RUMAH TANGGA
“ Dari sini,
ketika aku belajar untuk mencintaimu, aku berharap kau juga mau belajar
mencintaiku. “
“
Hallo “ aku melihat jam di dinding, masih pukul empat pagi. Tapi Ibu sudah
menelfon.
“
Hallo, gimana kabar istri kamu? “ ya
ampun Ibu apa-apaan, baru saja kami pulang dan sekarang sudah menelfon
menanyakan kabar Raras.
“
Baik Bu, dia masih tidur, capek banget kayaknya “ aku melihat ke sampingku,
kosong, tak ada siapa-siapa. Jelas, karena kami memutuskan hidup masing-masing,
di rumah masing-masing.
“
Ow gitu ya, besok, ibu sama bapak rencana
mau ke Jakarta “
“
Apa? “ sontak aku kaget mendengar Ibu yang akan ke Jakarta. “ Ngapain Bu? Nggak
usah, kan kita baru aja pulang kemarin, masak ibu langsung ke Jakarta “
“
Ibu kasihan sama Raras, kamu tau sendiri
kan kerjaannya banyak banget, baru nikah pula. Pasti dia masih belum bisa bagi
waktu “
“
Nggak usah bu, yang penting doanya saja “
“
Udah kamu jangan mbantah, pokoknya besok
Ibu sama Bapak ke Jakarta “ Ibu mematikan telefonnya, selalu saja begitu
jika sudah ada maunya, tak ada yang bisa mencegahnya. Aku segera menghubungi
Raras.
“
Hallo, kamu gila ini jam berapa? “
suara Raras, sepertinya ia baru saja bangun tidur.
“
Siang ini kamu ada waktu? “
“
Kenapa? “
“
Ibu dan Bapak mau ke Jakarta, sebelum itu kita harus ketemu “
“ Apa? Kamu nggak
bercanda kan?“ sepertinya Raras langsung 100%
terjaga “ Oke, nanti jam makan siang aku
ke kantormu “ aku mematikan telefon. Mungkin kami mulai saat ini harus
berbohong lagi dan lagi untuk menutupi sebuah kebohongan besar yang telah kami
sepakati.
***
“
Mau kemana kamu buru-buru? “ Anton, rekan kerjaku, laki-laki yang mulutnya
paling tak bisa di jaga, selalu saja mau tau urusan orang.
“
Bukan urusanmu “ aku segera keluar dari lift begitu pintu terbuka, berjalan
dengan terburu-buru menuju sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari
kantorku. Disana Raras sudah menunggu, di pojok ruangan. Duduk dengan percaya
diri, mengenakan setelan blazer warna hitam dengan riasan yang pas, ia nampak
cantik. Selintas aku merasa bangga, menyadari perempuan itu adalah istriku,
meskipun hanya pernikahan kontrak.
“
Sudah lama? “ banyak mata laki-laki yang memandang ke arah kami, sepertinya
mereka sedikit kecewa. Kulihat tangan kanannya, ada cincin pernikahan kami di
jari manisnya.
“
Nggak kok, baru aja nyampe “
“
Pesen makan dulu ya? “ tawarku dan Raras mengangguk.
“
Ow pantes, tadi buru-buru, mau ketemu wanita cantik ya? “ Anton, dia sudah ada
di belakangku. Ah, laki-laki ini. Mendadak aku sangat kesal dengan Anton.
“
Kamu nggak mau ngenalin aku sama dia? “ Anton berbisik, dan sepertinya Raras
mendengarnya.
“
Hai, aku Raras, istrinya Tresno “ Raras mengulurkan tangannya, Anton nampak
terkejut, tapi akhirnya ia menjabat tangan Raras “ Anton “ katanya tergagap.
“
Kok kamu nggak bilang udah nikah, mana istrinya cantik lagi “ Anton berbisik
lagi.
“
Maaf, tapi ada hal penting yang ingin kami bicarakan, mungkin lain kali kita
bisa mengobrol bersama “ aku menyembunyikan senyumku mendengar Raras mengusir
Anton secara halus.
“
Oh tentu-tentu, silahkan dinikmati makanannya “ Raras terseyum dan akhirnya
Anton pergi meninggalkan kami, menghampiri meja yang letaknya tak jauh dari
meja kami. Tempat segerombolan laki-laki yang sedari tadi memperhatikan kami.
Setelah Anton bergabung, mereka nampak berbisik dan menunjuk-nunjuk ke arah
kami.
“
Ibu gimana? “ Raras tak memperdulikan gerombolan laki-laki yang
memperhatikannya dari tadi.
“
Kamu tau, mereka dari tadi memperhatikanmu “ aku berbisik, dan Raras melihat ke
arah pandanganku.
“
Apa perduliku? “ Raras bertanya tak peduli “ Ibu gimana? “
“
Kamu nggak normal ya? “ aku tak menghiraukan pertanyaan Raras, aku lebih
penasaran kenapa Raras tak pernah perduli dengan pandangan laki-laki di
sekitarnya. Raras nampak kesal dengan pertanyaanku.
“
Bagaimana aku bisa memandang laki-laki lain kalau didepanku ada suamiku? “ aku
tersenyum mengejek mendengar jawaban Raras. “ Sudah jangan perdulikan mereka,
bagaimana Ibumu? “
“
Besok Ibu dan Bapak berangkat, mungkin lusa nyampenya “
“
Apa ku bilang, lebih baik kamu tinggal di apartemenku saja, akan lebih mudah
kalau hal-hal semacam ini terjadi “
“
Oke-oke, nanti malam aku akan mulai pindahan “
“
Kalau Ibu Bapak datang kamu jangan ambil kesempatan ya? “ ancam Raras dan aku hanya dapat tersenyum kesal.
Bapak,
Ibu maafkan anakmu ini, tapi kebohongan ini demi kalian juga.
***
“
Ibu, bapak “ Raras menyambut Ibu dan Bapak yang baru saja tiba. Ketika aku
menjemput Bapak dan Ibu di stasiun, Raras menyiapkan makanan untuk kami.
“
Ibu sama Bapak istirahat dulu ya, makanannya udah Raras siapin, Raras sama Tresno
mau berangkat ke kantor dulu habis ini “
“
Ia sayang, kamu nggak usah cemas, pokoknya selama Ibu ada disini kamu tenang
aja “ Apanya yang tenang, malah menurutku hidupku semakin tak
tenang jika ayah dan ibu ada disini.
***
“
Kamu tidur di bawah “ Raras melempar selimut tebalnya dan sebuah bantal.
Benar-benar perempuan
tak berbelas kasihan.
“ Kamu jangan macem-macem ya “ Raras mematikan lampu dikamarnya dan mulai
tertidur. Tak
berapa lama kemudian, akupun tertidur.
Suara
adzan subuh sudah terdengar, kulihat jam di dinding, sudah pagi rupanya.
Sayup-sayup kudengar suara Ibu mengetuk pintu kamar Raras. Ah, apa yang
dilakukan Ibu pagi-pagi begini. Aku segera naik ke atas ranjang, menata selimut
dan pura-pura tertidur dengan memeluk Raras. Benar saja, Ibu masuk dengan
mengendap-endap. Mungkin setelah melihat kami tertidur, Ibu menutup pintunya
dengan perlahan.
“
Apa yang kamu lakukan? “ Raras berbisik, ternyata dia sudah bangun. Dari suaranya bisa ditebak ia sangat kesal dengan apa
yang telah kulakukan.
“
Ssstt Ibu tadi masuk ke sini “
“
Kemarin kamu lupa nggak ngunci pintunya ya? “
“
Maaf, lupa “ kataku takut-takut, Raras menghela nafas kesal.
“
Ibu sudah pergi kan? “ aku mengangguk “ Sekarang kamu bisa lepasin tanganmu “
Aku baru menyadarinya, dari tadi aku masih memeluk perempuan ini.
“
Dan besok jangan lupa kunci pintunya “ Raras meninggalkanku sendirian di kamar
“ Emang aku suka apa meluk perempuan kayak kamu “ gerutuku kesal.
***
Ini
malam ketiga sejak Ibu dan Bapak ada disini, yang artinya malam ketiga pula aku
harus tidur dilantai. Kenapa kamar ini tidak ada sofa, seharusnya Raras membelinya untuk jaga-jaga. Ah
kamar ini sudah terlalu sempit untuk ditambah sebuah sofa. Aku baru
menyadarinya setelah melihat ke sekelilingku. Kulihat jam di dinding, ini sudah
pukul sebelas malam, dan selarut ini Raras belum pulang. Apa yang sebenarnya
dikerjakannya di kantor? Benar-benar tak tau waktu.
Ah, mumpung Raras belum pulang, lebih baik aku tidur di
ranjang saja. Kalau dia pulang pasti dia membangunkanku. Nyaman juga tidur di
ranjang, apalagi wangi shampoo Raras bagai aromatherapi yang menenangkan.
" No, bangun, ngapain kamu tidur disana? "
samar kudengar suara Raras. Namun rasanya berat untuk membuka mata. Bukannya
bangun, kutarik selimut menutupi tubuhku, tubuhku terasa menggigil.
" No, bangun " Raras mengguncangkan tubuhku
" No, kamu sakit, badanmu panas " Raras menempelkan punggung
tangannya di keningku.
" Aku nggak papa " kataku lirih, mencoba
bangun, tapi rasanya kepalaku begitu sakit.
" Udah kamu tidur disini aja " suara Raras
terdengar cemas " Udah minum obat? " aku menggeleng " Aku
ambilin obat ya? " tawarnya.
" Nggak usah, aku cuma butuh istirahat "
" Oke, kalau besok kamu belum sembuh juga, kita ke
dokter. Aku nggak mau disalahkan kalau ada apa-apa sama kamu "
' Ok " Raras mengambil selimut tebal yang biasa
kugunakan untuk tidur dan mulai menatanya di lantai.
" Buat sapa Ras? " aku mencoba untuk duduk.
" Aku " jawabnya singkat. " Kamu mau tidur
di lantai? Kalau gitu biar aku aja yang tidur di lantai "
" Nggak usah kamu tidur di ranjang aja, kamu kan
lagi sakit "
" Kalau gitu kamu juga tidur di ranjang " aku
menepuk kasur di sampingku, Raras menatapku ragu. " Kalau gitu aku yang
tidur di lantai kamu di ranjang " Raras nampak kesal " Aku terlalu
sakit untuk berbuat macam-macam " tambahku, dan akhirnya Raras mengalah,
ia tidur disampingku. Memunggungiku dan tak berbicara sepatah katapun.
Aku tak tau sebenarnya apa yang sedang kulakukan, sedari
tadi aku terus memandangi punggung Raras dan rasanya ingin sekali memeluknya. Apakah
aku harus belajar mencintai Raras? Argh, pasti ini efek dari rasa sakit
dikepalaku. Fikiranku jadi benar-benar kacau.
“
Jangan melakukan apapun yang dapat membuat semua ini menjadi sulit. Lebih baik
kamu menghindarinya “ Raras berkata pelan. Raras benar, tidak seharusnya aku
berfikiran seperti itu. Sejak awal memang telah kami sepakati, seharusnya tidak
ada cinta dalam pernikahan ini jika tidak ingin salah satu pihak tersakiti.
***
Ketika aku terbangun Raras sudah tidak ada disampingku.
Apa dia sudah berangkat kerja, tapi bukankah hari ini hari Sabtu? Aku melihat
jam didinding, pukul enam pagi. Kepalaku masih terasa berat. Kupaksakan kaki
melangkah keluar dari kamar. Kulihat Ibu dan Raras sedang memasak berdua
didapur.
" Maaf ya Bu, Raras nggak bisa masak "
" Ya kan semua butuh proses " Ibu benar-benar
wanita yang sangat sabar.
" Sudah bangun? Seharusnya kamu di kamar saja "
Raras menyadari keberadaanku, dia menghampiriku dan memapahku untuk duduk. Mengapa
aktingnya benar-benar terlihat begitu alami. Raras menempelkan punggung
tangannya ke keningku " Syukur udah nggak demam " Raras tersenyum.
" Kamu beneran nggak papa No? " Ibu nampak
khawatir.
" Sudah lah bu, Tresno kan sekarang udah ada Raras
yang jagain, Ibu nggak usah terlalu cemas " Bapak menimpali dari balik
korannya.
" Apa Ibu nggak pulang saja ya hari ini? Biar
Bapakmu aja yang pulang "
" Nggak usah Bu, Bapak betul disini sudah ada Raras
"
" Bener kamu nggak papa? " Aku hanya bisa
mengangguk, tanpa tau apakah Raras benar-benar akan menjagaku ketika Ibu
pulang. Masa bodoh dengan itu, toh ini hanya demam biasa. Kecemasan Ibu yang
berlebihan hanya membuatku semakin merasa tak nyaman.
***
Sepulang dari mengantar Ibu dan Bapak ke stasiun, entah
mengapa seluruh tubuhku kembali menggigil. Aku terduduk di sofa ruang tengah
apartemen Raras.
" Makanya, tadi kan aku udah bilang, kamu nggak usah
ikut. Jadi tambah sakit kan sekarang " dari tadi Raras terus saja
mengomel, membuat kepalaku semakin berdenyut.
" Sekarang kamu tidur aja di kamar, aku buatin bubur,
setelah itu baru minum obat " aku menepis tangan Raras yang mencoba
memapahku " Aku bisa sendiri " tapi tubuhku ternyata tak mendukung
ucapanku, hampir saja aku terjatuh jika Raras tak menopangku.
" Nggak usah keras kepala, nggak ada untungnya!
"
" Kamu nggak bisa ya nggak pake marah-marah "
Raras menjatuhkan tubuhku di ranjang dengan kasar " Kalau bukan kamu,
mungkin bisa " jawabnya ketus.
Tak berapa lama kemudian, Raras datang dengan semangkuk
bubur.
" Makan " Raras meletakkannya di meja, didekat
ranjangku. " Habis gitu jangan lupa minum obatnya, jangan nyusahin orang
kamu " setelah mengucapkan kata-kata yang cukup membuat orang sakit hati,
Raras meninggalkanku sendiri. Dia benar-benar tak perduli, apakah aku akan
memakannya atau tidak. Dengan menahan sakit, aku memakan bubur yang dibuatkan
Raras, " Apa-apaan ini, dia mau ngracunin aku? " rasanya begitu asin,
apa perempuan ini benar-benar tak bisa masak? Bahkan hanya untuk memasak bubur
saja dia tak bisa? Benar-benar tak punya kelebihan. Tapi bagaimanapun juga aku
harus memakannya, aku harus sembuh. Setelah meminum obat yang diberikan Raras,
aku berusaha untuk tidur. Berharap dengan beristirahat dapat segera mengembalikan
kesehatanku.
Meskipun mataku terpejam, aku bisa merasakannya. Raras
mengendap-endap masuk kedalam kamarku. Dia duduk disamping ranjangku, memeriksa
suhu tubuhku dengan punggung tangannya. Ia nampak menghela nafas, entah apa
yang sedang dirasakannya. Aku mencoba mengatur nafasku seteratur meskipun
kurasakan tubuhku mulai menggigil kedinginan. Raras merapikan letak selimutku.
" Kenapa kamu selalu seperti ini? " tiba-tiba
saja Raras berkata pelan, setengah berbisik " Maaf jika ini semua membuat
hidupmu semakin sulit. . . " Raras beranjak dari duduknya dan kudengar
suara pintu tertutup. Setelah memastikan Raras pergi, aku membuka mataku. Apa
yang sebenarnya difikirkan perempuan itu? Apa maksudnya berkata seperti itu?
Raras, aku benar-benar tak bisa memahami perempuan ini.