Rabu, 01 November 2017

Senyum Mereka, Motivasi Terbesar Saya

sebuah “rasa” tentang Kelas Inspirasi

Bukan pertama kalinya saya mengikuti Kelas Inspirasi (KI), namun meskipun demikian, ini baru pertama kalinya saya menulis untuk KI. Bagi saya menulis bukanlah suatu hal yang mudah dan bukan hal yang bisa dilakukan hanya karena kita mau, kita harus dapat memilih dan merangkai kata dengan tepat, agar pesan yang ada dalam tulisan dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Kita harus dapat membangun mood yang sesuai, agar pembaca dapat mengalir mengikuti alur cerita yang kita rangkai dan terbawa kedalamnya. Karena bagi saya, seorang penulis bukanlah sebuah profesi dimana seseorang pandai merangkai kata, namun juga seseorang yang mampu memasukkan nyawa kedalam sebuah tulisan. Seorang penulis memiliki tanggung jawab yang cukup besar, terutama terkait tulisan dan pembacanya.

Kali ini saya tergelitik untuk menulis, bukan karena iming-iming tulisan terbaik akan dibukukan dan nama saya akan tercetak besar dalam salah satu halaman buku yang akan di terbitkan oleh Kelas Inspirasi Malang. Namun karena pertanyaan dari beberapa relawan, yang masih terus terngiang di ingatan saya yang biasanya hanya seperti ikan mas, yang hanya berfungsi sepersekian detik. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari pertanyaan mereka. Pertanyaan umum, yang biasa di lontarkan ketika mengikuti Kelas Inspirasi. Tapi entah mengapa, pertanyaan yang awalnya hanya terjawab dengan sekedarnya, pada akhirnya menjadi perenungan dalam perjalanan malam saya kembali ke Surabaya. Mungkin Tuhan ingin saya untuk kembali menulis, setelah sekian lama tak ada tulisan yang dihasilkan, bisa jadi.

 “ Apa motivasi Mbak mengikuti KI? “ standar bukan? Pertanyaan-pertanyaan umum yang pasti akan kamu dapatkan ketika mengikuti KI setelah pertanyaan awal, “ Apakah dulu sebelumnya pernah mengikuti KI? “ atau “ Berapa kali Mbak ikut KI? “
 “ Hanya untuk mengisi waktu luang “ jawabku singkat, sambil tersenyum manis tentunya, tapi tentu tak semanis gula dan tidak pula menyebabkan diabetes ☺
“ Nggak lebih Mbak? Nggak ada sampingan lainnya? “
“ Semisal cari jodoh gitu? “ yang lain pun ikut menimpali, dan otomatis saya tertawa mendengar celetukan khas relawan yang pasti sudah bisa di tebak, 99,99% dia itu jomblo dan memiliki motivasi terselubung, mencari jodoh – mungkin :p. ( fyi, bagi kalian para jomblo dan ingin cari jodoh, mungkin bisa bergabung di Kelas Inspirasi, sudah rahasia di kalangan anak KI, jika peserta KI kebanyakan masih berstatus single – kebanyakan, bukan berarti tak ada yang sudah berpasangan – siapa tahu, salah satu diantara mereka adalah jodoh kamu. Sambil menyelam minum air, sambil menginspirasi adik-adik sambil mencari prospek untuk masa depan ☺ )

Argh, jadi teringat ketika mengikuti Kelas Inspirasi Yogyakarta awal tahun ini, celetukan yang kami gagas terkait motivasi kami mengikuti Kelas Inspirasi, celetukan yang didapat dari hasil ngopi di sebuah gerai kopi di salah satu Mall di Yogyakarta, usai refleksi seharian yang cukup melelahkan. Celetukan orang-orang kelelahan, yang butuh sedikit asupan vitamin C (Canda) untuk dapat kembali menjadi normal. Canda kami waktu itu, kami sengaja mengikuti Kelas Inspirasi, hanya untuk mencari vendor pernikahan, untuk mencari discount atau potongan harga lebih tepatnya atau kalau relawan kenalan baik, mungkin juga bisa dibantu secara GRATIS!! cukup diberi nasi kotak dan ucapan terimakasih yang tulus. Siapa tau, secara saat ini biaya pernikahan tidak lagi terjangkau seperti dulu kala. Biaya pernikahan selangit – apalagi biaya setelah pernikahan (maafkan jika tulisan ini banyak sekali sisipan curhatan dari penulis).

Kembali ke motivasi saya mengikuti KI, awalnya saya hanya mengira, bahwa saya mengikuti KI hanya untuk mengisi waktu luang, dengan kegiatan yang lebih bermanfaat tentunya. Namun setelah saya fikir lagi, jika hanya mengisi waktu luang, mengapa saya tidak menggunakannya untuk hal-hal lainnya, masih banyak hal bermanfaat lainnya yang bisa saya lakukan. Yang tidak perlu saya bersusah payah untuk datang ke pelosok daerah, yang tidak perlu saya menghadapi ulah-ulah usil para bocah yang sebenarnya ingin diperhatikan dan di beri kasih sayang. Yang bahkan bisa saya lakukan dengan tanpa menggunakan banyak tenaga dan usaha. Namun buktinya, setelah sekali mengikuti kegiatan Kelas Inspirasi, bukannya merasa lelah atau jera, saya kembali secara sadar mendaftarkan diri mengikuti KI KI di kota lainnya. Seperti candu, yang tidak dapat saya tolak godaannya dan membuat saya ingin terus mengikutinya. Apalagi jika Hari Inspirasi dilaksanakan tepat hari Sabtu, dimana saya sudah bebas dari jam kerja. Godaan untuk mengikuti Kelas Inspirasi pun menjadi semakin besar. Seperti kutub utara dan selatan, tarikannya begitu kuat.

Lalu mengapa saya terus menerus mengikuti kegiatan ini? Kegiatan yang sudah pasti tidak hanya membutuhkan pengorbanan tenaga, namun juga fikiran, waktu dan biaya?

Saya masih terus berfikir, di sepanjang perjalanan menuju Surabaya saya berfikir, mengapa saya mengikuti kegiatan ini? Apa alasan utama saya mengikuti kegiatan Kelas Inspirasi? Apakah benar-benar hanya untuk mengisi waktu luang? Apakah sebenarnya saya disini hanya untuk mencari jodoh? Apakah untuk menambah relasi? Dan otak mulai dijejali dengan berbagai alasan yang masuk akal. Namun, tak satupun yang membuat saya berkata, “ Ya, inilah alasannya, inilah motivasi terbesar saya”.

Ketika sudah mulai bosan berfikir, saya keluarkan smartphone putih yang selalu menemani saya kemanapun saya pergi. Setelah membalas semua pesan yang masuk, iseng saya melihat status whatsapp dari salah seorang teman yang kebetulan juga mengikuti kelas Inspirasi Malang, namun berbeda rombongan belajar. Disana saya melihat, seorang bocah tersenyum lebar dan saya ikut tersenyum. Saya kembali melihat foto lainnya, segerombolan bocah terseyum lebar, dengan bangga mereka memamerkan gigi yang menghitam karena ulah cokelat atau makanan manis lainnya, hati saya merasa begitu tenang dan damai.

Ya, inilah jawaban atas pertanyaan saya selama ini. Hati saya meloncat kegirangan, seolah mendapat jawabannya. Ya ini lah jawabannya, saya mengikuti KI hanya untuk melihat senyum mereka. Senyum tulus para bocah, yang bisa terus mengembang tanpa henti walau hanya dengan kedatangan kami. Yang terkadang menyapa malu – malu. Yang begitu senangnya jika kami mau ikut bermain atau sekedar bertanya kepada mereka. Senyum polos para bocah, yang akan terus tersungging walau hanya diberi selembar kertas origami untuk membuat pesawat terbang atau mainan kreasi lainnya. Yang merengek manja hanya untuk sekedar diperhatikan. Yang menarik ujung kemeja kami dengan malu, hanya untuk mengajak bermain. Senyum tulus itulah alasan saya selama ini lagi dan lagi mengikuti Kelas Inspirasi. Senyum merekalah sebenar-benarnya candu yang terus membuat saya ingin terus ikut bergabung dalam Kelas Inspirasi.

Ada kebahagiaan tersendiri yang saya dapat ketika melihat senyum mereka, kebahagiaan yang tidak akan pernah saya dapat jika saya melakukan aktivitas lainnya. Kebahagiaan sebenarnya, yang dapat saya jadikan penawar lelah akan aktivitas sehari-hari dan fikiran-fikiran ketika menjadi orang dewasa yang sangat melelahkan.

Ya, Kelas Inspirasi, bukanlah tempat untuk saya memberikan informasi atau inspirasi mengenai profesi saya saat ini untuk mereka. Bagi saya, Kelas Inspirasi adalah tempat saya mengisi kembali tenaga yang terkuras habis oleh aktivitas sehari-hari. Adik-adik kecil itulah yang sebenarnya memberi saya lebih dari apa yang telah saya berikan untuk mereka.


Dan jika ada kebaikan lainnya yang saya dapat dari Kelas Inspirasi, itu adalah bonus. Dan tentu saja bukan bonus biasa, ini adalah jackpot.

Kamis, 07 September 2017

Interpretasi Puisi - Di Restoran - Sapardi Djoko Damono

Akhir-akhir ini, saya begitu suka mendengarkan musikalisasi puisi yang dibawakan oleh AriReda, khususnya untuk puisi-puisi karya Bapak Sapardi Djoko Damono. Jika orang kebanyakan begitu menyukai puisi beliau yang berjudul Aku Ingin, entah mengapa saya begitu jatuh cinta dengan dua puisi beliau yang berjudul " Di Restoran " dan " Sajak Kecil Tentang Cinta ", tapi kali ini, saya hanya akan membahas puisi beliau yang berjudul " Di Restoran ".


Kita berdua saja, duduk. Aku memesan

Ilalang panjang dan bunga rumput –
Kau entah memesan apa. Aku memesan
Batu di tengah sungai terjal yang deras –

Kau entah memesan apa. Tapi kita berdua

Saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
Yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
Memesan rasa lapar yang asing itu.


Sudah banyak yang mencoba menginterpretasi puisi di Restoran karya Bapak Sapardi, tapi entah mengapa, tetap tidak memuaskan saya yang selalu bertanya-tanya sebenarnya apa arti dari puisi ini.

Lalu saya mencoba memberanikan diri, untuk sekedar "membaca" puisi ini menurut versi saya. Well, jika ada kesempatan untuk bertemu Bapak Sapardi, ingin rasanya bertanya apa sebenarnya maksud dari puisi-puisi beliau, yang begitu sederhana, namun selalu terngiang.

Menurut saya, puisi ini ingin bercerita tentang dua orang anak manusia, yang sedang menjalin sebuah hubungan namun hanya "aku" yang berusaha membangun hubungan itu, sementara "kau" hanya diam, atau bahkan mungkin ingin mengakhiri hubungan tersebut.

Kita berdua saja, duduk. " Kita berdua disini dijelaskan sebagai aku dan kamu, atau bisa dikatakan sebagai sepasang kekasih. " duduk " dapat diartikan bahwa mereka sedang berdiam pada suatu tempat, tidak berjalan, seperti hubungan yang jalan di tempat, tidak mengalami perpindahan dan perkembangan.

Aku memesan
Ilalang panjang dan bunga rumput

Si aku dalam puisi ini, dengan sadar melakukan pemesanan, seperti kita di sebuah restoran, kita dengan sadar memesan apa yang ingin kita makan, sesuai dengan kata hati, sesuai dengan keinginan. Namun si aku malah memesan " ilalang panjang dan bunga rumput " dimana dua tanaman ini adalah dua tanaman yang tidak diharapkan kehadirannya, biasa tumbuh dimana saja, dengan subur, meskipun tidak dirawat oleh siapapun. Begitu pula dengan si aku, dia mencintai "kau" dengan kesadaran, cintanya tumbuh subur, meskipun tidak ada yang merawat. Sehingga tumbuh menjadi suatu yang sia-sia.

Kau entah memesan apa.

Dalam puisi ini, "aku" bahkan digambarkan tak pernah tau apa yang akan dipesan oleh "kau". Seperti hubungan, "aku" tak pernah tau, "kau" akan melakukan apa dalam hubungan itu. Bagaimana perasaannya dan apa yang akan dilakukan "kau" dengan hubungan tersebut.

Aku memesan
Batu di tengah sungai terjal yang deras –

Aku digambarkan kembali memesan, namun yang ia pesan adalah batu di tengah sungai terjal yang deras, dimana batu adalah suatu yang keras, hubungan mereka diibaratkan sebuah batu, keras, dan jika diibaratkan, batu yang ada di tengah sungai yang terjal dan keras, pada akhirnya setelah lama-lama terkena arus air yang begitu keras, akan mulai terkikis. Begitu pula sebuah hubungan yang dijalani " aku " dan " kau ", ketika hubungan mereka sudah sangat keras, mereka diibaratkan sedang berada dalam ujian yang bertubi-tubi yang pada akhirnya, dapat mengikis hubungan mereka berdua.

Kau entah memesan apa.

Meskipun hubungan mereka sedang dalam ujian, namun si aku tak pernah tau apa yang akan dipesan oleh kau.

Tapi kita berdua
Saja, duduk.

Tapi meskipun demikian, mereka tetap ada dalam hubungan tersebut, duduk dan tak berkembang.

Aku memesan rasa sakit
Yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
Memesan rasa lapar yang asing itu.

Meskipun "aku" tau hanya dia yang berusaha dalam hubungan ini, dia tetap memesan rasa sakit, yang tak berkesudahan. Meskipun aku sadar, hanya dia yang memiliki cinta, hanya dia yang berusaha membangun hubungan tersebut. Aku tetap berada dalam hubungan tersebut, dia bahkan rela memesan (menanggung) rasa sakit yang tak (pernah) putus dan bahkan semakin nyaring lengkingnya, semakin menjadi-jadi, semakin besar rintangannya, semakin memekakan telinga. Dan pada akhirnya, aku memesan rasa lapar akan cinta dari kau, yang asing, yang tak pernah ada.


Well, setelah " membaca " puisi ini, saya menyimpulkan, bahwa puisi ini adalah puisi yang begitu suram, dimana seorang "aku" dengan kesadaran berada dalam hubungan dengan "kau" meskipun si "aku" tak pernah tau apa sebenarnya yang ada dalam hati "kau".

Jika ada teman-teman yang memiliki persepsi berbeda dengan interpratasi puisi ini, saya akan dengan hati membaca interpretasi dari teman-teman sekalian.


Senin, 31 Juli 2017

Cinta Itu

Bagiku cinta itu bukan sekedar debaran dalam dada, yang bila sehari tak bertemu rasanya seperti ingin meledak

Bagiku cinta itu bukan sekedar hasrat ingin selalu bersama, dengan peluk dan cium dalam setiap kesempatannya

Bagiku cinta itu bukan hanya sekedar kau milikku dan aku milikmu

Cinta itu, adalah ketika kau menemukan sebuah rumah tempatmu pulang dari lelahnya perjalanan mudamu

Cinta itu, adalah ketika dalam setiap doa, kusenandungkan namamu, hanya aku dan Tuhan yang tau

Cinta itu kamu . . .

Rumah, yang selalu kupinta pada Tuhan, untuk jadi tempatku pulang

Sabtu, 15 Juli 2017

Minggu Pagi (I)

 Hari ini bukan pertama kalinya wanita angkuh itu melemparkan berkas pekerjaanku tepat di depan mukaku. Mungkin ini sudah keseratus kalinya, mungkin juga lebih,  sejak setahun lalu aku menginjakkan kaki diperusahan ini. Di hadapannya, kesalahan kecil dalam sebuah pekerjaan, benar-benar tak bisa dimaafkan. Tapi aku tak bisa benar-benar membencinya, aroma citrus dari tubuhnya, benar-benar memabukkanku. Syarafku seolah mati karenanya.
Lalu apa yang harusnya kulakukan?
“ Apa ? Kamu menanyakan apa yang harus kamu lakukan? Kamu dibayar mahal bukan untuk menambah bebanku dengan bertanya apa yang harus kamu lakukan !
Maaf, aku akan perbaiki lagi konsep ini, sebelum makan siang, aku jamin sudah ada di mejamu “ aku memutuskan untuk pergi dari ruangannya ketika yakin sudah tak ada respon yang ingin diberikannya.
Bara, tolong bekerjalah yang benar, jangan membuatku terpaksa memecatmu “ dia, mendesah dengan kesal sebelum aku benar-benar menghilang dari ruangannya.
Namanya Migi, kudengar kedua orang tuanya menamainya Minggu Pagi karena berharap anak mereka akan menjadi gadis ceria yang hangat, seperti matahari di Minggu Pagi. Tapi Migi ini berbeda, tak seperti Minggu Pagi yang hangat, siapa yang berdekatan dengannya, bisa saja terbakar.
***
Kenapa lu nggak ngajuin surat pengunduran diri aja sih?dijadiin babu sama perawan tua itu aja mau
Gue yang dimarahi, kenapa lu yang sewot?
Lu suka ya sama perawan tua itu? “ Reno, dia benar-benar mengenalku luar dalam.
Sakit lu, selera lu unik, besi karatan! “ Reno memakiku kesal, setelah melihat responku yang hanya tersenyum tipis
Ya aku menyukainya, aku menyukai Minggu Pagi. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di perusahaan ini. Bukan, bahkan sejak pertama kali aku melihatnya menangis. Dia tak sekuat itu, dia hanya seorang wanita rapuh, yang butuh topangan.
***
Sudah dua jam aku menunggu Lani di coffee shop ini, tapi gadis kecil itu tak kunjung datang.
Pandanganku berkeliling ruangan, bosan, mencari apa yang bisa ku lihat dan perhatikan. Atau mungkin ada seorang gadis yang sedang duduk sendiri dan aku bisa menghampirinya. Namun, malah dua sosok wanita pria itu benar-benar menarik mataku. Wanita itu memandang sosok dihadapannya dengan dingin, sementara sang Pria, aku tau, dia begitu sangat marah. Mukanya merah padam menahan amarah.
Mari kita berpisah “ wanita itu berkata dengan dingin
Berpisah? Satu bulan lagi kita menikah dan kamu bilang berpisah? “ Pria itu nampak tak terima.
Biar semuanya aku yang urus, kamu tinggal bilang iya, dan aku akan tanggung semuanya “ wanita itu masih begitu tenang.
Sekarang kamu benar-benar gila, tidak, sejak awal aku memang tau kamu gila, tapi aku benar-benar tak menyangka kamu segila ini. Ibuku bisa kena serangan jantung jika tau kita berpisah! “ Pria itu mulai berteriak, hingga seisi coffee shop menatap ke arah mereka.
Apa kamu lebih senang aku bilang ke Ibumu kalau anak kesayangannya menghamili perempuan lain tepat sebelum pernikahannya? Aku yakin, ibumu bahkan bisa mati ditempat. Apakah kamu ingin menggantikan pesta pernikahan kita dengan pesta pemakaman ibumu
Kamu Gila, kamu menyumpahi Ibuku meninggal?!
Maka dari itu, mari kita berpisah baik-baik
Baik, mari kita berpisah kalau memang itu maumu “ dengan geram pria itu beranjak dari duduknya, tapi sebelum meninggalkan wanita yang aku sangat yakin adalah kekasihnya, ia menyiramkan air putih tepat ke wajah wanita itu. Dan wanita itu, dia bahkan tak berusaha menghindarinya.

Bang, sorry, Lani ada kelas pengganti mendadak, ketemu di rumah aja nanti

Lani tiba-tiba mengirimiku pesan via WhatsApp. Kenapa baru sekarang dia mengatakannya, padahal aku sudah dua jam menunggunya. Gadis manja itu benar-benar keterlaluan, bagaimana bisa dia mengabaikanku selama dua jam dan akhirnya membatalkan janji. Mungkin ini karena ibu terlalu memanjakannya. Tanpa buang waktu, aku segera mengemasi semua barang-barangku dan beranjak pergi dari coffee shop ini, aku mencuri pandang sekali lagi ke arah wanita itu, dia terlihat basah kuyup, ekspresinya datar, namun aku bisa melihat dengan sangat jelas ada yang mengalir dari kedua matanya.
***
 “ Hai . . . “ Migi, seperti perkiraanku, Minggu Pagi selalu pulang tepat pukul 9 malam. Berpapasan dengannya di lift seperti ini, adalah kesengajaan yang seringkali aku buat. Wanita itu bahkan tak menjawab sapaanku, dia tetap memejamkan matanya. Aroma tubuhnya, lagi-lagi memukul tepat di sarafku.
Kenapa kamu selalu pulang selarut ini? “ aku mencoba berbasa-basi, namun lagi-lagi dia mengacuhkanku.
Migi, tak bisakah kamu menjawab pertanyaanku walau itu hanya sekedar basa-basi? “ kali ini aku benar-benar merasa kesal.
Bara, berapa usiamu saat ini? “ Migi akhirnya membuka mulutnya dan bersuara, namun matanya masih terpejam.
Dua Puluh Delapan “ jawabku gugup
Oh ternyata kamu tiga tahun lebih muda dariku, namun aku yakin kamu sudah terlalu tua untuk tau seorang wanita berminat denganmu atau tidak “ Migi membuka matanya, dia menatapku dengan pandangan meremehkan.
Maksudmu apa?
Jangan melihat ke arahku, karena aku tak akan pernah melihat ke arahmu
Apakah kamu sedang menolakku? Aku bahkan tak berkata menyukaimu, aku tau kamu wanita angkuh, tapi aku tak menyangka kamu se percaya diri itu mengatakan aku menyukaimu
Apakah kamu benar-benar tak menyukaiku? “ Migi mendekat ke arahku, wajah kami hanya berjarak beberapa centi. Aku benar-benar bisa mencium aroma tubuhnya “ Lalu mengapa kamu menutup matamu? “ bodoh, kenapa kamu harus menutup mata.
Bara, aku mohon, jangan melihat ke arahku lagi, atau ini hanya akan menjadi sulit untuk kita berdua “ Lift membuka di lantai basement dan Minggu Pagi, meninggalkanku sendiri yang masih mematung tak bisa berkata atau berbuat apa-apa.

Minggu, 13 November 2016

Musik Ramah, Untuk Anak Indonesia



Mungkin bisa dikatakan ini pertama kalinya aku keluar dari zona nyaman penulisan fiksi atau puisi yang biasanya kutulis. Secara bagi mahasiswi komunikasi yang mendapatkan nilai B pada mata kuliah Dasar Jurnalistik, terutama mahasiswi yang suka berada dalam dunia mimpi sepertiku, fiksi adalah pelarian terbaik, kamu bisa hidup di dunia yang kamu ciptakan, menggapai semua yang kamu inginkan dan membuang jauh semua apa yang kamu benci dan tak ingin terjadi dalam hidupmu.
Dan minggu ini, mungkin pertama kalinya aku bisa menjawab challenge dari #mendadakNgeBlog (maafkan remahan rempeyek ini yang dari dua minggu lalu tak sempat menjawab challenge dari maha guru sekalian), tema yang diambil minggu ini adalah #MenyelamatkanMusikIndonesia.

***

Menjadi anak yang lahir dan besar tahun 90-an, membuatku sangat bersyukur. Jika memutar kembali ingatan ke masa itu, senyum simpul selalu tersungging dan argh, rasanya ingin kembali di masa itu, dimana masalah terbesar adalah tayangan tinju di minggu pagi yang membuat acara cartoon favorit tidak tayang. Dan sumpah, itu benar-benar MENYEBALKAN!!
Tidak hanya itu, luka di kaki yang didapat karena bermain kejar-kejaran yang tak sembuh selama seminggu dan menimbulkan bekas, bahkan tak membuat anak-anak pada jaman itu menjadi jera untuk bermain kejar-kejaran lagi. Dan sumpah, berlari mengejar teman di tengah terik matahari itu benar-benar MENYENANGKAN!! Bahkan sama menyenangkannya saat kamu mengejar gebetan dan ternyata si gebetan juga memiliki perasaan yang sama #eh

 https://www.brilio.net/selebritis/trio-kwek-kwek-reuni-fotonya-bikin-heboh-kamu-pangling-nggak-160216n.html

Jika berbicara dan mengenang masa kecil di tahun 90-an, ada banyak hal kecil yang sudah bisa membuat kita bahagia, contohnya saja cartoon di Minggu pagi, bermain di lapangan bersama teman-teman dan membeli kaset terbaru dari penyanyi cilik idola. Tahun 90-an tak bisa dijauhkan dari banyaknya penyanyi cilik yang pada saat itu sedang tenar-tenarnya, sebut saja Trio Kwek-Kwek (dengan Alfandy , yang menurut Tita Kecil, adalah cowok paling ganteng seantero jagat raya), Joshua, Sherina (yang gara-gara film Petualangan Sherina Tita Kecil jadi seneng banget sama yang namanya permen chacha dan selalu bawa permen ini kemanapun dia pergi), Tasya (dan masih banyak yang lainnya yang kalau disebutin satu-satu, bisa jadi panjang kali lebar kali tinggi) dan bahkan saat itu ada boneka kecil lucu yang bisa bernyanyi yang ketenarannya bisa mengalahkan penyanyi kecil pada masa itu, Suzan.
Penyanyi-penyanyi cilik ini tampil apa adanya dan benar-benar terlihat seperti usia mereka. Tak ada make up tebal, tak ada penampilan yang berlebihan. Lirik yang diangkat pun sangat sederhana, sebagian besar adalah mengenai kehidupan sehari-hari yang kita alami, bisa tentang tukang bakso yang sering lewat didepan rumah, tentang kasih sayang seorang ibu dan bahkan tentang cita-cita yang ingin diterbangkan setinggi langit. Sederhana memang, tapi mengena. Tak ada lirik tentang cinta-cintaan. Tak ada lirik yang tak sesuai dengan usia kita. Tapi meskipun demikian, bisa dikatakan hingga saat ini, lagu-lagu itu terus terngiang di ingatan kita semua, terutama anak-anak tahun 90-an.


https://id.wikipedia.org/wiki/Andai_Aku_Besar_Nanti

Salah satu penyanyi favoritku adalah Sherina, dimana dalam album Andai Aku Besar Nanti, musik dan lirik dalam lagu ini menurutku sangat cerdas. Hampir semua lagu di Album ini sangat ramah untuk telinga, baik secara music maupun lirik. Dan mau tak mau mengakui, aku mengenal rasa galau, sejak mendengar lagu “ Andai Aku Besar Nanti ”, bukan galau karena cinta, tapi galau karena ingin segera membahagiakan kedua orang tua. Rasanya sampai saat ini masih terasa sama jika mendengarkan lagu ini, dimana sejak kecil kita sudah berandai-andai untuk menjadi dewasa dan membahagiakan kedua orang tua, namun yang terjadi sampai detik ini bukannya membahagiakan kedua orang tua, tapi malah masih saja merepotkan dan membuat kedua orang tua khawatir.
Mengingat masa kecil tahun 90-an, dan membandingkannya dengan anak-anak kecil masa ini. Membuatku merasa sangat miris, dari semua sisi, anak-anak kecil saat ini sangat merugi. Mereka besar ditemani dengan gadget hingga mereka tak tahu bagaimana asyiknya berlari menghindari bola dalam permainan bak boy dan benteng, mereka tak tau bagaimana bermain strategi, kecepatan dan kerjasama tim dalam permainan bak boo atau yang lebih dikenal dengan go back so door.
Untuk musik, tak ada lagu yang cocok dengan usia mereka yang dapat telinga mereka konsumsi. Tak ada lagu-lagu dengan lirik ramah yang dapat memuaskan telinga mereka. Telinga mereka “diperkosa” untuk mendengar lagu-lagu cinta ala remaja. Setiap hari dijejali dengan lagu-lagu cinta ala remaja, membuat fikiran mereka cenderung dewasa sebelum waktunya. Membuat pacaran di usia anak, menjadi biasa.
Mungkin aku memang tak pandai dalam merangkai not balok untuk menjadi sebuah musik. Tapi tak ada salahnya jika aku berharap, ada pemusik handal, yang mulai peduli dengan anak-anak Indonesia dan menciptakan musik-musik berkualitas sesuai dengan usia mereka.
Ciptakan Musik Berkualitas sesuai umur anak-anak Indonesia.
Mari Selamatkan Musik Indonesia, Mari Selamatkan Generasi Penerus Bangsa.

***

Andai aku t'lah dewasa
Apa yang 'kan kukatakan
Untukmu idolaku tersayang
Ayah... Oh...
Andai usiaku berubah
Kubalas cintamu bunda
Pelitaku, penerang jiwaku
Dalam setiap waktu
Oh... Kutahu kau berharap dalam doamu
Kutahu kau berjaga dalam langkahku
Kutahu s'lalu cinta dalam senyummu
Oh Tuhan, Kau kupinta bahagiakan mereka sepertiku
Andai aku t'lah dewasa
Ingin aku persembahkan
Semurni cintamu, setulus kasih sayangmu
Kau s'lalu kucinta
Andai usiaku berubah
Kubalas cintamu bunda
Pelitaku, penerang jiwaku
Dalam setiap waktu
Oh... Kutahu kau berharap dalam doamu
Kutahu kau berjaga dalam langkahku
Kutahu s'lalu cinta dalam senyummu
Oh Tuhan, Kau kupinta bahagiakan mereka sepertiku
Andai aku t'lah dewasa
Ingin aku persembahkan
Semurni cintamu, setulus kasih sayangmu
Kau s'lalu kucinta

Kamis, 03 April 2014

Tresno - Rumah Tangga



RUMAH TANGGA
“ Dari sini, ketika aku belajar untuk mencintaimu, aku berharap kau juga mau belajar mencintaiku.

“ Hallo “ aku melihat jam di dinding, masih pukul empat pagi. Tapi Ibu sudah menelfon.
Hallo, gimana kabar istri kamu? “ ya ampun Ibu apa-apaan, baru saja kami pulang dan sekarang sudah menelfon menanyakan kabar Raras.
“ Baik Bu, dia masih tidur, capek banget kayaknya “ aku melihat ke sampingku, kosong, tak ada siapa-siapa. Jelas, karena kami memutuskan hidup masing-masing, di rumah masing-masing.
Ow gitu ya, besok, ibu sama bapak rencana mau ke Jakarta
“ Apa? “ sontak aku kaget mendengar Ibu yang akan ke Jakarta. “ Ngapain Bu? Nggak usah, kan kita baru aja pulang kemarin, masak ibu langsung ke Jakarta “
Ibu kasihan sama Raras, kamu tau sendiri kan kerjaannya banyak banget, baru nikah pula. Pasti dia masih belum bisa bagi waktu
“ Nggak usah bu, yang penting doanya saja “
Udah kamu jangan mbantah, pokoknya besok Ibu sama Bapak ke Jakarta “ Ibu mematikan telefonnya, selalu saja begitu jika sudah ada maunya, tak ada yang bisa mencegahnya. Aku segera menghubungi Raras.
Hallo, kamu gila ini jam berapa? “ suara Raras, sepertinya ia baru saja bangun tidur.
“ Siang ini kamu ada waktu? “
Kenapa?
“ Ibu dan Bapak mau ke Jakarta, sebelum itu kita harus ketemu “
“ Apa? Kamu nggak bercanda kan?“ sepertinya Raras langsung 100% terjaga “ Oke, nanti jam makan siang aku ke kantormu “ aku mematikan telefon. Mungkin kami mulai saat ini harus berbohong lagi dan lagi untuk menutupi sebuah kebohongan besar yang telah kami sepakati.
***
“ Mau kemana kamu buru-buru? “ Anton, rekan kerjaku, laki-laki yang mulutnya paling tak bisa di jaga, selalu saja mau tau urusan orang.
“ Bukan urusanmu “ aku segera keluar dari lift begitu pintu terbuka, berjalan dengan terburu-buru menuju sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari kantorku. Disana Raras sudah menunggu, di pojok ruangan. Duduk dengan percaya diri, mengenakan setelan blazer warna hitam dengan riasan yang pas, ia nampak cantik. Selintas aku merasa bangga, menyadari perempuan itu adalah istriku, meskipun hanya pernikahan kontrak.
“ Sudah lama? “ banyak mata laki-laki yang memandang ke arah kami, sepertinya mereka sedikit kecewa. Kulihat tangan kanannya, ada cincin pernikahan kami di jari manisnya.
“ Nggak kok, baru aja nyampe “
“ Pesen makan dulu ya? “ tawarku dan Raras mengangguk.
“ Ow pantes, tadi buru-buru, mau ketemu wanita cantik ya? “ Anton, dia sudah ada di belakangku. Ah, laki-laki ini. Mendadak aku sangat kesal dengan Anton.
“ Kamu nggak mau ngenalin aku sama dia? “ Anton berbisik, dan sepertinya Raras mendengarnya.
“ Hai, aku Raras, istrinya Tresno “ Raras mengulurkan tangannya, Anton nampak terkejut, tapi akhirnya ia menjabat tangan Raras “ Anton “ katanya tergagap.
“ Kok kamu nggak bilang udah nikah, mana istrinya cantik lagi “ Anton berbisik lagi.
“ Maaf, tapi ada hal penting yang ingin kami bicarakan, mungkin lain kali kita bisa mengobrol bersama “ aku menyembunyikan senyumku mendengar Raras mengusir Anton secara halus.
“ Oh tentu-tentu, silahkan dinikmati makanannya “ Raras terseyum dan akhirnya Anton pergi meninggalkan kami, menghampiri meja yang letaknya tak jauh dari meja kami. Tempat segerombolan laki-laki yang sedari tadi memperhatikan kami. Setelah Anton bergabung, mereka nampak berbisik dan menunjuk-nunjuk ke arah kami.
“ Ibu gimana? “ Raras tak memperdulikan gerombolan laki-laki yang memperhatikannya dari tadi.
“ Kamu tau, mereka dari tadi memperhatikanmu “ aku berbisik, dan Raras melihat ke arah pandanganku.
“ Apa perduliku? “ Raras bertanya tak peduli “ Ibu gimana? “
“ Kamu nggak normal ya? “ aku tak menghiraukan pertanyaan Raras, aku lebih penasaran kenapa Raras tak pernah perduli dengan pandangan laki-laki di sekitarnya. Raras nampak kesal dengan pertanyaanku.
“ Bagaimana aku bisa memandang laki-laki lain kalau didepanku ada suamiku? “ aku tersenyum mengejek mendengar jawaban Raras. “ Sudah jangan perdulikan mereka, bagaimana Ibumu? “
“ Besok Ibu dan Bapak berangkat, mungkin lusa nyampenya “
“ Apa ku bilang, lebih baik kamu tinggal di apartemenku saja, akan lebih mudah kalau hal-hal semacam ini terjadi “
“ Oke-oke, nanti malam aku akan mulai pindahan “
“ Kalau Ibu Bapak datang kamu jangan ambil kesempatan ya? “ ancam Raras dan aku hanya dapat tersenyum kesal.
Bapak, Ibu maafkan anakmu ini, tapi kebohongan ini demi kalian juga.
***
“ Ibu, bapak “ Raras menyambut Ibu dan Bapak yang baru saja tiba. Ketika aku menjemput Bapak dan Ibu di stasiun, Raras menyiapkan makanan untuk kami.
“ Ibu sama Bapak istirahat dulu ya, makanannya udah Raras siapin, Raras sama Tresno mau berangkat ke kantor dulu habis ini “
“ Ia sayang, kamu nggak usah cemas, pokoknya selama Ibu ada disini kamu tenang aja “ Apanya yang tenang, malah menurutku hidupku semakin tak tenang jika ayah dan ibu ada disini.
***
“ Kamu tidur di bawah “ Raras melempar selimut tebalnya dan sebuah bantal. Benar-benar perempuan tak berbelas kasihan. “ Kamu jangan macem-macem ya “ Raras mematikan lampu dikamarnya dan mulai tertidur. Tak berapa lama kemudian, akupun tertidur.
Suara adzan subuh sudah terdengar, kulihat jam di dinding, sudah pagi rupanya. Sayup-sayup kudengar suara Ibu mengetuk pintu kamar Raras. Ah, apa yang dilakukan Ibu pagi-pagi begini. Aku segera naik ke atas ranjang, menata selimut dan pura-pura tertidur dengan memeluk Raras. Benar saja, Ibu masuk dengan mengendap-endap. Mungkin setelah melihat kami tertidur, Ibu menutup pintunya dengan perlahan.
“ Apa yang kamu lakukan? “ Raras berbisik, ternyata dia sudah bangun. Dari suaranya bisa ditebak ia sangat kesal dengan apa yang telah kulakukan.
“ Ssstt Ibu tadi masuk ke sini “
“ Kemarin kamu lupa nggak ngunci pintunya ya? “
“ Maaf, lupa “ kataku takut-takut, Raras menghela nafas kesal.
“ Ibu sudah pergi kan? “ aku mengangguk “ Sekarang kamu bisa lepasin tanganmu “ Aku baru menyadarinya, dari tadi aku masih memeluk perempuan ini.
“ Dan besok jangan lupa kunci pintunya “ Raras meninggalkanku sendirian di kamar “ Emang aku suka apa meluk perempuan kayak kamu “ gerutuku kesal.
***
Ini malam ketiga sejak Ibu dan Bapak ada disini, yang artinya malam ketiga pula aku harus tidur dilantai. Kenapa kamar ini tidak ada sofa, seharusnya Raras membelinya untuk jaga-jaga. Ah kamar ini sudah terlalu sempit untuk ditambah sebuah sofa. Aku baru menyadarinya setelah melihat ke sekelilingku. Kulihat jam di dinding, ini sudah pukul sebelas malam, dan selarut ini Raras belum pulang. Apa yang sebenarnya dikerjakannya di kantor? Benar-benar tak tau waktu.
Ah, mumpung Raras belum pulang, lebih baik aku tidur di ranjang saja. Kalau dia pulang pasti dia membangunkanku. Nyaman juga tidur di ranjang, apalagi wangi shampoo Raras bagai aromatherapi yang menenangkan.
" No, bangun, ngapain kamu tidur disana? " samar kudengar suara Raras. Namun rasanya berat untuk membuka mata. Bukannya bangun, kutarik selimut menutupi tubuhku, tubuhku terasa menggigil.
" No, bangun " Raras mengguncangkan tubuhku " No, kamu sakit, badanmu panas " Raras menempelkan punggung tangannya di keningku.
" Aku nggak papa " kataku lirih, mencoba bangun, tapi rasanya kepalaku begitu sakit.
" Udah kamu tidur disini aja " suara Raras terdengar cemas " Udah minum obat? " aku menggeleng " Aku ambilin obat ya? " tawarnya.
" Nggak usah, aku cuma butuh istirahat "
" Oke, kalau besok kamu belum sembuh juga, kita ke dokter. Aku nggak mau disalahkan kalau ada apa-apa sama kamu "
' Ok " Raras mengambil selimut tebal yang biasa kugunakan untuk tidur dan mulai menatanya di lantai.
" Buat sapa Ras? " aku mencoba untuk duduk.
" Aku " jawabnya singkat. " Kamu mau tidur di lantai? Kalau gitu biar aku aja yang tidur di lantai "
" Nggak usah kamu tidur di ranjang aja, kamu kan lagi sakit "
" Kalau gitu kamu juga tidur di ranjang " aku menepuk kasur di sampingku, Raras menatapku ragu. " Kalau gitu aku yang tidur di lantai kamu di ranjang " Raras nampak kesal " Aku terlalu sakit untuk berbuat macam-macam " tambahku, dan akhirnya Raras mengalah, ia tidur disampingku. Memunggungiku dan tak berbicara sepatah katapun.
Aku tak tau sebenarnya apa yang sedang kulakukan, sedari tadi aku terus memandangi punggung Raras dan rasanya ingin sekali memeluknya. Apakah aku harus belajar mencintai Raras? Argh, pasti ini efek dari rasa sakit dikepalaku. Fikiranku jadi benar-benar kacau.
“ Jangan melakukan apapun yang dapat membuat semua ini menjadi sulit. Lebih baik kamu menghindarinya “ Raras berkata pelan. Raras benar, tidak seharusnya aku berfikiran seperti itu. Sejak awal memang telah kami sepakati, seharusnya tidak ada cinta dalam pernikahan ini jika tidak ingin salah satu pihak tersakiti.
***
Ketika aku terbangun Raras sudah tidak ada disampingku. Apa dia sudah berangkat kerja, tapi bukankah hari ini hari Sabtu? Aku melihat jam didinding, pukul enam pagi. Kepalaku masih terasa berat. Kupaksakan kaki melangkah keluar dari kamar. Kulihat Ibu dan Raras sedang memasak berdua didapur.
" Maaf ya Bu, Raras nggak bisa masak "
" Ya kan semua butuh proses " Ibu benar-benar wanita yang sangat sabar.
" Sudah bangun? Seharusnya kamu di kamar saja " Raras menyadari keberadaanku, dia menghampiriku dan memapahku untuk duduk. Mengapa aktingnya benar-benar terlihat begitu alami. Raras menempelkan punggung tangannya ke keningku " Syukur udah nggak demam " Raras tersenyum.
" Kamu beneran nggak papa No? " Ibu nampak khawatir.
" Sudah lah bu, Tresno kan sekarang udah ada Raras yang jagain, Ibu nggak usah terlalu cemas " Bapak menimpali dari balik korannya.
" Apa Ibu nggak pulang saja ya hari ini? Biar Bapakmu aja yang pulang "
" Nggak usah Bu, Bapak betul disini sudah ada Raras "
" Bener kamu nggak papa? " Aku hanya bisa mengangguk, tanpa tau apakah Raras benar-benar akan menjagaku ketika Ibu pulang. Masa bodoh dengan itu, toh ini hanya demam biasa. Kecemasan Ibu yang berlebihan hanya membuatku semakin merasa tak nyaman.
***
Sepulang dari mengantar Ibu dan Bapak ke stasiun, entah mengapa seluruh tubuhku kembali menggigil. Aku terduduk di sofa ruang tengah apartemen Raras.
" Makanya, tadi kan aku udah bilang, kamu nggak usah ikut. Jadi tambah sakit kan sekarang " dari tadi Raras terus saja mengomel, membuat kepalaku semakin berdenyut.
" Sekarang kamu tidur aja di kamar, aku buatin bubur, setelah itu baru minum obat " aku menepis tangan Raras yang mencoba memapahku " Aku bisa sendiri " tapi tubuhku ternyata tak mendukung ucapanku, hampir saja aku terjatuh jika Raras tak menopangku.
" Nggak usah keras kepala, nggak ada untungnya! "
" Kamu nggak bisa ya nggak pake marah-marah " Raras menjatuhkan tubuhku di ranjang dengan kasar " Kalau bukan kamu, mungkin bisa " jawabnya ketus.
Tak berapa lama kemudian, Raras datang dengan semangkuk bubur.
" Makan " Raras meletakkannya di meja, didekat ranjangku. " Habis gitu jangan lupa minum obatnya, jangan nyusahin orang kamu " setelah mengucapkan kata-kata yang cukup membuat orang sakit hati, Raras meninggalkanku sendiri. Dia benar-benar tak perduli, apakah aku akan memakannya atau tidak. Dengan menahan sakit, aku memakan bubur yang dibuatkan Raras, " Apa-apaan ini, dia mau ngracunin aku? " rasanya begitu asin, apa perempuan ini benar-benar tak bisa masak? Bahkan hanya untuk memasak bubur saja dia tak bisa? Benar-benar tak punya kelebihan. Tapi bagaimanapun juga aku harus memakannya, aku harus sembuh. Setelah meminum obat yang diberikan Raras, aku berusaha untuk tidur. Berharap dengan beristirahat dapat segera mengembalikan kesehatanku.
Meskipun mataku terpejam, aku bisa merasakannya. Raras mengendap-endap masuk kedalam kamarku. Dia duduk disamping ranjangku, memeriksa suhu tubuhku dengan punggung tangannya. Ia nampak menghela nafas, entah apa yang sedang dirasakannya. Aku mencoba mengatur nafasku seteratur meskipun kurasakan tubuhku mulai menggigil kedinginan. Raras merapikan letak selimutku.
" Kenapa kamu selalu seperti ini? " tiba-tiba saja Raras berkata pelan, setengah berbisik " Maaf jika ini semua membuat hidupmu semakin sulit. . . " Raras beranjak dari duduknya dan kudengar suara pintu tertutup. Setelah memastikan Raras pergi, aku membuka mataku. Apa yang sebenarnya difikirkan perempuan itu? Apa maksudnya berkata seperti itu? Raras, aku benar-benar tak bisa memahami perempuan ini.