenal.
" Mbak " panggilnya dan aku menghentikan langkahku, menoleh ke arahnya " Musholla itu tempat beribadah, bukan tempat melamun. Kalau Mbak sedang ada masalah, lebih baik mendekatkan diri sama Gusti Allah " laki-laki itu tersenyum, dan entah mengapa membuat perasaanku semakin kesal. Sekarang tidak hanya ibu-ibu, anak muda juga mulai suka mencampuri urusan orang lain. Bukan urusanmu! Jawabku kesal dalam hati.
***
Hidupku berakhir, aku benar-benar akan menikah dengan Aji. Sebelum acara ijab qobul, aku harus mengikuti serangkaian acara adat pernikahan Jawa dan hari ini aku harus melalui acara siraman. Aku sudah siap dengan pakaian kemben dan rangkaian bunga melati yang menghiasi rambutku.
" Astaghfirullah " salah seorang keluarga Aji memekik kaget setelah masuk ke dalam kamarku, memecahkan gelas dan piring yang dibawanya, mungkin makanan untukku. Seperti kesetanan dia berlari meninggalkan kamarku.
Tak berapa lama kemudian kudengar suara ribut-ribut dari luar kamarku, karena penasaran aku mencoba mengintip apa yang terjadi dari celah pintu kamarku.
" Ternyata Sekar perempuan bahu laweyan, pasti keluarga Pak Lurah sangat bersyukur tau ini dari awal " ibu-ibu yang sedang rewang mulai kasak-kusuk membicarakan sesuatu, yang aku yakin itu menyangkut tentangku karena aku mendengar namaku disebut.
" Kira-kira pernikahan ini dilanjutkan ndak ya? "
" Ya pasti dibatalkan lah, apa Pak Lurah ndak sayang sama nyawanya "
" Pantes, kemarin saya dengar kalau tunangannya Sekar juga meninggal karena kecelakaan. Dasar perempuan pembawa sial "
Aku menutup pintu kamarku dengan perlahan, agar mereka tak menyadari bahwa aku sedang menguping. Apa yang mereka katakan, bahu laweyan? Perempuan pembawa sial? Mengapa mereka mengaitkannya dengan kematian Anton? Apa yang sebenarnya terjadi?
***
Entah apa yang terjadi, pernikahanku dengan Aji dibatalkan begitu saja. Meskipun aku sangat bersyukur, tapi tetap saja aku penasaran dengan alasan pembatalan pernikahanku ini, padahal undangan sudah disebar dan pernikahan tinggal menunggu hitungan jam saja.
Ibu mengetuk pintu kamarku perlahan.
 " Nduk, boleh Ibu masuk? “
“ Masuk saja Bu “
Ibu duduk di ranjangku “ Kamu yang sabar ya Nduk, mungkin Aji memang bukan jodohmu “
“ Sekar ikhlas kok bu, lagipula Aji memang bukan laki-laki yang Sekar inginkan untuk menjadi pendamping hidup Sekar. Tapi yang membuat Sekar penasaran, alasan mereka membatalkan pernikahan ini “ Ibu hanya diam.
“ Bu, tolong ceritakan ke Sekar yang sebenarnya “
“ Sudah lah Nduk, jangan dibahas lagi. Intinya cuma kalian itu ndak jodoh, titik. “ aku tahu Ibu tidak akan menceritakan yang sebenarnya, ada yang disembunyikannya dan aku tidak memaksanya lagi karena tahu aku tidak akan mendapat jawabannya.
“ Kamu kapan balik Jakarta, kerjaan kamu apa ndak papa kalau di tinggal lama gini? “ aku tahu Ibu sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ndak papa kok Bu, kerjaan Sekar sementara ini sudah ada yang ngurus “
“ Jangan gitu Nduk, cari kerjaan itu sulit. Jangan nggampangin kamu “ Aneh, bukannya mendesakku untuk cepat menikah. Ibu yang biasanya tidak terlalu setuju dengan tujuan hidupku sebagai wanita karir tiba-tiba saja mendukung karirku. Pasti ada yang Ibu sembunyikan dan naluriku memerintahkanku untuk mencari tahu
***
“ Fit, kamu tau alasan Aji membatalkan pernikahan ini? “ sengaja kukunci pintu kamarku agar tidak ada orang yang masuk. Fitri, satu-satunya orang yang bisa kutanyai mengenai masalah ini.
Ndak tau Mbak “ Fitri menggeleng ketakutan, membuatku semakin yakin bocah ini tau sesuatu.
Ndak papa Fit, kamu jujur saja sama Mbak Sekar “ Fitri nampak berfikir sejenak.
“ Tapi Mbak Sekar jangan marah ya “ aku mengangguk.
“ Kata orang-orang Mbak Sekar itu perempuan bahu laweyan “ Fitri berbisik.
“ Bahu Laweyan? Apa itu Fit? “
“ Perempuan pembawa sial Mbak. Kata orang, barang siapa lelaki yang menikahi perempuan bahu laweyan, laki-laki itu akan mati “ aku mengernyitkan dahiku, bingung “ Tapi kutukan itu cuma berlaku pada laki-laki ke tujuh, setelah itu iblis yang merasuki perempuan bahu laweyan akan menyusupi perempuan lainnya “ aku tertawa mendengar penjelasan Fitri. Dirasuki Iblis? Tidak masuk akal.
“ Darimana mereka tau aku perempuan apa itu " aku mencoba mengingat " apalah sebutan mereka untukku “ akhirnya aku menyerah untuk mengingat.
“ Bahu laweyan Mbak. Mbak Sekar ada tanda lahir di bahu kiri? “ aku mencoba mengingat kembali, dan benar ada tanda lahir berwarna hitam di bahu kiriku. Aku mengangguk.
“ Hanya karena itu? “ tanyaku tidak percaya dan Fitri mengangguk takut. Aku benar-benar tidak percaya, hanya karena tanda lahir yang aku punya aku di cap sebagai perempuan pembawa sial yang bisa menyebabkan kematian seseorang. Konyolnya lagi, aku tidak hidup di jaman sebelum masehi, tapi tahun 2013 setelah masehi dan mereka masih percaya dengan hal-hal seperti ini? Aku hanya dapat menghela nafas, lelah dan tidak habis fikir dengan jalan fikiran orang-orang yang hidup di kampung ini.
***
Aku memutuskan untuk berdiam diri di Musholla, berdoa kepada Allah dan menenangkan diri. Ini masih terlalu pagi bagi orang-orang untuk berangkat ke musholla, masih pukul tiga dini hari. Sehingga aku tidak perlu cemas dengan pandangan mencibir orang-orang di sekelilingku. Sebenarnya karena aku tidak bisa tidur, apa yang diceritakan Fitri sedikit banyak membuatku terjaga sepanjang malam.
“Assalamua'laikum “ seseorang mengagetkanku. Laki-laki itu, kenapa kami selalu bertemu disini? Apa dia malaikat? Apa Allah mengutusnya untuk menemuiku, karena dia selalu datang ketika fikiranku sedang kalut.
“Assalamua'laikum “ ulangnya.
“ Wa’ailaikumsalam “
“ Sepertinya kalau ngucap salam sama Mbak ini pasti harus di ulang dua kali ya “ laki-laki ini tersenyum.
“ Kenapa kamu ada disini pagi-pagi buta begini? “
“ Ya kalau di Musholla pasti mau beribadah Mbak, terus kenapa Mbak ada disini? “
“ Bukan urusanmu “ jawabku ketus, akhirnya laki-laki itu mengambil air wudlu dan melakukan shalat dua rakaat. “ Kamu tahu siapa aku? “ pada akhirnya akulah yang membuka pembicaraan setelah laki-laki itu selesai memanjatkan doa. Laki-laki itu menggeleng “ Saya bukan dukun Mbak “ jawabnya.
“ Kata orang, aku perempuan pembawa sial. Perempuan bahu laweyan. Aku bisa membuat laki-laki yang menjadi suamiku mati “ air mataku mulai menetes.
“ Kamu tahu, ini hanya gara-gara aku mempunyai tanda lahir di bahu kiriku. “ aku tidak bisa berkata-kata. “ Istighfar Mbak “ sarannya.
“ Kamu tahu, aku seorang wanita karir, lulusan S2 dari luar negeri, dan sekarang mau tak mau harus percaya dengan kutukan konyol ini. Kamu fikir bagaimana perasaanku? “
“ Apa mereka fikir, setelah tanda lahir ini hilang, semuanya akan berakhir. Baik, aku bisa melakukan operasi plastik, gampang kan “ aku terus saja menangis dan meracau,  laki-laki muda didepanku hanya diam tidak memberikan komentar apapun.
“ Serahkan semua pada Allah Mbak, mungkin ini cobaan dari yang Kuasa. Lebih baik Mbak shalat untuk menenangkan dirisarannya ketika aku mulai tenang. Mungkin dia tak ingin salah berkata, jawabannya terdengar diplomatis dan memang sebenarnya aku tidak ingin mendengarkan komentar dari orang lain, aku hanya butuh didengar.
" Terimakasih sudah mau mendengar ocehanku " kataku pelan.
" Sama-sama Mbak, bukannya sesama makhluk Allah kita memang harus saling membantu? " lagi-lagi dia tersenyum, dan menyebabkan sedikit hawa aneh merasuk dalam hatiku.
***
Enam bulan sejak pembatalan pernikahanku dengan Aji, aku semakin menyibukkan diri dengan pekerjaan. Tak ingin diresahkan dengan mitos kuno yang tidak masuk akal itu.
Ibu
Calling . . . .
Assalamua'laikum
“ Wa’alaikumsalam, ada apa bu “ Ibu hanya diam.
“ Bu . . . “
Ada yang mengajak kamu ta’aruf Nduk “ Ibu perkata pelan, mungkin takut melukaiku.
“ Tolak saja “ pintaku datar.
Tapi dia dan keluarganya sudah tahu kalau kamu perempuan bahu laweyan Nduk
“ Apa Ibu mau mengorbankan orang lain demi Sekar? Bagaimana kalau dia mati Bu “
Dia seorang Ustadz, namanya Ustadz Hafid " Ibu tak menghiraukan pertanyaanku.
“ Sekar tidak kenal Bu, mungkin saja ini cuma lelucon “ jawabku acuh.
Ibu kenal dia Nduk, dia memang Ustadz di kampung kita
“ Apa dia sudah tua? Apa dia sudah putus asa dengan hidupnya dan ingin cepat-cepat mati? “
Kamu ndak boleh bilang gitu. Sabtu ini kamu harus pulang, Ustadz Hafid dan keluarganya mau datang ke rumah. Sudah ya Nduk, Assalamua'laikum “ Ibu memutus sambungan telefon sebelum aku menjawab salam darinya. Itu berarti, mau tak mau aku harus mau dan aku harus datang. Ibu selalu saja begitu, selalu berfikir apa yang dilakukannya benar. Bahkan tanpa bertanya bagaimana pendapatku, Ibu selalu memutuskan semuanya sendiri.
***
Bagaimanapun penolakanku, pada akhirnya aku tidak dapat menolak permintaan Ibu. Sabtu ini aku pulang, hanya untuk melihat Ustadz yang ingin melakukan ta’aruf denganku. Tapi entah mengapa aku berharap ini bukan hanya sekedar lelucon.
“ Kamu kenal Ustadz Hafid Fit? “ tanyaku pada Fitri, sejak peristiwa pembatalan pernikahanku, hanya Fitri yang berani mendekatiku. Tak merasa takut atau jijik dengan predikat perempuan bahu laweyan yang kusandang.
“ Tahu lah Mbak, itu kan Ustadz ganteng, gaul lagi. Katanya sich lulusan Mesir. Wah, Mbak Raras beruntung “ kata Fitri dengan polosnya. Dia selalu mengatakan aku beruntung mendengar nama orang yang akan menikah denganku, seolah hanya dia yang paling sial di dunia ini karena mendapat jodoh seperti Supri.
“ Menurutmu kenapa dia ingin menikah denganku? “
“ Ya mana Fitri tahu Mbak, Fitri kan bukan dukun “ Ah, Fitri benar. Apa yang kutanyakan, mana mungkin dia tahu apa alasan si Pak Ustadz meminangku meskipun dia tahu aku seorang perempuan bahu laweyan. Apa dia sedang putus asa? Atau dia memang sedang sakit keras, jadi tidak masalah kapanpun dia akan mati. Toh cepat atau lambat dia juga akan mati.
“ Nduk, keluarga Pak Ustadz sudah datang “ Ibu memanggilku. Dadaku berdebar kencang.
“ Doain aku ya Fit “ Fitri mengangguk. Sebelum pergi, aku memeluk Fitri erat. Melepaskan ketegangan yang ada di tubuhku. Aku menyusul Ibu yang terlebih dahulu menemui keluarga Ustadz Hafid. Sosok laki-laki itu hanya menunduk, apa dia menyesali apa yang telah dia putuskan dan kedatangannya kali ini hanya ingin membatalkan pinangannya?
Assalamua'laikum “ aku mengucapkan salam dengan takut.
“ Wa’alaikumsalam “ jawab semua orang yang ada di ruangan. Laki-laki itu mengangkat kepalanya. Laki-laki itu, bukankah laki-laki yang ada di Musholla. Dia tersenyum.
“ Mbak Sekar, kenalkan ini anak kami, Hafid. Kalau di desa ini lebih dikenal dengan Ustadz Hafid “ seorang wanita, seusia Ibu, memperkenalkan laki-laki didepanku. Aku tau dia, tapi aku hanya tidak tau namanya.
" Kami sudah pernah bertemu beberapa kali, hanya belum tau siapa nama masing-masing " laki-laki itu berkata, seolah tau apa yang sedang aku fikirkan.
" Maksud kedatangan kami kemari, untuk meminang Mbak Sekar sebagai calon istri anak kami, Hafid. Itupun kalau Mbak Sekar ndak keberatan " wanita itu kembali berbicara, aku tertawa miris.
" Apa semua ini lelucon? " aku memandang lurus ke arah Hafid, saat mata kami saling bertemu. Hafid langsung menundukkan kepalanya. Ah, kami masih belum muhrim.
" Apa kalian menganggap semua ini hanya main-main? " aku mulai marah, lebih pada diriku sendiri.
" Sekar . . . " Ibu meremas tanganku pelan.
" Mana mungkin, pernikahan bukanlah suatu hal yang bisa dibuat main-main " kini giliran laki-laki paruh baya yang ada disamping Hafid yang berbicara, aku bisa menebak, pasti itu ayahnya.
" Anda tau siapa saya? Apa anda tau apa yang akan terjadi dengan anak anda jika menikah dengan saya? " air mataku mulai menetes " Kata orang, laki-laki manapun yang akan menikahi saya akan mati, apa anda mau melihat anak laki-laki anda mati? " raut muka kedua orang tua Hafid nampak terkejut mendengar keterbukaanku, begitupula dengan Ibu.
" Jadi, saya harap anda menunggu hingga saya membunuh enam laki-laki lainnya dan silahkan anda sekeluarga kembali setelah itu. Maaf, meskipun aku ingin, aku tidak bisa menerima lamaranmu Hafid " aku menyeka air mataku " Kamu terlalu baik, jadi biarkan aku menikahi para penjudi ataupun narapidana yang akan dihukum mati, sehingga aku tidak dihantui rasa bersalah " aku mengatakannya dengan pelan, takut melukai hati laki-laki ini, takut melukai hati ayah ibunya, takut melukai hati Ibu dan takut melukai hatiku sendiri.
" Tunggu " Hafid mencegahku ketika akan beranjak dari dudukku.
" Aku tidak ingin menjadi penyebab dari kematianmu, itu akan membuatku merasa sangat bersalah "
" Apakah kamu tahu sebuah firman Allah, yang mengatakan bahwa Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada diri kalian, kecuali telah tertulis dalam Lauh Mahfud sebelum kami menciptakannya "
" Ini bukan majelismu, jadi kamu tidak perlu memberikan ceramah. Aku juga tidak akan membayarmu untuk ceramah yang telah kamu berikan. Lebih baik kamu cari perempuan lain, di luar sana masih banyak perempuan normal yang mau jadi istrimu. Jadi kumohon, jangan memilih perempuan dengan kutukan sepertiku " aku kembali menangis, kali ini seperti tidak bisa terbendung.
" Sekar, jodoh, rezeki dan maut itu hanya Allah yang tahu. Kalaupun aku memang benar akan mati setelah menikah denganmu, itu sebenarnya tidak ada hubungannya denganmu. Bahkan sebelum aku dilahirkan, semua itu sudah tertulis dalam Lauh Mahfudz "
" Apa aku terlihat sangat mengenaskan hingga perlu dikasihani? " tanyaku sarkatis.
" Untuk apa aku mengorbankan hidupku hanya untuk rasa ibaku pada seseorang? " Hafid, laki-laki ini benar-benar sangat sabar menghadapi sikapku, yang kuakui sudah sangat keterlaluan " Sejak pertama kita bertemu, entah mengapa aku merasa yakin, bahwa kelak aku akan mengucapkan kalimat ijab qobul untuk meminang perempuan ini. Meskipun aku agak kecewa mendengar berita pernikahanmu dengan Pak Lurah "
" Apa kamu sedang merayuku? Maaf, tapi itu tidak mempan bagiku "
" Tapi apakah kamu tahu, aku merasa benar-benar jahat ketika bersyukur pernikahanmu dibatalkan " Hafid kembali tersenyum, pandangannya menerawang, mencoba membayangkan sesuatu.
" Hafid, Maaf, tapi rayuanmu benar-benar tak mempan terhadapku "
" Aku telah berdoa kepada Allah, dan mendapatkan jawabannya. Sekar, mari kita menikah dan menyerahkan semua ini kepada Allah SWT " aku hanya diam.
" Kalaupun aku harus mati, biarkan aku mati sebagai suamimu "
" Apa kamu tidak menyesal? Bagaimana kalau ternyata aku memang menjadi mautmu "
" Insya Allah tidak ada yang perlu disesalkan jika kita mempunyai niat yang baik, bukankah pernikahan adalah sunah Rosul? Lagipula, apa kamu tahu sebait lagu dangdut yang memiliki syair, lebih baik kau bunuh, aku dengan pedangmu, asal jangan, kau bunuh aku dengan cintamu " dia tersenyum " Akan lebih menyakitkan kalau kamu menolak lamaranku " sedikit demi sedikit aku mulai tersenyum.
" Jika kita memang ditakdirkan bersama, maka biarlah maut yang memisahkan kita " aku kembali menangis, namun kali ini adalah tangis bahagia.
" Bagaimana? " Hafid bertanya pelan, dan aku hanya bisa mengangguk. Berharap keputusan yang ku ambil ini adalah keputusan terbaik untuk kami berdua.
Ya Allah, lindungilah laki-laki didepanku ini, calon suamiku, lindungilah pernikahan kami. Hamba serahkan semuanya pada-Mu. Jika memang Engkau takdirkan kami bersama, akan selalu ada jalan untuk menuju takdir-Mu. Dan jika memang kami tidak berjodoh, aku percaya, seperti apa yang telah laki-lai ini katakan, jodoh, rezeki dan maut kami telah Engkau atur, bahkan sebelum kami Kau ciptakan.

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian, kecuali telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya.
(QS. AL-Hadid: 22)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar