Hari ini bukan pertama kalinya
wanita angkuh itu melemparkan berkas pekerjaanku tepat di depan mukaku. Mungkin
ini sudah keseratus kalinya, mungkin juga lebih, sejak setahun lalu aku menginjakkan kaki
diperusahan ini. Di hadapannya, kesalahan kecil dalam sebuah pekerjaan,
benar-benar tak bisa dimaafkan. Tapi aku tak bisa benar-benar membencinya,
aroma citrus dari tubuhnya, benar-benar memabukkanku. Syarafku seolah mati
karenanya.
“ Lalu apa yang harusnya kulakukan? “
“ Apa ? Kamu menanyakan apa yang harus kamu lakukan? Kamu dibayar mahal
bukan untuk menambah bebanku dengan bertanya apa yang harus kamu lakukan ! “
“ Maaf, aku akan perbaiki lagi konsep ini, sebelum makan siang, aku jamin
sudah ada di mejamu “ aku memutuskan untuk pergi dari ruangannya ketika
yakin sudah tak ada respon yang ingin diberikannya.
“ Bara, tolong bekerjalah yang benar, jangan membuatku terpaksa memecatmu
“ dia, mendesah dengan kesal sebelum aku benar-benar menghilang dari
ruangannya.
Namanya Migi, kudengar kedua
orang tuanya menamainya Minggu Pagi karena berharap anak mereka akan menjadi
gadis ceria yang hangat, seperti matahari di Minggu Pagi. Tapi Migi ini
berbeda, tak seperti Minggu Pagi yang hangat, siapa yang berdekatan dengannya,
bisa saja terbakar.
***
“ Kenapa lu nggak ngajuin surat pengunduran diri aja sih?dijadiin babu
sama perawan tua itu aja mau “
“ Gue yang dimarahi, kenapa lu yang sewot? “
“ Lu suka ya sama perawan tua itu? “ Reno, dia benar-benar mengenalku
luar dalam.
“ Sakit lu, selera lu unik, besi karatan! “ Reno memakiku kesal, setelah
melihat responku yang hanya tersenyum tipis
Ya aku menyukainya, aku menyukai
Minggu Pagi. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di perusahaan ini. Bukan,
bahkan sejak pertama kali aku melihatnya menangis. Dia tak sekuat itu, dia hanya
seorang wanita rapuh, yang butuh topangan.
***
Sudah dua jam aku menunggu Lani
di coffee shop ini, tapi gadis kecil itu tak kunjung datang.
Pandanganku berkeliling ruangan, bosan,
mencari apa yang bisa ku lihat dan perhatikan. Atau mungkin ada seorang gadis
yang sedang duduk sendiri dan aku bisa menghampirinya. Namun, malah dua sosok
wanita pria itu benar-benar menarik mataku. Wanita itu memandang sosok
dihadapannya dengan dingin, sementara sang Pria, aku tau, dia begitu sangat
marah. Mukanya merah padam menahan amarah.
“ Mari kita berpisah “ wanita itu berkata dengan dingin
“ Berpisah? Satu bulan lagi kita menikah dan kamu bilang berpisah? “
Pria itu nampak tak terima.
“ Biar semuanya aku yang urus, kamu tinggal bilang iya, dan aku akan
tanggung semuanya “ wanita itu masih begitu tenang.
“ Sekarang kamu benar-benar gila, tidak, sejak awal aku memang tau kamu
gila, tapi aku benar-benar tak menyangka kamu segila ini. Ibuku bisa kena
serangan jantung jika tau kita berpisah! “ Pria itu mulai berteriak, hingga
seisi coffee shop menatap ke arah mereka.
“ Apa kamu lebih senang aku bilang ke Ibumu kalau anak kesayangannya
menghamili perempuan lain tepat sebelum pernikahannya? Aku yakin, ibumu bahkan
bisa mati ditempat. Apakah kamu ingin menggantikan pesta pernikahan kita dengan
pesta pemakaman ibumu “
“ Kamu Gila, kamu menyumpahi Ibuku meninggal?! “
“ Maka dari itu, mari kita berpisah baik-baik “
“ Baik, mari kita berpisah kalau memang itu maumu “ dengan geram pria
itu beranjak dari duduknya, tapi sebelum meninggalkan wanita yang aku sangat
yakin adalah kekasihnya, ia menyiramkan air putih tepat ke wajah wanita itu.
Dan wanita itu, dia bahkan tak berusaha menghindarinya.
Bang,
sorry, Lani ada kelas pengganti mendadak, ketemu di rumah aja nanti
Lani tiba-tiba mengirimiku pesan
via WhatsApp. Kenapa baru sekarang dia mengatakannya, padahal aku sudah dua jam
menunggunya. Gadis manja itu benar-benar keterlaluan, bagaimana bisa dia
mengabaikanku selama dua jam dan akhirnya membatalkan janji. Mungkin ini karena
ibu terlalu memanjakannya. Tanpa buang waktu, aku segera mengemasi semua
barang-barangku dan beranjak pergi dari coffee shop ini, aku mencuri pandang
sekali lagi ke arah wanita itu, dia terlihat basah kuyup, ekspresinya datar,
namun aku bisa melihat dengan sangat jelas ada yang mengalir dari kedua
matanya.
***
“ Hai .
. . “ Migi, seperti perkiraanku, Minggu Pagi selalu pulang tepat pukul 9
malam. Berpapasan dengannya di lift seperti ini, adalah kesengajaan yang
seringkali aku buat. Wanita itu bahkan tak menjawab sapaanku, dia tetap
memejamkan matanya. Aroma tubuhnya, lagi-lagi memukul tepat di sarafku.
“ Kenapa kamu selalu pulang selarut ini? “ aku mencoba berbasa-basi,
namun lagi-lagi dia mengacuhkanku.
“ Migi, tak bisakah kamu menjawab pertanyaanku walau itu hanya sekedar
basa-basi? “ kali ini aku benar-benar merasa kesal.
“ Bara, berapa usiamu saat ini? “ Migi akhirnya membuka mulutnya dan
bersuara, namun matanya masih terpejam.
“ Dua Puluh Delapan “ jawabku gugup
“ Oh ternyata kamu tiga tahun lebih muda dariku, namun aku yakin kamu
sudah terlalu tua untuk tau seorang wanita berminat denganmu atau tidak “
Migi membuka matanya, dia menatapku dengan pandangan meremehkan.
“ Maksudmu apa? “
“ Jangan melihat ke arahku, karena aku tak akan pernah melihat ke arahmu
“
“ Apakah kamu sedang menolakku? Aku bahkan tak berkata menyukaimu, aku
tau kamu wanita angkuh, tapi aku tak menyangka kamu se percaya diri itu
mengatakan aku menyukaimu “
“ Apakah kamu benar-benar tak menyukaiku? “ Migi mendekat ke arahku,
wajah kami hanya berjarak beberapa centi. Aku benar-benar bisa mencium aroma
tubuhnya “ Lalu mengapa kamu menutup
matamu? “ bodoh, kenapa kamu harus menutup mata.
“ Bara, aku mohon, jangan melihat ke arahku lagi, atau ini hanya akan
menjadi sulit untuk kita berdua “ Lift membuka di lantai basement dan
Minggu Pagi, meninggalkanku sendiri yang masih mematung tak bisa berkata atau
berbuat apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar