Kamis, 03 April 2014

Tresno - Rumah Tangga



RUMAH TANGGA
“ Dari sini, ketika aku belajar untuk mencintaimu, aku berharap kau juga mau belajar mencintaiku.

“ Hallo “ aku melihat jam di dinding, masih pukul empat pagi. Tapi Ibu sudah menelfon.
Hallo, gimana kabar istri kamu? “ ya ampun Ibu apa-apaan, baru saja kami pulang dan sekarang sudah menelfon menanyakan kabar Raras.
“ Baik Bu, dia masih tidur, capek banget kayaknya “ aku melihat ke sampingku, kosong, tak ada siapa-siapa. Jelas, karena kami memutuskan hidup masing-masing, di rumah masing-masing.
Ow gitu ya, besok, ibu sama bapak rencana mau ke Jakarta
“ Apa? “ sontak aku kaget mendengar Ibu yang akan ke Jakarta. “ Ngapain Bu? Nggak usah, kan kita baru aja pulang kemarin, masak ibu langsung ke Jakarta “
Ibu kasihan sama Raras, kamu tau sendiri kan kerjaannya banyak banget, baru nikah pula. Pasti dia masih belum bisa bagi waktu
“ Nggak usah bu, yang penting doanya saja “
Udah kamu jangan mbantah, pokoknya besok Ibu sama Bapak ke Jakarta “ Ibu mematikan telefonnya, selalu saja begitu jika sudah ada maunya, tak ada yang bisa mencegahnya. Aku segera menghubungi Raras.
Hallo, kamu gila ini jam berapa? “ suara Raras, sepertinya ia baru saja bangun tidur.
“ Siang ini kamu ada waktu? “
Kenapa?
“ Ibu dan Bapak mau ke Jakarta, sebelum itu kita harus ketemu “
“ Apa? Kamu nggak bercanda kan?“ sepertinya Raras langsung 100% terjaga “ Oke, nanti jam makan siang aku ke kantormu “ aku mematikan telefon. Mungkin kami mulai saat ini harus berbohong lagi dan lagi untuk menutupi sebuah kebohongan besar yang telah kami sepakati.
***
“ Mau kemana kamu buru-buru? “ Anton, rekan kerjaku, laki-laki yang mulutnya paling tak bisa di jaga, selalu saja mau tau urusan orang.
“ Bukan urusanmu “ aku segera keluar dari lift begitu pintu terbuka, berjalan dengan terburu-buru menuju sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari kantorku. Disana Raras sudah menunggu, di pojok ruangan. Duduk dengan percaya diri, mengenakan setelan blazer warna hitam dengan riasan yang pas, ia nampak cantik. Selintas aku merasa bangga, menyadari perempuan itu adalah istriku, meskipun hanya pernikahan kontrak.
“ Sudah lama? “ banyak mata laki-laki yang memandang ke arah kami, sepertinya mereka sedikit kecewa. Kulihat tangan kanannya, ada cincin pernikahan kami di jari manisnya.
“ Nggak kok, baru aja nyampe “
“ Pesen makan dulu ya? “ tawarku dan Raras mengangguk.
“ Ow pantes, tadi buru-buru, mau ketemu wanita cantik ya? “ Anton, dia sudah ada di belakangku. Ah, laki-laki ini. Mendadak aku sangat kesal dengan Anton.
“ Kamu nggak mau ngenalin aku sama dia? “ Anton berbisik, dan sepertinya Raras mendengarnya.
“ Hai, aku Raras, istrinya Tresno “ Raras mengulurkan tangannya, Anton nampak terkejut, tapi akhirnya ia menjabat tangan Raras “ Anton “ katanya tergagap.
“ Kok kamu nggak bilang udah nikah, mana istrinya cantik lagi “ Anton berbisik lagi.
“ Maaf, tapi ada hal penting yang ingin kami bicarakan, mungkin lain kali kita bisa mengobrol bersama “ aku menyembunyikan senyumku mendengar Raras mengusir Anton secara halus.
“ Oh tentu-tentu, silahkan dinikmati makanannya “ Raras terseyum dan akhirnya Anton pergi meninggalkan kami, menghampiri meja yang letaknya tak jauh dari meja kami. Tempat segerombolan laki-laki yang sedari tadi memperhatikan kami. Setelah Anton bergabung, mereka nampak berbisik dan menunjuk-nunjuk ke arah kami.
“ Ibu gimana? “ Raras tak memperdulikan gerombolan laki-laki yang memperhatikannya dari tadi.
“ Kamu tau, mereka dari tadi memperhatikanmu “ aku berbisik, dan Raras melihat ke arah pandanganku.
“ Apa perduliku? “ Raras bertanya tak peduli “ Ibu gimana? “
“ Kamu nggak normal ya? “ aku tak menghiraukan pertanyaan Raras, aku lebih penasaran kenapa Raras tak pernah perduli dengan pandangan laki-laki di sekitarnya. Raras nampak kesal dengan pertanyaanku.
“ Bagaimana aku bisa memandang laki-laki lain kalau didepanku ada suamiku? “ aku tersenyum mengejek mendengar jawaban Raras. “ Sudah jangan perdulikan mereka, bagaimana Ibumu? “
“ Besok Ibu dan Bapak berangkat, mungkin lusa nyampenya “
“ Apa ku bilang, lebih baik kamu tinggal di apartemenku saja, akan lebih mudah kalau hal-hal semacam ini terjadi “
“ Oke-oke, nanti malam aku akan mulai pindahan “
“ Kalau Ibu Bapak datang kamu jangan ambil kesempatan ya? “ ancam Raras dan aku hanya dapat tersenyum kesal.
Bapak, Ibu maafkan anakmu ini, tapi kebohongan ini demi kalian juga.
***
“ Ibu, bapak “ Raras menyambut Ibu dan Bapak yang baru saja tiba. Ketika aku menjemput Bapak dan Ibu di stasiun, Raras menyiapkan makanan untuk kami.
“ Ibu sama Bapak istirahat dulu ya, makanannya udah Raras siapin, Raras sama Tresno mau berangkat ke kantor dulu habis ini “
“ Ia sayang, kamu nggak usah cemas, pokoknya selama Ibu ada disini kamu tenang aja “ Apanya yang tenang, malah menurutku hidupku semakin tak tenang jika ayah dan ibu ada disini.
***
“ Kamu tidur di bawah “ Raras melempar selimut tebalnya dan sebuah bantal. Benar-benar perempuan tak berbelas kasihan. “ Kamu jangan macem-macem ya “ Raras mematikan lampu dikamarnya dan mulai tertidur. Tak berapa lama kemudian, akupun tertidur.
Suara adzan subuh sudah terdengar, kulihat jam di dinding, sudah pagi rupanya. Sayup-sayup kudengar suara Ibu mengetuk pintu kamar Raras. Ah, apa yang dilakukan Ibu pagi-pagi begini. Aku segera naik ke atas ranjang, menata selimut dan pura-pura tertidur dengan memeluk Raras. Benar saja, Ibu masuk dengan mengendap-endap. Mungkin setelah melihat kami tertidur, Ibu menutup pintunya dengan perlahan.
“ Apa yang kamu lakukan? “ Raras berbisik, ternyata dia sudah bangun. Dari suaranya bisa ditebak ia sangat kesal dengan apa yang telah kulakukan.
“ Ssstt Ibu tadi masuk ke sini “
“ Kemarin kamu lupa nggak ngunci pintunya ya? “
“ Maaf, lupa “ kataku takut-takut, Raras menghela nafas kesal.
“ Ibu sudah pergi kan? “ aku mengangguk “ Sekarang kamu bisa lepasin tanganmu “ Aku baru menyadarinya, dari tadi aku masih memeluk perempuan ini.
“ Dan besok jangan lupa kunci pintunya “ Raras meninggalkanku sendirian di kamar “ Emang aku suka apa meluk perempuan kayak kamu “ gerutuku kesal.
***
Ini malam ketiga sejak Ibu dan Bapak ada disini, yang artinya malam ketiga pula aku harus tidur dilantai. Kenapa kamar ini tidak ada sofa, seharusnya Raras membelinya untuk jaga-jaga. Ah kamar ini sudah terlalu sempit untuk ditambah sebuah sofa. Aku baru menyadarinya setelah melihat ke sekelilingku. Kulihat jam di dinding, ini sudah pukul sebelas malam, dan selarut ini Raras belum pulang. Apa yang sebenarnya dikerjakannya di kantor? Benar-benar tak tau waktu.
Ah, mumpung Raras belum pulang, lebih baik aku tidur di ranjang saja. Kalau dia pulang pasti dia membangunkanku. Nyaman juga tidur di ranjang, apalagi wangi shampoo Raras bagai aromatherapi yang menenangkan.
" No, bangun, ngapain kamu tidur disana? " samar kudengar suara Raras. Namun rasanya berat untuk membuka mata. Bukannya bangun, kutarik selimut menutupi tubuhku, tubuhku terasa menggigil.
" No, bangun " Raras mengguncangkan tubuhku " No, kamu sakit, badanmu panas " Raras menempelkan punggung tangannya di keningku.
" Aku nggak papa " kataku lirih, mencoba bangun, tapi rasanya kepalaku begitu sakit.
" Udah kamu tidur disini aja " suara Raras terdengar cemas " Udah minum obat? " aku menggeleng " Aku ambilin obat ya? " tawarnya.
" Nggak usah, aku cuma butuh istirahat "
" Oke, kalau besok kamu belum sembuh juga, kita ke dokter. Aku nggak mau disalahkan kalau ada apa-apa sama kamu "
' Ok " Raras mengambil selimut tebal yang biasa kugunakan untuk tidur dan mulai menatanya di lantai.
" Buat sapa Ras? " aku mencoba untuk duduk.
" Aku " jawabnya singkat. " Kamu mau tidur di lantai? Kalau gitu biar aku aja yang tidur di lantai "
" Nggak usah kamu tidur di ranjang aja, kamu kan lagi sakit "
" Kalau gitu kamu juga tidur di ranjang " aku menepuk kasur di sampingku, Raras menatapku ragu. " Kalau gitu aku yang tidur di lantai kamu di ranjang " Raras nampak kesal " Aku terlalu sakit untuk berbuat macam-macam " tambahku, dan akhirnya Raras mengalah, ia tidur disampingku. Memunggungiku dan tak berbicara sepatah katapun.
Aku tak tau sebenarnya apa yang sedang kulakukan, sedari tadi aku terus memandangi punggung Raras dan rasanya ingin sekali memeluknya. Apakah aku harus belajar mencintai Raras? Argh, pasti ini efek dari rasa sakit dikepalaku. Fikiranku jadi benar-benar kacau.
“ Jangan melakukan apapun yang dapat membuat semua ini menjadi sulit. Lebih baik kamu menghindarinya “ Raras berkata pelan. Raras benar, tidak seharusnya aku berfikiran seperti itu. Sejak awal memang telah kami sepakati, seharusnya tidak ada cinta dalam pernikahan ini jika tidak ingin salah satu pihak tersakiti.
***
Ketika aku terbangun Raras sudah tidak ada disampingku. Apa dia sudah berangkat kerja, tapi bukankah hari ini hari Sabtu? Aku melihat jam didinding, pukul enam pagi. Kepalaku masih terasa berat. Kupaksakan kaki melangkah keluar dari kamar. Kulihat Ibu dan Raras sedang memasak berdua didapur.
" Maaf ya Bu, Raras nggak bisa masak "
" Ya kan semua butuh proses " Ibu benar-benar wanita yang sangat sabar.
" Sudah bangun? Seharusnya kamu di kamar saja " Raras menyadari keberadaanku, dia menghampiriku dan memapahku untuk duduk. Mengapa aktingnya benar-benar terlihat begitu alami. Raras menempelkan punggung tangannya ke keningku " Syukur udah nggak demam " Raras tersenyum.
" Kamu beneran nggak papa No? " Ibu nampak khawatir.
" Sudah lah bu, Tresno kan sekarang udah ada Raras yang jagain, Ibu nggak usah terlalu cemas " Bapak menimpali dari balik korannya.
" Apa Ibu nggak pulang saja ya hari ini? Biar Bapakmu aja yang pulang "
" Nggak usah Bu, Bapak betul disini sudah ada Raras "
" Bener kamu nggak papa? " Aku hanya bisa mengangguk, tanpa tau apakah Raras benar-benar akan menjagaku ketika Ibu pulang. Masa bodoh dengan itu, toh ini hanya demam biasa. Kecemasan Ibu yang berlebihan hanya membuatku semakin merasa tak nyaman.
***
Sepulang dari mengantar Ibu dan Bapak ke stasiun, entah mengapa seluruh tubuhku kembali menggigil. Aku terduduk di sofa ruang tengah apartemen Raras.
" Makanya, tadi kan aku udah bilang, kamu nggak usah ikut. Jadi tambah sakit kan sekarang " dari tadi Raras terus saja mengomel, membuat kepalaku semakin berdenyut.
" Sekarang kamu tidur aja di kamar, aku buatin bubur, setelah itu baru minum obat " aku menepis tangan Raras yang mencoba memapahku " Aku bisa sendiri " tapi tubuhku ternyata tak mendukung ucapanku, hampir saja aku terjatuh jika Raras tak menopangku.
" Nggak usah keras kepala, nggak ada untungnya! "
" Kamu nggak bisa ya nggak pake marah-marah " Raras menjatuhkan tubuhku di ranjang dengan kasar " Kalau bukan kamu, mungkin bisa " jawabnya ketus.
Tak berapa lama kemudian, Raras datang dengan semangkuk bubur.
" Makan " Raras meletakkannya di meja, didekat ranjangku. " Habis gitu jangan lupa minum obatnya, jangan nyusahin orang kamu " setelah mengucapkan kata-kata yang cukup membuat orang sakit hati, Raras meninggalkanku sendiri. Dia benar-benar tak perduli, apakah aku akan memakannya atau tidak. Dengan menahan sakit, aku memakan bubur yang dibuatkan Raras, " Apa-apaan ini, dia mau ngracunin aku? " rasanya begitu asin, apa perempuan ini benar-benar tak bisa masak? Bahkan hanya untuk memasak bubur saja dia tak bisa? Benar-benar tak punya kelebihan. Tapi bagaimanapun juga aku harus memakannya, aku harus sembuh. Setelah meminum obat yang diberikan Raras, aku berusaha untuk tidur. Berharap dengan beristirahat dapat segera mengembalikan kesehatanku.
Meskipun mataku terpejam, aku bisa merasakannya. Raras mengendap-endap masuk kedalam kamarku. Dia duduk disamping ranjangku, memeriksa suhu tubuhku dengan punggung tangannya. Ia nampak menghela nafas, entah apa yang sedang dirasakannya. Aku mencoba mengatur nafasku seteratur meskipun kurasakan tubuhku mulai menggigil kedinginan. Raras merapikan letak selimutku.
" Kenapa kamu selalu seperti ini? " tiba-tiba saja Raras berkata pelan, setengah berbisik " Maaf jika ini semua membuat hidupmu semakin sulit. . . " Raras beranjak dari duduknya dan kudengar suara pintu tertutup. Setelah memastikan Raras pergi, aku membuka mataku. Apa yang sebenarnya difikirkan perempuan itu? Apa maksudnya berkata seperti itu? Raras, aku benar-benar tak bisa memahami perempuan ini.

Tresno - Masa Lalu



MASA LALU
“ Jika aku tak melakukan kebodohan – kebodohan di masa lalu kita, akankah detik ini kita dapat bersama. Kebodohanku adalah takdir Tuhan yang ditulis untuk mempersatukan kita “

" Pagi nak, mau berangkat sekolah? Bareng sama Tresno aja " suara bapak terdengar samar-samar dari luar rumah, dan sudah bisa ditebak beliau sedang berbicara dengan siapa, karena hanya dengan gadis itu bapak dapat berbicara serenyah ini. Apalagi menawarkanku untuk jadi ojek gratis baginya. Aku melihat dari jendela, Raras sedang berbasa-basi dengan bapak, sesekali mereka tertawa. Perempuan munafik, gerutuku kesal.
" Bu', bapak apa-apaan sich, aku nggak suka sama cara beliau yang seperti itu " Aku duduk di meja makan, bersama Ibu dan Aji.
" Apa sich nak? "
" Raras "
" Ada apa lagi dengan Raras? Salah apa dia sama kamu, menurut Ibu Raras itu anak baik, sopan lagi. Kamu jangan terlalu benci sama dia " Ibu dan bapak selalu berada di sisi Raras.
" Ibu sama bapak sama saja, apa bagusnya perempuan itu " aku beranjak dari dudukku, selalu begitu kalau menyangkut Raras.
" Loh, kok kamu malah marah "
“ Pokoknya aku nggak suka ngelihat bapak, ibu atau Aji deket-deket sama perempuan itu “
“ Mas Tresno lagi PMS buk, biasa anak perawan “ kata Aji, dengan nada mengejek.
" Tau apa kamu anak kecil " aku menjitak kepala Aji, melampiaskan kekesalanku kepada Raras.
***
" No, tau nggak, si Dimas punya pacar baru, anak kelas satu " Angga nampak berapi-api, namun aku begitu malas untuk menanggapinya.Apa urusanku dengan Dimas, tak ada untungnya mengurusi pacar barunya, bukannya berganti pacar adalah hal biasa untuknya? Apa yang harus dibesar-besarkan?
" Kayaknya ini bakalan serius, Dimas suka banget sama pacar barunya "
" Palingan juga maksimal tiga bulan, kayak nggak tau Dimas aja " jawabku malas.
" Seriusan, katanya dia tetanggamu lo "
" Ooo jadi itu alasannya si Dimas rajin banget ke rumah? Jadi sekarang alasannya bukan cuma makanan gratis? " entah mengapa aku begitu kesal karena hal ini. Tapi tetanggaku? Kelas satu? Siapa? Mungkinkah Raras? Semoga saja bukan.
" Ya ini dia, panjang umur ini anak " Dimas meletakkan tasnya di mejaku, dia nampak tersenyum senang dan rasanya auranya memang nampak berbeda.Membuatku penasaran, siapa tetanggaku yang dipacarinya.
" Siapa pacar baru kamu? " tanyaku, mencoba bertanya dengan nada tak perduli, namun malah suaraku terdengar seperti orang yang sedang kesal.
" Salah makan No? Pagi-pagi udah suram gitu "
" Siapa? " Ulangku sekali lagi dan berharap itu bukan Raras.
" Eits sabar boss, ntar siang aku kenalin ke kalian semua, sekarang yang penting pinjem PR Fisika kalian " Dimas mengambil tasku, dan menemukan buku Fisika yang dicarinya. Sedetik kemudian dia sudah sibuk menyalin PR Fisikaku.Jika benar pacar baru Dimas adalah Raras, maka perempuan ini benar-benar bodoh, jadi seleranya hanya selevel Dimas?
" Kamu suka Dimas ya No? " Angga berbisik ketelingaku, aku memandangnya dengan tatapan heran, dan sedetik kemudian memukul kepala Angga dengan botol mineral yang ada didepanku.
" Abisnya temennya punya pacar baru bukannya seneng malah sewot, kayak istri yang tau suaminya selingkuh aja " Angga menggerutu kesal. Argh, ini semua gara-gara Raras. Perempuan itu benar-benar membuatku kesal.
***
Teeetttttt . . . Teeettttt . . .
Bel tanda istirahat berbunyi, Dimas nampak bergegas keluar kelas.
" Tunggu dikantin ya? " teriaknya dengan penuh semangat dari luar kelas.
" Ayo No " Angga mulai menyeretku ketika melihat tak ada reaksi dariku.
" Ia aku bisa jalan sendiri " aku mengibaskan tangan Angga kesal, bagaimana kalau ada yang melihat dan mengira kami homo? Bergandengan di area sekolah, pada saat jam istirahat.
Aku berjalan dengan malas, berharap waktu berhenti, takut jika perempuan yang dimaksud Dimas adalah Raras. Kantin yang begitu dekat terasa begitu jauh. Kami memilih tempat biasanya, pojokan, tempat biasa anak kelas tiga menghabiskan waktu istirahatnya atau tempat persembunyian terbaik bagi murid-murid yang membolos. Seperti biasa, Angga memesan bakso dan sebotol air mineral. Sementara aku, perutku terasa mulas, harap-harap cemas, semoga pacar baru Dimas bukan Raras. Entah mengapa aku begitu membenci perempuan ini, dan tak rela jika dia berpacaran dengan sahabatku. Meskipun itu adalah seorang playboy seperti Dimas.
Dan Dimas, dia bersama dengan seorang perempuan.
" Kenalin ini Raras, pacar baruku " Dimas memperkenalkan Raras dengan penuh semangat.
" Bukan pacar, lagian siapa yang mau pacaran sama kamu " Raras, dia tersenyum dan entah mengapa membuatku semakin membencinya.
" Tresno, kamu kenal Raras kan? "aku tak menjawab pertanyaan Dimas, hanya terus memandang Raras dengan pandangan kesal.
" Ahh, kenal " Raras mencoba tersenyum padaku, tapi entah mengapa senyum itu serasa dipaksakan. Tak tulus.
Aku hanya memandang tangannya yang terulur menunggu tanganku untuk berjabat, sedetik kemudian aku memandang wajahnya, ia nampak kikuk. Sadar tak akan ada respon dariku, Raras menarik tangannya kembali.
“ Aku nggak kenal “ kataku malas, beranjak dari dudukku, kutinggalkan Raras, Dimas dan Angga. “ Aku balik ke kelas dulu “ kataku sambil berlalu.
“ Aish, bocah ini . . . “ kudengar Angga mendesis kesal.
“ Maafin dia ya Ras, maklum, pasangan homonya kamu rebut “ samar-samar kudengar Angga mencoba membuat sebuah lelucon. Maaf? Untuk apa? Seharusnya gadis ini yang meminta maaf padaku. Meminta maaf karena telah menjungkir balikkan duniaku.
***
" Kenapa sich harus dia? Nggak ada perempuan lainnya ya? Apa stock kamu udah habis? Perlu aku cariin? " aku memantul-mantulkan bola basket ke tanah, sementara Angga dan Dimas duduk didepanku, beristirahat karena pelajaran olahraga yang baru saja selesai.
" Kamu ini yang kenapa? Dari dulu sewot banget sama Raras " bukannya Dimas menjawab pertanyaanku, Angga malah melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tak bisa kujawab.
" Situ nggak usah ikut campur ya " kataku marah pada Angga.
" Oke oke, aku nggak akan ikut campur masalah rumah tangga kalian "
" Raras, nggak ada alasan buat jatuh cinta sama dia " tiba-tiba saja Dimas berkata pelan, pandangannya tampak membayangkan sesuatu yang aku sendiri tak ingin membayangkannya, pasti perempuan itu dan senyumnya mengembang. Benar-benar menjijikkan.
" Kamu gila, pasti ada alasan buat seseorang jatuh cinta, entah dia cantik, entah dia baik, entah dia kaya "
" Aku juga bingung, awalnya cuma iseng ngedeketin dia, tapi tiba-tiba aja aku udah ngerasa suka banget sama dia. Nggak tau awalnya kapan " Dimas tersenyum malu, dan di mataku ini sangat memuakkan.
" Eh itu Raras, Raras " Angga memanggil Raras, bukannya pura-pura tak mendengar perempuan bodoh itu malah datang menghampiri kami.
" Baru selesai olahraga ya " tanyanya basa-basi, bukannya dia sudah melihat. Kami mengenakan pakaian olahraga, dan keringat bercucuran dari tubuh kami, sudah pasti kami habis berolahraga. Aku melemparkan bola basket dengan kesal ke arah Raras, meskipun terkejut tapi Raras berhasil menghindarinya.
" Woi, apa-apaan kamu " Dimas berdiri dari duduknya " Kamu nggak papa? " Raras menggeleng.
" Sorry nggak sengaja " kataku enteng dan pergi meninggalkan mereka.
" Bener-bener nggak waras tu orang " Angga menggerutu kesal melihat sikapku.
“ Kekanakan “ desis Raras kesal.
***
Hari ini hari Minggu, dan jam menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun Angga dan Dimas sudah berada dirumahku, seperti biasa, meminta sarapan gratis. Dan seperti biasanya waktu tidurku yang harus dikorbankan.
“ Makasih sarapannya tante “ ujar Dimas dan Angga bebarengan. Suara denting sendok dan piring bergema diseluruh ruangan, dalam sekejap nasi goreng yang ada di piring mereka telah tandas, sementara piringku masih belum tersentuh.
“ Kamu nggak bisa ya putusin Raras? “ tiba-tiba saja aku ingin menanyakan ini pada Dimas. Sontak, seluruh orang yang ada diruangan menjadi hening. Masa bodoh dengan reaksi mereka. Yang jelas Raras harus menjauh dari Dimas, menjauh dari sekelilingku.
“ Loh, Raras siapa? Dimas pacaran sama Raras anaknya Bu Ambar? “ Ibu yang sedari tadi menunggui kami mulai angkat bicara dan aku hanya terdiam.
“ Ia tante “ Dimas menjawab, dan raut mukanya mulai berubah.
“ Mmm . . . Tante ambilkan nasi lagi ya, kalian harus nambah ya “ ibu memilih untuk meninggalkan kami.
“ Kamu suka Raras? “ Dimas bertanya.
“ Bukan suka tapi benci “ jawabku“ Akucuma nggak suka melihat dia bersama dengan sahabatku, dia nggak pantas buat kamu “ tambahku.
“ Itu bukan suatu alasan “ Dimas beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan rumahku. Benar, pergi saja yang jauh, jika Dimas menjauh maka Raras juga akan ikut menjauh, bukannya seorang pacar akan mengikuti pacarnya?
“ Kamu gila No, itu bukan benci, jangan-jangan kamu suka Raras, benar kan? Itu baru sebuah alasan “ Angga menyusul Dimas.
“ Loh, kemana Angga sama Dimas? “ ibu kembali dengan membawa nasi goreng di mangkuk.
“ Pulang “
“ Apa karena Raras kalian bertengkar? “ tanpa menjawab pertanyaan ibu, aku meninggalkan meja makan dengan perasaan sangat kesal. Bagus, dulu keluargaku dan sekarang teman-temanku. Raras, jika Dimas tidak memutuskanmu. Aku yang akan membuatmu memutuskannya.
***
Sepertinya aku mengenali anak lelaki itu, ia menangis sesenggukan didepan bekas sekolahku. Dikerumuni oleh segerombolan anak kecil berseragam putih merah lainnya, bukannya menenangkan mereka malah semakin mengejek anak kecil itu hingga tangisannya semakin kencang.
“ Yaaaa, apa yang kalian lakukan!! “ seorang anak gadis masih mengenakan seragam sekolahnya, sepertinya ia masih duduk di bangku TK,  masuk ke tengah kerumunan.
“ Kalau kalian berani jangan maen keroyokan “ anak gadis itu menendang salah satu kaki gerombolan anak tadi.
“ Kamu anak kecil jangan ikut campur “ salah seorang anak mendorong anak gadis itu hingga terjatuh, bukannya takut, anak gadis itu berdiri dan malah memukul perut anak laki-laki yang mendorongnya hingga terjatuh.
“ Pergi nggak kalian? “ ia memutar-mutar tasnya, dan gerombolan anak kecil tadi lari berhamburan menghindari sabetan tas gadis kecil itu.
“ Kamu nggak papa? “ bukannya berterimakasih, anak laki-laki itu malah mendorong gadis kecil yang menolongnya hingga terjatuh, tak tau diri fikirku.
“ Apa yang kamu lakukan? “ gerombolan anak kecil lainnya datang, tapi sepertinya bukan gerombolan pertama yang membuat anak laki-laki itu menangis, tapi anak laki-laki taditerlalu  takutuntuk mengenali siapa mereka dan berlari ketakutan.
“ Janganpernah ganggu sepupuku!!! “ pimpinan dari gerombolan anak kecil itu berteriak kesal.
“ Aku nggak papa kok Bob, bukan dia yang gangguin Raras “ sayup-sayup kudengar gadis kecil itu berkata. Raras . . . .
Aku terbangun dari tidurku. Ternyata hanya sebuah mimpi. Peluh bercucuran dari tubuhku. Sekarang aku ingat siapa mereka. Anak laki-laki itu adalah aku, dan anak gadis itu adalah Raras.. Lamunanku kembali ke masa lalu, saat itu aku duduk di bangku kelas dua SD, sebagai seorang murid pindahan, ada-ada saja ulah teman-temanku untuk mem-bully-ku. Dan Raras saat itu masih TK, namun ia sudah sangat berani. Hingga membuatku sangat marah dan mulai membencinya.
" Kamu nggak papa? " Raras kecil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
" Argh, anak kecil ini lagi " Willy, teman sekelas yang selalu membully-ku nampak tak suka dengan kedatangan Raras.
" Minggir " dia mendorong Raras hingga terjatuh, kulihat kaki Raras terluka. Namun ia segera berdiri, dengan menahan sakit ia berdiri diantara kami, melebarkan kedua tangannya.
" Kalau kamu nggak pergi, aku laporin kamu ke bu guru " ancamnya tanpa rasa takut.
" Argh, anak ini benar-benar membuatku kesal, kita pergi saja " Willy dan teman-temannya akhirnya pergi meninggalkanku.
" Kamu nggak papa? " lagi-lagi Raras mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Namun aku malah menepis tangannya.
" Bodoh, apa yang kamu lakukan? Willy jauh lebih besar daripada kamu, bagaimana kalau kamu dipukul, lihat kakimu berdarah " Aku meneriakinya kesal, namun Raras tak takut atau menangis, dia malah tersenyum.
" Raras nggak takut sama Willy, kalau Willy macem-macem sama Raras, Raras bisa hajar Willy kok "
Bahkan Raras kecil terlalu berani, bukan seperti perempuan kecil lainnya yang membutuhkan perlindungan, ia malah sok jagoan melindungi orang lain.Apa dia tak pernah berfikir, bagaimana jika salah satu diantara anak-anak nakal itu memukulnya. Dan gara-gara Raras pula, sampai lulus SD aku dijuluki anjing yang bersembunyi di belakang kucing.
***
Hari ini aku sengaja menunggu Raras di halte bus untuk menjalankan misiku. Tak berapa lama Raras datang, ia duduk di tempat yang masih kosong, terlalu jauh, fikirku. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya.
“ Kamu beneran pacaran sama Dimas? “ tanyaku tanpa basa-basi. Tapi Raras tak menjawabnya.
“ Hei, jawab donk, kamu nggak bisu kan atau kamu tuli? “
“ Apa urusannya denganmu? “ Aku terdiam, mencari sebuah alasan yang tepat.
“ Aku cuma merasa kasihan, Dimas memanfaatkanmu, kamu hanya sebagai bahan taruhan kami dan sekarang Dimas menang karena bisa mendapatkanmu“
“ Kenapa aku harus percaya dengan apa yang kamu katakan? “
“ Aku hanya ingin mengingatkanmu, anggap saja balasan karena dulu kamu selalu menolongku “
“ Terimakasih, tapi aku tak butuh bantuanmu “ Raras menghentikkan sebuah bus, tanpa menghiraukanku dan aku mengekor di belakangnya.
***
" Ah, jadi kamu cuma iseng ngedeketin Raras " aku berkata dengan sedikit berteriak, ketika melihat Raras memasuki kantin dan Dimas tak menyadarinya.
" Selamat ya nampaknya kamu sudah berhasil " Raras, ia memandangku dengan kesal. Mungkin dia tau, aku sengaja mengeraskan suaraku agar dia mendengarnya. Tapi masa bodoh, bukankah ini memang tujuanku?
" Raras . . . " Angga yang duduk di sampingku menyadari keberadaan Raras, namun kali ini Raras memilih untuk pergi. Keputusan yang tepat. Dimas yang tadinya tak menghiraukanku, nampak benar-benar marah. Tanpa berkata apa-apa dia mengejar Raras keluar.
" Gila kamu ya, sakit!! " Angga nampaknya juga kesal padaku dan meninggalkanku sendirian di kantin. Tapi apa perduliku dengan mereka, asalkan tujuanku sudah tercapai, itu sudah cukup. Segala resikonya akan ku tanggung.
***
Bobby dan teman-temannya menyeretku paksa kebelakang sekolah. Ini pasti karena Raras. Benar-benar keluarga menyebalkan. Bobby adalah sepupu Raras, tapi tingkahnya kepada Raras benar-benar seperti ayah kepada anaknya. Sejak kecil, dia selalu melindungi Raras dan tak akan pernah mengampuni siapa saja yang membuat Raras menangis. Tapi sayangnya Raras tak pernah menangis, jadi indikator dia menghajar bocah demi Raras ia turunkan, menjadi siapa saja yang dianggapnya, secara subyektif, mengganggu Raras, akan berhadapan dengannya. Benar-benar kekanakan.
“ Dari dulu sudah pernah aku bilang, jangan ganggu Raras!!! “ bogem mentah Bobby mendarat di perutku hingga membuatku terjatuh.
“ Apa-apaan ini? “ aku mencoba berdiri.“ Siapa yang mengganggu Raras? “
“ Dari dulu sebenarnya aku ingin memukulmu, tapi Raras selalu membelamu, melihatmu selalu mengacuhkan Raras padahal dia selalu menolongmu, kamu benar-benar tak tau malu. Kamu bahkan lebih rendah dari anjing yang bersembunyi di belakang kucing“ lagi-lagi Bobby melayangkan tinjunya, aku tak dapat menghindar, karena dua teman Bobby memegang tanganku.“ Itu untuk Raras kecil “ dan sekali lagi Bobby melayangkan tinjunya “ Itu untuk apa yang kamu lakukan hari ini “
“ Bobby . . .  Raras berteriak, dan berlari menghampiri kami. Kucing yang selalu menyelamatkanku akhirnya datang.
" Apa yang kamu lakukan? "
" Memberi pelajaran bocah tak tau diri ini " sekali lagi Bobby meninju perutku.
" Plaaakkk " terdengar suara tamparan, aku bisa menebak, pasti Raras menampar pipi Bobby.
" Kamu gila, apa kamu sekarang udah jadi preman? "
" Tapi aku lakuin ini semua buat kamu Ras "
" Pergi!!! Dari dulu aku sudah bilang sama kamu, aku nggak butuh perlindunganmu " Raras hanya berteriak sekali dan anehnya sudah bisa membuat Bobby pergi. Bagaimana bisa, seorang preman sekolah seperti Bobby takut dengan gadis seperti Raras? Apa yang dipunya perempuan ini hingga semua orang sangat menyukainya dan menuruti semua kata-katanya?
" Aku nggak akan mengulurkan tanganku buat nolong kamu berdiri, karena kamu pasti menepisnya. Aku nggak akan nanya apa kamu baik-baik saja atau mana yang terluka, karena kamu pasti tak akan menjawabnya. Tapi dari dulu sampai sekarang, aku nggak pernah habis fikir, kenapa kamu begitu membenciku? Apa salahku? " aku tersenyum mengejek, kesalahanmu sangat banyak. Bahkan kamu di lahirkan di dunia ini itu saja sudah salah. Kesalahanmu adalah kamu selalu ada didekatku, kamu yang selalu melihat sisi lemahku dan kamu yang selalu sok jagoan membelaku. Aku ingin menjawabnya, namun rasanya tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku
" Apakah kamu juga tak bisa menjawab pertanyaanku? " raut muka Raras terlihat sangat sedih, tanpa berkata-kata dia pergi meninggalkanku.
" Oia " Raras berbalik dan menghampiriku " Percaya atau nggak, aku nggak pernah jadian sama Dimas, dan apa yang kamu lakukan itu semua percuma. Demi buat nyakitin aku, kamu malah kehilangan sahabat-sahabatmu " sekilas aku melihat air mata di ujung matanya dan sebelum aku melihatnya dengan lebih jelas, Raras benar-benar pergi meninggalkanku.