Rabu, 01 November 2017

Senyum Mereka, Motivasi Terbesar Saya

sebuah “rasa” tentang Kelas Inspirasi

Bukan pertama kalinya saya mengikuti Kelas Inspirasi (KI), namun meskipun demikian, ini baru pertama kalinya saya menulis untuk KI. Bagi saya menulis bukanlah suatu hal yang mudah dan bukan hal yang bisa dilakukan hanya karena kita mau, kita harus dapat memilih dan merangkai kata dengan tepat, agar pesan yang ada dalam tulisan dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Kita harus dapat membangun mood yang sesuai, agar pembaca dapat mengalir mengikuti alur cerita yang kita rangkai dan terbawa kedalamnya. Karena bagi saya, seorang penulis bukanlah sebuah profesi dimana seseorang pandai merangkai kata, namun juga seseorang yang mampu memasukkan nyawa kedalam sebuah tulisan. Seorang penulis memiliki tanggung jawab yang cukup besar, terutama terkait tulisan dan pembacanya.

Kali ini saya tergelitik untuk menulis, bukan karena iming-iming tulisan terbaik akan dibukukan dan nama saya akan tercetak besar dalam salah satu halaman buku yang akan di terbitkan oleh Kelas Inspirasi Malang. Namun karena pertanyaan dari beberapa relawan, yang masih terus terngiang di ingatan saya yang biasanya hanya seperti ikan mas, yang hanya berfungsi sepersekian detik. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari pertanyaan mereka. Pertanyaan umum, yang biasa di lontarkan ketika mengikuti Kelas Inspirasi. Tapi entah mengapa, pertanyaan yang awalnya hanya terjawab dengan sekedarnya, pada akhirnya menjadi perenungan dalam perjalanan malam saya kembali ke Surabaya. Mungkin Tuhan ingin saya untuk kembali menulis, setelah sekian lama tak ada tulisan yang dihasilkan, bisa jadi.

 “ Apa motivasi Mbak mengikuti KI? “ standar bukan? Pertanyaan-pertanyaan umum yang pasti akan kamu dapatkan ketika mengikuti KI setelah pertanyaan awal, “ Apakah dulu sebelumnya pernah mengikuti KI? “ atau “ Berapa kali Mbak ikut KI? “
 “ Hanya untuk mengisi waktu luang “ jawabku singkat, sambil tersenyum manis tentunya, tapi tentu tak semanis gula dan tidak pula menyebabkan diabetes ☺
“ Nggak lebih Mbak? Nggak ada sampingan lainnya? “
“ Semisal cari jodoh gitu? “ yang lain pun ikut menimpali, dan otomatis saya tertawa mendengar celetukan khas relawan yang pasti sudah bisa di tebak, 99,99% dia itu jomblo dan memiliki motivasi terselubung, mencari jodoh – mungkin :p. ( fyi, bagi kalian para jomblo dan ingin cari jodoh, mungkin bisa bergabung di Kelas Inspirasi, sudah rahasia di kalangan anak KI, jika peserta KI kebanyakan masih berstatus single – kebanyakan, bukan berarti tak ada yang sudah berpasangan – siapa tahu, salah satu diantara mereka adalah jodoh kamu. Sambil menyelam minum air, sambil menginspirasi adik-adik sambil mencari prospek untuk masa depan ☺ )

Argh, jadi teringat ketika mengikuti Kelas Inspirasi Yogyakarta awal tahun ini, celetukan yang kami gagas terkait motivasi kami mengikuti Kelas Inspirasi, celetukan yang didapat dari hasil ngopi di sebuah gerai kopi di salah satu Mall di Yogyakarta, usai refleksi seharian yang cukup melelahkan. Celetukan orang-orang kelelahan, yang butuh sedikit asupan vitamin C (Canda) untuk dapat kembali menjadi normal. Canda kami waktu itu, kami sengaja mengikuti Kelas Inspirasi, hanya untuk mencari vendor pernikahan, untuk mencari discount atau potongan harga lebih tepatnya atau kalau relawan kenalan baik, mungkin juga bisa dibantu secara GRATIS!! cukup diberi nasi kotak dan ucapan terimakasih yang tulus. Siapa tau, secara saat ini biaya pernikahan tidak lagi terjangkau seperti dulu kala. Biaya pernikahan selangit – apalagi biaya setelah pernikahan (maafkan jika tulisan ini banyak sekali sisipan curhatan dari penulis).

Kembali ke motivasi saya mengikuti KI, awalnya saya hanya mengira, bahwa saya mengikuti KI hanya untuk mengisi waktu luang, dengan kegiatan yang lebih bermanfaat tentunya. Namun setelah saya fikir lagi, jika hanya mengisi waktu luang, mengapa saya tidak menggunakannya untuk hal-hal lainnya, masih banyak hal bermanfaat lainnya yang bisa saya lakukan. Yang tidak perlu saya bersusah payah untuk datang ke pelosok daerah, yang tidak perlu saya menghadapi ulah-ulah usil para bocah yang sebenarnya ingin diperhatikan dan di beri kasih sayang. Yang bahkan bisa saya lakukan dengan tanpa menggunakan banyak tenaga dan usaha. Namun buktinya, setelah sekali mengikuti kegiatan Kelas Inspirasi, bukannya merasa lelah atau jera, saya kembali secara sadar mendaftarkan diri mengikuti KI KI di kota lainnya. Seperti candu, yang tidak dapat saya tolak godaannya dan membuat saya ingin terus mengikutinya. Apalagi jika Hari Inspirasi dilaksanakan tepat hari Sabtu, dimana saya sudah bebas dari jam kerja. Godaan untuk mengikuti Kelas Inspirasi pun menjadi semakin besar. Seperti kutub utara dan selatan, tarikannya begitu kuat.

Lalu mengapa saya terus menerus mengikuti kegiatan ini? Kegiatan yang sudah pasti tidak hanya membutuhkan pengorbanan tenaga, namun juga fikiran, waktu dan biaya?

Saya masih terus berfikir, di sepanjang perjalanan menuju Surabaya saya berfikir, mengapa saya mengikuti kegiatan ini? Apa alasan utama saya mengikuti kegiatan Kelas Inspirasi? Apakah benar-benar hanya untuk mengisi waktu luang? Apakah sebenarnya saya disini hanya untuk mencari jodoh? Apakah untuk menambah relasi? Dan otak mulai dijejali dengan berbagai alasan yang masuk akal. Namun, tak satupun yang membuat saya berkata, “ Ya, inilah alasannya, inilah motivasi terbesar saya”.

Ketika sudah mulai bosan berfikir, saya keluarkan smartphone putih yang selalu menemani saya kemanapun saya pergi. Setelah membalas semua pesan yang masuk, iseng saya melihat status whatsapp dari salah seorang teman yang kebetulan juga mengikuti kelas Inspirasi Malang, namun berbeda rombongan belajar. Disana saya melihat, seorang bocah tersenyum lebar dan saya ikut tersenyum. Saya kembali melihat foto lainnya, segerombolan bocah terseyum lebar, dengan bangga mereka memamerkan gigi yang menghitam karena ulah cokelat atau makanan manis lainnya, hati saya merasa begitu tenang dan damai.

Ya, inilah jawaban atas pertanyaan saya selama ini. Hati saya meloncat kegirangan, seolah mendapat jawabannya. Ya ini lah jawabannya, saya mengikuti KI hanya untuk melihat senyum mereka. Senyum tulus para bocah, yang bisa terus mengembang tanpa henti walau hanya dengan kedatangan kami. Yang terkadang menyapa malu – malu. Yang begitu senangnya jika kami mau ikut bermain atau sekedar bertanya kepada mereka. Senyum polos para bocah, yang akan terus tersungging walau hanya diberi selembar kertas origami untuk membuat pesawat terbang atau mainan kreasi lainnya. Yang merengek manja hanya untuk sekedar diperhatikan. Yang menarik ujung kemeja kami dengan malu, hanya untuk mengajak bermain. Senyum tulus itulah alasan saya selama ini lagi dan lagi mengikuti Kelas Inspirasi. Senyum merekalah sebenar-benarnya candu yang terus membuat saya ingin terus ikut bergabung dalam Kelas Inspirasi.

Ada kebahagiaan tersendiri yang saya dapat ketika melihat senyum mereka, kebahagiaan yang tidak akan pernah saya dapat jika saya melakukan aktivitas lainnya. Kebahagiaan sebenarnya, yang dapat saya jadikan penawar lelah akan aktivitas sehari-hari dan fikiran-fikiran ketika menjadi orang dewasa yang sangat melelahkan.

Ya, Kelas Inspirasi, bukanlah tempat untuk saya memberikan informasi atau inspirasi mengenai profesi saya saat ini untuk mereka. Bagi saya, Kelas Inspirasi adalah tempat saya mengisi kembali tenaga yang terkuras habis oleh aktivitas sehari-hari. Adik-adik kecil itulah yang sebenarnya memberi saya lebih dari apa yang telah saya berikan untuk mereka.


Dan jika ada kebaikan lainnya yang saya dapat dari Kelas Inspirasi, itu adalah bonus. Dan tentu saja bukan bonus biasa, ini adalah jackpot.

Kamis, 07 September 2017

Interpretasi Puisi - Di Restoran - Sapardi Djoko Damono

Akhir-akhir ini, saya begitu suka mendengarkan musikalisasi puisi yang dibawakan oleh AriReda, khususnya untuk puisi-puisi karya Bapak Sapardi Djoko Damono. Jika orang kebanyakan begitu menyukai puisi beliau yang berjudul Aku Ingin, entah mengapa saya begitu jatuh cinta dengan dua puisi beliau yang berjudul " Di Restoran " dan " Sajak Kecil Tentang Cinta ", tapi kali ini, saya hanya akan membahas puisi beliau yang berjudul " Di Restoran ".


Kita berdua saja, duduk. Aku memesan

Ilalang panjang dan bunga rumput –
Kau entah memesan apa. Aku memesan
Batu di tengah sungai terjal yang deras –

Kau entah memesan apa. Tapi kita berdua

Saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
Yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
Memesan rasa lapar yang asing itu.


Sudah banyak yang mencoba menginterpretasi puisi di Restoran karya Bapak Sapardi, tapi entah mengapa, tetap tidak memuaskan saya yang selalu bertanya-tanya sebenarnya apa arti dari puisi ini.

Lalu saya mencoba memberanikan diri, untuk sekedar "membaca" puisi ini menurut versi saya. Well, jika ada kesempatan untuk bertemu Bapak Sapardi, ingin rasanya bertanya apa sebenarnya maksud dari puisi-puisi beliau, yang begitu sederhana, namun selalu terngiang.

Menurut saya, puisi ini ingin bercerita tentang dua orang anak manusia, yang sedang menjalin sebuah hubungan namun hanya "aku" yang berusaha membangun hubungan itu, sementara "kau" hanya diam, atau bahkan mungkin ingin mengakhiri hubungan tersebut.

Kita berdua saja, duduk. " Kita berdua disini dijelaskan sebagai aku dan kamu, atau bisa dikatakan sebagai sepasang kekasih. " duduk " dapat diartikan bahwa mereka sedang berdiam pada suatu tempat, tidak berjalan, seperti hubungan yang jalan di tempat, tidak mengalami perpindahan dan perkembangan.

Aku memesan
Ilalang panjang dan bunga rumput

Si aku dalam puisi ini, dengan sadar melakukan pemesanan, seperti kita di sebuah restoran, kita dengan sadar memesan apa yang ingin kita makan, sesuai dengan kata hati, sesuai dengan keinginan. Namun si aku malah memesan " ilalang panjang dan bunga rumput " dimana dua tanaman ini adalah dua tanaman yang tidak diharapkan kehadirannya, biasa tumbuh dimana saja, dengan subur, meskipun tidak dirawat oleh siapapun. Begitu pula dengan si aku, dia mencintai "kau" dengan kesadaran, cintanya tumbuh subur, meskipun tidak ada yang merawat. Sehingga tumbuh menjadi suatu yang sia-sia.

Kau entah memesan apa.

Dalam puisi ini, "aku" bahkan digambarkan tak pernah tau apa yang akan dipesan oleh "kau". Seperti hubungan, "aku" tak pernah tau, "kau" akan melakukan apa dalam hubungan itu. Bagaimana perasaannya dan apa yang akan dilakukan "kau" dengan hubungan tersebut.

Aku memesan
Batu di tengah sungai terjal yang deras –

Aku digambarkan kembali memesan, namun yang ia pesan adalah batu di tengah sungai terjal yang deras, dimana batu adalah suatu yang keras, hubungan mereka diibaratkan sebuah batu, keras, dan jika diibaratkan, batu yang ada di tengah sungai yang terjal dan keras, pada akhirnya setelah lama-lama terkena arus air yang begitu keras, akan mulai terkikis. Begitu pula sebuah hubungan yang dijalani " aku " dan " kau ", ketika hubungan mereka sudah sangat keras, mereka diibaratkan sedang berada dalam ujian yang bertubi-tubi yang pada akhirnya, dapat mengikis hubungan mereka berdua.

Kau entah memesan apa.

Meskipun hubungan mereka sedang dalam ujian, namun si aku tak pernah tau apa yang akan dipesan oleh kau.

Tapi kita berdua
Saja, duduk.

Tapi meskipun demikian, mereka tetap ada dalam hubungan tersebut, duduk dan tak berkembang.

Aku memesan rasa sakit
Yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
Memesan rasa lapar yang asing itu.

Meskipun "aku" tau hanya dia yang berusaha dalam hubungan ini, dia tetap memesan rasa sakit, yang tak berkesudahan. Meskipun aku sadar, hanya dia yang memiliki cinta, hanya dia yang berusaha membangun hubungan tersebut. Aku tetap berada dalam hubungan tersebut, dia bahkan rela memesan (menanggung) rasa sakit yang tak (pernah) putus dan bahkan semakin nyaring lengkingnya, semakin menjadi-jadi, semakin besar rintangannya, semakin memekakan telinga. Dan pada akhirnya, aku memesan rasa lapar akan cinta dari kau, yang asing, yang tak pernah ada.


Well, setelah " membaca " puisi ini, saya menyimpulkan, bahwa puisi ini adalah puisi yang begitu suram, dimana seorang "aku" dengan kesadaran berada dalam hubungan dengan "kau" meskipun si "aku" tak pernah tau apa sebenarnya yang ada dalam hati "kau".

Jika ada teman-teman yang memiliki persepsi berbeda dengan interpratasi puisi ini, saya akan dengan hati membaca interpretasi dari teman-teman sekalian.


Senin, 31 Juli 2017

Cinta Itu

Bagiku cinta itu bukan sekedar debaran dalam dada, yang bila sehari tak bertemu rasanya seperti ingin meledak

Bagiku cinta itu bukan sekedar hasrat ingin selalu bersama, dengan peluk dan cium dalam setiap kesempatannya

Bagiku cinta itu bukan hanya sekedar kau milikku dan aku milikmu

Cinta itu, adalah ketika kau menemukan sebuah rumah tempatmu pulang dari lelahnya perjalanan mudamu

Cinta itu, adalah ketika dalam setiap doa, kusenandungkan namamu, hanya aku dan Tuhan yang tau

Cinta itu kamu . . .

Rumah, yang selalu kupinta pada Tuhan, untuk jadi tempatku pulang

Sabtu, 15 Juli 2017

Minggu Pagi (I)

 Hari ini bukan pertama kalinya wanita angkuh itu melemparkan berkas pekerjaanku tepat di depan mukaku. Mungkin ini sudah keseratus kalinya, mungkin juga lebih,  sejak setahun lalu aku menginjakkan kaki diperusahan ini. Di hadapannya, kesalahan kecil dalam sebuah pekerjaan, benar-benar tak bisa dimaafkan. Tapi aku tak bisa benar-benar membencinya, aroma citrus dari tubuhnya, benar-benar memabukkanku. Syarafku seolah mati karenanya.
Lalu apa yang harusnya kulakukan?
“ Apa ? Kamu menanyakan apa yang harus kamu lakukan? Kamu dibayar mahal bukan untuk menambah bebanku dengan bertanya apa yang harus kamu lakukan !
Maaf, aku akan perbaiki lagi konsep ini, sebelum makan siang, aku jamin sudah ada di mejamu “ aku memutuskan untuk pergi dari ruangannya ketika yakin sudah tak ada respon yang ingin diberikannya.
Bara, tolong bekerjalah yang benar, jangan membuatku terpaksa memecatmu “ dia, mendesah dengan kesal sebelum aku benar-benar menghilang dari ruangannya.
Namanya Migi, kudengar kedua orang tuanya menamainya Minggu Pagi karena berharap anak mereka akan menjadi gadis ceria yang hangat, seperti matahari di Minggu Pagi. Tapi Migi ini berbeda, tak seperti Minggu Pagi yang hangat, siapa yang berdekatan dengannya, bisa saja terbakar.
***
Kenapa lu nggak ngajuin surat pengunduran diri aja sih?dijadiin babu sama perawan tua itu aja mau
Gue yang dimarahi, kenapa lu yang sewot?
Lu suka ya sama perawan tua itu? “ Reno, dia benar-benar mengenalku luar dalam.
Sakit lu, selera lu unik, besi karatan! “ Reno memakiku kesal, setelah melihat responku yang hanya tersenyum tipis
Ya aku menyukainya, aku menyukai Minggu Pagi. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di perusahaan ini. Bukan, bahkan sejak pertama kali aku melihatnya menangis. Dia tak sekuat itu, dia hanya seorang wanita rapuh, yang butuh topangan.
***
Sudah dua jam aku menunggu Lani di coffee shop ini, tapi gadis kecil itu tak kunjung datang.
Pandanganku berkeliling ruangan, bosan, mencari apa yang bisa ku lihat dan perhatikan. Atau mungkin ada seorang gadis yang sedang duduk sendiri dan aku bisa menghampirinya. Namun, malah dua sosok wanita pria itu benar-benar menarik mataku. Wanita itu memandang sosok dihadapannya dengan dingin, sementara sang Pria, aku tau, dia begitu sangat marah. Mukanya merah padam menahan amarah.
Mari kita berpisah “ wanita itu berkata dengan dingin
Berpisah? Satu bulan lagi kita menikah dan kamu bilang berpisah? “ Pria itu nampak tak terima.
Biar semuanya aku yang urus, kamu tinggal bilang iya, dan aku akan tanggung semuanya “ wanita itu masih begitu tenang.
Sekarang kamu benar-benar gila, tidak, sejak awal aku memang tau kamu gila, tapi aku benar-benar tak menyangka kamu segila ini. Ibuku bisa kena serangan jantung jika tau kita berpisah! “ Pria itu mulai berteriak, hingga seisi coffee shop menatap ke arah mereka.
Apa kamu lebih senang aku bilang ke Ibumu kalau anak kesayangannya menghamili perempuan lain tepat sebelum pernikahannya? Aku yakin, ibumu bahkan bisa mati ditempat. Apakah kamu ingin menggantikan pesta pernikahan kita dengan pesta pemakaman ibumu
Kamu Gila, kamu menyumpahi Ibuku meninggal?!
Maka dari itu, mari kita berpisah baik-baik
Baik, mari kita berpisah kalau memang itu maumu “ dengan geram pria itu beranjak dari duduknya, tapi sebelum meninggalkan wanita yang aku sangat yakin adalah kekasihnya, ia menyiramkan air putih tepat ke wajah wanita itu. Dan wanita itu, dia bahkan tak berusaha menghindarinya.

Bang, sorry, Lani ada kelas pengganti mendadak, ketemu di rumah aja nanti

Lani tiba-tiba mengirimiku pesan via WhatsApp. Kenapa baru sekarang dia mengatakannya, padahal aku sudah dua jam menunggunya. Gadis manja itu benar-benar keterlaluan, bagaimana bisa dia mengabaikanku selama dua jam dan akhirnya membatalkan janji. Mungkin ini karena ibu terlalu memanjakannya. Tanpa buang waktu, aku segera mengemasi semua barang-barangku dan beranjak pergi dari coffee shop ini, aku mencuri pandang sekali lagi ke arah wanita itu, dia terlihat basah kuyup, ekspresinya datar, namun aku bisa melihat dengan sangat jelas ada yang mengalir dari kedua matanya.
***
 “ Hai . . . “ Migi, seperti perkiraanku, Minggu Pagi selalu pulang tepat pukul 9 malam. Berpapasan dengannya di lift seperti ini, adalah kesengajaan yang seringkali aku buat. Wanita itu bahkan tak menjawab sapaanku, dia tetap memejamkan matanya. Aroma tubuhnya, lagi-lagi memukul tepat di sarafku.
Kenapa kamu selalu pulang selarut ini? “ aku mencoba berbasa-basi, namun lagi-lagi dia mengacuhkanku.
Migi, tak bisakah kamu menjawab pertanyaanku walau itu hanya sekedar basa-basi? “ kali ini aku benar-benar merasa kesal.
Bara, berapa usiamu saat ini? “ Migi akhirnya membuka mulutnya dan bersuara, namun matanya masih terpejam.
Dua Puluh Delapan “ jawabku gugup
Oh ternyata kamu tiga tahun lebih muda dariku, namun aku yakin kamu sudah terlalu tua untuk tau seorang wanita berminat denganmu atau tidak “ Migi membuka matanya, dia menatapku dengan pandangan meremehkan.
Maksudmu apa?
Jangan melihat ke arahku, karena aku tak akan pernah melihat ke arahmu
Apakah kamu sedang menolakku? Aku bahkan tak berkata menyukaimu, aku tau kamu wanita angkuh, tapi aku tak menyangka kamu se percaya diri itu mengatakan aku menyukaimu
Apakah kamu benar-benar tak menyukaiku? “ Migi mendekat ke arahku, wajah kami hanya berjarak beberapa centi. Aku benar-benar bisa mencium aroma tubuhnya “ Lalu mengapa kamu menutup matamu? “ bodoh, kenapa kamu harus menutup mata.
Bara, aku mohon, jangan melihat ke arahku lagi, atau ini hanya akan menjadi sulit untuk kita berdua “ Lift membuka di lantai basement dan Minggu Pagi, meninggalkanku sendiri yang masih mematung tak bisa berkata atau berbuat apa-apa.