" Kamu
harus segera menikah Nduk, umurmu sudah 25 tahun, apa kata orang jika tau anak
perawan Ibu sampai sekarang belum menikah? " kepulanganku ke kampung
halaman sejatinya adalah untuk menenangkan diri karena kematian Anton, tunanganku,
seminggu yang lalu. Namun bukannya tenang, aku semakin dibebani dengan
permintaan Ibu yang memintaku untuk segera menikah.
" Ibu,
bukannya Sekar tidak mau menikah secepatnya, tapi Sekar masih berkabung, Anton
baru saja meninggal. Lagipula Sekar masih belum menemukan pengganti Anton
" kataku membujuk, berharap Ibu mengerti posisi dan perasaanku.
" Ibu tau
Nduk, tapi jangan lama-lama berkabungnya, tidak baik kalau dilihat orang
kampung. Meskipun Ibu tau bagaimana perasaanmu, tapi wong kampung iku bedo ( tapi orang kampung itu berbeda ), mereka tidak akan memikirkan hal-hal seperti itu.
Kamu lihat Surti, teman SD kamu itu, sekarang anaknya sudah dua. Nah, yang
mereka tahu itu ya cuma seperti itu, wong
wadon iku tugase cuma masak, macak lan manak ( perempuan
itu tugasnya hanya memasak, berhias dan melahirkan ) itu yang benar."
" Ibu, ini
sudah jaman modern. Sudah
tidak jaman Bu, kalau Ibu bilang wong
wadon iku tugase cuma masak, macak lan manak. Kami bukan boneka, kami
juga punya kehidupan yang ingin kami bangun dengan mimpi-mimpi kami " protesku tidak setuju.
" Sekar, jika
kamu adalah orang Jawa, apalagi seorang perempuan Jawa, dimanapun dan kapanpun
kamu hidup, kamu harus menjadi seorang perempuan Jawa seutuhnya dan hidup dalam
tradisi leluhur yang mau tak mau secara mutlak telah menempel dalam jati dirimu
sebagai perempuan Jawa. Meskipun kamu punya mimpi, kamu harus ingat dengan
kodratmu sebagai seorang perempuan " Ibu membelai rambutku lembut, nasehat
ini selalu Ibu ucapkan ketika aku dianggap lupa dengan jati diriku yang
sebenarnya.
" Sekar tau
Bu " Akhirnya aku memilih untuk tidak membantah kata-kata Ibu, dan
tertidur di sampingnya. Sekarang aku lelah dan hanya ingin tidur.
Ya, siapapun aku
sekarang, aku tetaplah seorang perempuan Jawa di mata Ibuku dan orang-orang yang
hidup di kampung ini. Bahkan tradisi itu tetap berlaku meskipun kamu adalah
seorang wanita karir yang bekerja di kota metropolitan seperti Jakarta,
menyandang gelar S2 dari perguruan tinggi luar negeri dan hidup di era
globalisasi yang semuanya serba canggih dan modern. Kamu tetaplah perempuan Jawa,
titik. Itulah jati dirimu.
***
" Mbak
Sekar . . . Mbak Sekar . . . " Fitri, anak gadis Mbok Rah, pembantu Ibu,
menggedor pintu kamarku seperti orang kesetanan.
" Ada apa
Fit? " aku membukakan pintu untuk Fitri dan mempersilahkannya masuk ke
kamarku. Usia Fitri 17 tahun, masih SMA, tapi dia sudah dilamar oleh Supri,
anak juragan angkot yang hobbynya judi ayam dan mabuk-mabukan. Jadi setelah
lulus SMA dia akan langsung menikah dengan lelaki tak berpenghasilan itu, tanpa
bisa menolak atau hanya sekedar memberikan pendapat, dia hanya bisa pasrah
menerima nasibnya.
" Hanya karena bapaknya juragan
angkot Ibu menerima pinangan Supri, padahal Mbak tau Supri itu kerjaannya cuma
mabuk-mabukan dan judi ayam " masih kuingat seminggu yang lalu Fitri
menangis di hadapanku karena mendengar perjodohannya dengan Supri.
" Kamu kan bisa nolak Fit? "
saranku prihatin.
" Ndak bisa Mbak, kata Ibu kalau
Fitri menolak perjodohan ini, Fitri akan jadi perawan tua seumur hidup. Fitri
ndak mau jadi perawan tua " aku hanya dapat menghela nafas mendengar
cerita Fitri. Meskipun ingin membantu, tapi apa yang bisa kulakukan?
Dan sekarang Fitri sudah kembali ceria,
seperti tidak ada masalah apa-apa. Wajar, Fitri memang masih bau kencur untuk
melihat masalah sebagai masalah.
" Ada apa, kamu
habis melihat hantu ya? "
" Mbak tau
Mbak tau, Fitri ada gosip hebat, Mbak Sekar pasti pingsan mendengarnya "
" Ada apa
sich? " tanyaku penasaran.
" Tadi kan
Fitri pergi ke pasar nemenin Ibu belanja, eh Fitri denger kalau Pak Lurah mau
ngelamar Mbak Sekar " Fitri nampak benar-benar bersemangat.
" Pak
Lurah? Maksud kamu Aji? "
" Iya Mbak,
Mas Aji. Wah Ibuknya Mbak Sekar pasti seneng banget punya mantu lurah "
duniaku terasa berputar, berharap apa yang dikatakan Fitri hanyalah kabar
burung saja. Aji, dia temanku dari SD sampai SMA. Aku sudah tau betul
peringainya, karena anak orang yang cukup kaya dan terpandang di desaku, dia
tumbuh jadi anak yang bengal dan sombong. Bahkan aku yakin, jabatannya sekarang
sebenarnya dibeli dengan uang keluarganya, karena dulu dia tidak terlalu
pintar, nilainya selalu di bawah rata-rata.
" Kamu
yakin? " Fitri mengangguk senang " kamu boleh pergi, nanti aku tanya
Ibu kebenarannya seperti apa " Ibu, apa yang sedang Ibu fikirkan.
Fitri
meninggalkanku sendirian di kamar. Setelah dapat menahan emosiku, aku
menghampiri Ibu yang sedang memasak di dapur bersama Mbok Rah.
" Ibuk,
Sekar dengar dari Fitri . . . " akhirnya aku
berani bertanya setelah berdiri cukup lama di depan pintu dapur. "
Aji . . . "
" Kamu
sudah dengar dari Fitri ya. Ya ampun, bocah
kui emang ra iso jogo rahasia ( anak itu memang tidak bisa menjaga rahasia
). Sini-sini, jangan berdiri didepan pintu gitu Nduk, ndak baik buat anak perawan " wajah Ibu nampak berseri-seri.
" Ibu
yakin, ini Aji Bu. Ibu kan juga tau Aji itu gimana "
" Sudah,
kamu jangan mbantah perintah Ibu.
Mungkin aja dulu Aji seperti itu, kan sekarang dia sudah berubah. Lagipula Aji
sekarang sudah jadi orang terpandang di desa ini " Jika Ibu berkata
seperti ini, maka aku sudah tidak bisa membantah lagi, meskipun seribu alasan
yang rasional ku ungkapkan. Ketika orang tua berkata
menikah, maka kamu akan menikah. Seburuk apapun Aji di masa lalu,
sekarang dia sudah jadi orang terpandang. Apalagi seorang Lurah dan aku sudah
tahu apa yang akan difikirkan orang-orang kampung ini. Aku, adalah perempuan
yang sangat beruntung.
***
Menjadi perempuan itu benar-benar merepotkan dan serba salah. Apapun
yang kamu lakukan, yang paling penting adalah pandangan orang. Tapi masalahnya,
bagaimanapun kamu berusaha untuk menjadi yang terbaik, masih ada celah bagi
orang-orang kurang kerjaan itu untuk mencibirmu. Menjadikanmu bahan gunjingan
yang terkadang memerahkan telinga.
" Untung ya
Pa Lurah mau ngelamar anak perawannya Bu Wati, kalau ndak pasti Bu Wati sudah malu punya anak cantik, tapi jadi perawan
tua "
" Meskipun
Sekar itu cantik dan pintar, tapi kalau jadi perawan tua ya percuma, perempuan ndak laku itu
namanya. Masak kembang desa kok ndak
laku, bisa malu orang sedesa "
" Tapi Bu
Wati memang beruntung, sudah kaya, anaknya cantik. Eh, sekarang punya mantu
Lurah "
Ibu-ibu di
kampung ini memang tidak ada kerjaan lain selain bergosip dan mengurusi hidup
orang lain. Entah mereka memang tidak menyadari kehadiranku atau memang sudah
tidak punya malu lagi, mereka membicarakan hidupku seolah aku selebritis yang
baru naik daun. Ah, biarkan saja mereka bergosip, bukannya kalau kita
dibicarakan seperti itu maka Tuhan akan mengurangi
dosa kita? Anggap saja benar seperti itu, daripada harus pusing
meladeni ocehan mereka yang tidak ada habisnya.
Aku memilih
duduk di Musholla kampung, entah mengapa disini aku merasa lebih tenang. Disini
aku tidak bisa mendengar orang-orang itu membicarakanku. Jelas, ini rumah Tuhan.
Mana mungkin mereka melakukan hal-hal semacam itu disini. Ah, akhirnya aku bisa
sedikit menenangkan fikiran, agar tidak menjadi gila karena sikap Ibu dan
seluruh orang yang ada di kampung ini. Apa kata teman-temanku kalau aku menjadi
gila? Aku lebih tidak bisa membayangkannya.
" Assalamua'laikum
" seorang laki-laki muda membuyarkan lamunanku, mungkin usia laki-laki ini
sepantaran denganku, mengenakan baju koko dan kopiah, bukan laki-laki modern
pastinya. Pasti salah satu pemuda dari kampung ini.
" Assalamua'laikum
" ulangnya, karena salam pertamanya tidak kujawab.
" Wa’alaikumsalam
" jawabku sekenanya, aku beranjak dari dudukku dan pergi meninggalkan
laki-laki ini sendirian. Tak berminat untuk membuka obrolan, karena sejujurnya
aku sedang malas berbicara dengan siapapun. Apalagi dengan orang asing yang
tidak kukenal.
" Mbak
" panggilnya dan aku menghentikan langkahku, menoleh ke arahnya " Musholla
itu tempat beribadah, bukan tempat melamun. Kalau Mbak sedang ada masalah,
lebih baik mendekatkan diri sama Gusti Allah " laki-laki itu tersenyum,
dan entah mengapa membuat perasaanku semakin kesal. Sekarang tidak hanya ibu-ibu, anak muda juga mulai suka mencampuri urusan
orang lain. Bukan urusanmu! Jawabku kesal dalam hati.
***
Hidupku
berakhir, aku benar-benar akan menikah dengan Aji. Sebelum acara ijab qobul,
aku harus mengikuti serangkaian acara adat pernikahan Jawa dan hari ini aku
harus melalui acara siraman. Aku sudah siap dengan pakaian kemben dan rangkaian
bunga melati yang menghiasi rambutku.
" Astaghfirullah
" salah seorang keluarga Aji memekik kaget setelah masuk ke dalam kamarku,
memecahkan gelas dan piring yang dibawanya, mungkin makanan untukku. Seperti
kesetanan dia berlari meninggalkan kamarku.
Tak berapa lama
kemudian kudengar suara ribut-ribut dari luar kamarku, karena penasaran aku
mencoba mengintip apa yang terjadi dari celah pintu kamarku.
" Ternyata
Sekar perempuan bahu laweyan, pasti keluarga Pak Lurah sangat bersyukur tau ini
dari awal " ibu-ibu yang sedang rewang
mulai kasak-kusuk membicarakan sesuatu, yang aku yakin itu menyangkut tentangku
karena aku mendengar namaku disebut.
" Kira-kira
pernikahan ini dilanjutkan ndak ya?
"
" Ya pasti
dibatalkan lah, apa Pak Lurah ndak
sayang sama nyawanya "
" Pantes,
kemarin saya dengar kalau tunangannya Sekar juga meninggal karena kecelakaan.
Dasar perempuan pembawa sial "
Aku menutup
pintu kamarku dengan perlahan, agar mereka tak menyadari bahwa aku sedang
menguping. Apa yang mereka katakan, bahu laweyan? Perempuan pembawa sial?
Mengapa mereka mengaitkannya dengan kematian Anton? Apa yang sebenarnya
terjadi?
***
Entah apa yang terjadi, pernikahanku dengan Aji dibatalkan begitu saja. Meskipun
aku sangat bersyukur, tapi tetap saja aku penasaran dengan alasan pembatalan
pernikahanku ini, padahal undangan sudah disebar dan pernikahan
tinggal menunggu hitungan jam saja.
Ibu mengetuk
pintu kamarku perlahan.
" Nduk, boleh Ibu masuk? “
“ Masuk saja Bu “
Ibu duduk di ranjangku “ Kamu yang sabar ya Nduk, mungkin Aji memang
bukan jodohmu “
“ Sekar ikhlas kok bu, lagipula Aji memang bukan laki-laki yang Sekar
inginkan untuk menjadi pendamping hidup Sekar. Tapi yang membuat Sekar penasaran, alasan mereka membatalkan
pernikahan ini “ Ibu hanya diam.
“ Bu, tolong ceritakan ke Sekar yang sebenarnya “
“ Sudah lah Nduk, jangan dibahas lagi. Intinya cuma kalian itu ndak jodoh, titik. “ aku tahu Ibu tidak akan menceritakan yang sebenarnya, ada yang disembunyikannya dan aku
tidak memaksanya lagi karena tahu aku tidak akan mendapat
jawabannya.
“ Kamu kapan balik Jakarta, kerjaan kamu apa ndak papa kalau di tinggal lama gini? “ aku tahu Ibu
sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.
“ Ndak papa kok Bu, kerjaan
Sekar sementara ini sudah ada yang ngurus “
“ Jangan gitu Nduk, cari kerjaan itu sulit. Jangan nggampangin kamu “ Aneh, bukannya mendesakku untuk cepat menikah.
Ibu yang biasanya tidak terlalu setuju dengan tujuan hidupku sebagai wanita
karir tiba-tiba saja mendukung karirku. Pasti ada yang Ibu sembunyikan dan
naluriku memerintahkanku untuk mencari tahu
***
“ Fit, kamu tau alasan Aji membatalkan pernikahan ini? “ sengaja kukunci
pintu kamarku agar tidak ada orang yang masuk. Fitri, satu-satunya orang yang
bisa kutanyai mengenai masalah ini.
“ Ndak tau Mbak “ Fitri
menggeleng ketakutan, membuatku semakin yakin bocah ini tau sesuatu.
“ Ndak papa Fit, kamu jujur
saja sama Mbak Sekar “ Fitri nampak berfikir sejenak.
“ Tapi Mbak Sekar jangan marah ya “ aku mengangguk.
“ Kata orang-orang Mbak Sekar itu perempuan bahu laweyan “ Fitri
berbisik.
“ Bahu Laweyan? Apa itu Fit? “
“ Perempuan pembawa sial Mbak. Kata orang, barang siapa lelaki yang
menikahi perempuan bahu laweyan, laki-laki itu akan mati “ aku mengernyitkan
dahiku, bingung “ Tapi kutukan itu cuma berlaku pada laki-laki ke tujuh,
setelah itu iblis yang merasuki perempuan bahu laweyan akan menyusupi perempuan
lainnya “ aku tertawa mendengar penjelasan Fitri. Dirasuki Iblis?
Tidak masuk akal.
“ Darimana mereka
tau aku perempuan apa itu " aku mencoba mengingat " apalah sebutan
mereka untukku “ akhirnya aku menyerah untuk mengingat.
“ Bahu laweyan Mbak. Mbak Sekar ada tanda lahir di bahu kiri? “ aku
mencoba mengingat kembali, dan benar ada tanda lahir berwarna hitam di bahu
kiriku. Aku mengangguk.
“ Hanya karena itu? “ tanyaku tidak
percaya dan Fitri mengangguk takut. Aku benar-benar tidak percaya, hanya karena tanda lahir yang aku punya aku di cap sebagai
perempuan pembawa sial yang bisa menyebabkan kematian seseorang. Konyolnya
lagi, aku tidak hidup di jaman sebelum masehi, tapi tahun 2013 setelah masehi
dan mereka masih percaya dengan hal-hal seperti ini? Aku hanya dapat menghela nafas, lelah dan tidak habis
fikir dengan jalan fikiran orang-orang yang hidup di kampung ini.
***
Aku memutuskan untuk berdiam diri di Musholla, berdoa kepada Allah dan
menenangkan diri. Ini masih terlalu pagi bagi orang-orang untuk berangkat ke
musholla, masih pukul tiga dini hari. Sehingga aku tidak perlu cemas dengan pandangan mencibir orang-orang di sekelilingku.
Sebenarnya karena aku tidak bisa tidur, apa yang diceritakan Fitri sedikit
banyak membuatku terjaga sepanjang malam.
“Assalamua'laikum “ seseorang mengagetkanku. Laki-laki itu, kenapa kami
selalu bertemu disini? Apa dia malaikat? Apa Allah mengutusnya untuk
menemuiku, karena dia selalu datang ketika fikiranku sedang kalut.
“Assalamua'laikum
“ ulangnya.
“ Wa’ailaikumsalam
“
“ Sepertinya
kalau ngucap salam sama Mbak ini pasti harus di ulang dua kali ya “ laki-laki
ini tersenyum.
“ Kenapa kamu ada disini pagi-pagi buta begini? “
“ Ya kalau di Musholla pasti mau
beribadah Mbak, terus kenapa Mbak ada disini? “
“ Bukan urusanmu “ jawabku ketus, akhirnya laki-laki itu
mengambil air wudlu dan melakukan shalat dua rakaat. “ Kamu tahu siapa aku? “ pada akhirnya akulah yang membuka pembicaraan setelah
laki-laki itu selesai memanjatkan doa. Laki-laki itu
menggeleng “ Saya bukan dukun Mbak “ jawabnya.
“ Kata orang, aku perempuan pembawa sial. Perempuan bahu laweyan. Aku
bisa membuat laki-laki yang menjadi suamiku mati “ air mataku mulai menetes.
“ Kamu tahu, ini hanya gara-gara aku mempunyai tanda lahir di bahu
kiriku. “ aku tidak bisa berkata-kata. “ Istighfar Mbak “ sarannya.
“ Kamu tahu, aku seorang wanita karir, lulusan S2 dari luar negeri, dan
sekarang mau tak mau harus percaya dengan kutukan konyol ini. Kamu fikir
bagaimana perasaanku? “
“ Apa mereka fikir, setelah tanda lahir ini hilang, semuanya akan
berakhir. Baik, aku bisa melakukan operasi
plastik, gampang kan “ aku terus saja menangis dan meracau, laki-laki muda didepanku hanya diam tidak memberikan komentar apapun.
“ Serahkan semua pada Allah Mbak, mungkin ini cobaan dari yang Kuasa. Lebih
baik Mbak shalat untuk menenangkan diri “ sarannya
ketika aku mulai tenang. Mungkin dia tak ingin salah berkata, jawabannya
terdengar diplomatis dan memang sebenarnya aku tidak ingin mendengarkan
komentar dari orang lain, aku hanya butuh didengar.
"
Terimakasih sudah mau mendengar ocehanku " kataku pelan.
" Sama-sama
Mbak, bukannya sesama makhluk Allah kita memang harus saling membantu? "
lagi-lagi dia tersenyum, dan menyebabkan sedikit hawa aneh merasuk dalam
hatiku.
***
Enam bulan sejak pembatalan pernikahanku dengan Aji, aku semakin
menyibukkan diri dengan pekerjaan. Tak ingin diresahkan dengan mitos kuno yang
tidak masuk akal itu.
Ibu
Calling . . . .
“ Assalamua'laikum “
“ Wa’alaikumsalam, ada apa bu “ Ibu hanya
diam.
“ Bu . . . “
“ Ada
yang mengajak kamu ta’aruf Nduk “ Ibu perkata pelan, mungkin takut
melukaiku.
“ Tolak saja “ pintaku datar.
“ Tapi
dia dan keluarganya sudah tahu kalau kamu perempuan bahu laweyan Nduk “
“ Apa Ibu mau mengorbankan orang lain demi
Sekar? Bagaimana kalau dia mati Bu “
“ Dia
seorang Ustadz, namanya Ustadz Hafid " Ibu tak
menghiraukan pertanyaanku.
“ Sekar tidak kenal Bu, mungkin saja ini cuma
lelucon “ jawabku acuh.
“ Ibu
kenal dia Nduk, dia memang Ustadz di kampung kita “
“ Apa dia sudah tua? Apa dia sudah putus asa
dengan hidupnya dan ingin cepat-cepat mati? “
“ Kamu
ndak boleh bilang gitu. Sabtu ini kamu harus pulang, Ustadz Hafid dan
keluarganya mau datang ke rumah. Sudah ya Nduk, Assalamua'laikum “ Ibu
memutus sambungan telefon sebelum aku menjawab salam darinya. Itu berarti, mau
tak mau aku harus mau dan aku harus datang. Ibu selalu saja begitu, selalu
berfikir apa yang dilakukannya benar. Bahkan tanpa bertanya bagaimana
pendapatku, Ibu selalu memutuskan semuanya sendiri.
***
Bagaimanapun penolakanku, pada akhirnya aku tidak dapat menolak
permintaan Ibu. Sabtu ini aku pulang, hanya untuk melihat Ustadz yang ingin
melakukan ta’aruf denganku. Tapi entah mengapa aku berharap ini bukan hanya
sekedar lelucon.
“ Kamu kenal Ustadz Hafid Fit? “ tanyaku pada Fitri, sejak peristiwa
pembatalan pernikahanku, hanya Fitri yang berani mendekatiku. Tak merasa takut
atau jijik dengan predikat perempuan bahu laweyan yang kusandang.
“ Tahu lah Mbak, itu kan Ustadz ganteng, gaul lagi. Katanya sich lulusan
Mesir. Wah, Mbak Raras beruntung “ kata Fitri dengan polosnya. Dia
selalu mengatakan aku beruntung mendengar nama orang yang akan menikah
denganku, seolah hanya dia yang paling sial di dunia ini karena mendapat jodoh
seperti Supri.
“ Menurutmu kenapa dia ingin menikah denganku? “
“ Ya mana Fitri tahu Mbak, Fitri kan bukan dukun “ Ah, Fitri benar. Apa
yang kutanyakan, mana mungkin dia tahu apa alasan si Pak Ustadz meminangku
meskipun dia tahu aku seorang perempuan bahu laweyan. Apa dia sedang
putus asa? Atau dia memang sedang sakit keras, jadi tidak masalah kapanpun dia
akan mati. Toh cepat atau lambat dia juga akan mati.
“ Nduk, keluarga Pak Ustadz sudah datang “ Ibu memanggilku. Dadaku
berdebar kencang.
“ Doain aku ya Fit “ Fitri mengangguk. Sebelum pergi,
aku memeluk Fitri erat. Melepaskan ketegangan yang ada di tubuhku. Aku menyusul
Ibu yang terlebih dahulu menemui keluarga Ustadz Hafid. Sosok laki-laki itu hanya menunduk, apa dia menyesali apa yang telah dia
putuskan dan kedatangannya
kali ini hanya ingin
membatalkan pinangannya?
“Assalamua'laikum “ aku
mengucapkan salam dengan takut.
“ Wa’alaikumsalam “ jawab semua orang yang ada
di ruangan. Laki-laki itu mengangkat kepalanya. Laki-laki itu, bukankah laki-laki yang ada di
Musholla. Dia tersenyum.
“ Mbak Sekar, kenalkan ini anak kami, Hafid.
Kalau di desa ini lebih dikenal dengan Ustadz Hafid “ seorang wanita, seusia
Ibu, memperkenalkan laki-laki didepanku. Aku tau dia, tapi aku hanya tidak tau
namanya.
" Kami sudah pernah bertemu beberapa kali, hanya belum tau siapa
nama masing-masing " laki-laki itu berkata, seolah tau apa yang sedang aku
fikirkan.
" Maksud kedatangan kami kemari, untuk meminang Mbak Sekar sebagai
calon istri anak kami, Hafid. Itupun kalau Mbak Sekar ndak keberatan " wanita itu kembali berbicara, aku tertawa
miris.
" Apa semua ini lelucon? " aku memandang lurus ke arah Hafid,
saat mata kami saling bertemu. Hafid langsung menundukkan kepalanya. Ah, kami
masih belum muhrim.
" Apa
kalian menganggap semua ini hanya main-main? " aku mulai marah, lebih pada
diriku sendiri.
" Sekar . .
. " Ibu meremas tanganku pelan.
" Mana
mungkin, pernikahan bukanlah suatu hal yang bisa dibuat main-main " kini
giliran laki-laki paruh baya yang ada disamping Hafid yang berbicara, aku bisa
menebak, pasti itu ayahnya.
" Anda tau
siapa saya? Apa anda tau apa yang akan terjadi dengan anak anda jika menikah
dengan saya? " air mataku mulai menetes " Kata orang, laki-laki
manapun yang akan menikahi saya akan mati, apa anda mau melihat anak laki-laki
anda mati? " raut muka kedua orang tua Hafid nampak terkejut mendengar
keterbukaanku, begitupula dengan Ibu.
" Jadi,
saya harap anda menunggu hingga saya membunuh enam laki-laki lainnya dan
silahkan anda sekeluarga kembali setelah itu. Maaf, meskipun aku ingin, aku
tidak bisa menerima lamaranmu Hafid " aku menyeka air mataku " Kamu
terlalu baik, jadi biarkan aku menikahi para penjudi ataupun narapidana yang akan
dihukum mati, sehingga aku tidak dihantui rasa bersalah " aku
mengatakannya dengan pelan, takut melukai hati laki-laki ini, takut melukai
hati ayah ibunya, takut melukai hati Ibu dan takut melukai hatiku sendiri.
" Tunggu
" Hafid mencegahku ketika akan beranjak dari dudukku.
" Aku tidak
ingin menjadi penyebab dari kematianmu, itu akan membuatku merasa sangat
bersalah "
" Apakah
kamu tahu sebuah firman Allah, yang mengatakan bahwa Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan pada diri kalian, kecuali telah tertulis dalam Lauh
Mahfud sebelum kami menciptakannya "
" Ini bukan majelismu, jadi kamu tidak
perlu memberikan ceramah. Aku juga tidak akan membayarmu untuk ceramah yang
telah kamu berikan. Lebih baik kamu cari perempuan lain, di luar sana masih
banyak perempuan normal yang mau jadi istrimu. Jadi kumohon, jangan memilih
perempuan dengan kutukan sepertiku " aku kembali menangis, kali ini
seperti tidak bisa terbendung.
" Sekar, jodoh, rezeki dan maut itu hanya
Allah yang tahu. Kalaupun aku memang benar akan mati setelah menikah denganmu,
itu sebenarnya tidak ada hubungannya denganmu. Bahkan sebelum aku dilahirkan,
semua itu sudah tertulis dalam Lauh Mahfudz "
" Apa aku
terlihat sangat mengenaskan hingga perlu dikasihani? " tanyaku sarkatis.
" Untuk apa
aku mengorbankan hidupku hanya untuk rasa ibaku pada seseorang? " Hafid,
laki-laki ini benar-benar sangat sabar menghadapi sikapku, yang kuakui sudah
sangat keterlaluan " Sejak pertama kita bertemu, entah mengapa aku merasa
yakin, bahwa kelak aku akan mengucapkan kalimat ijab qobul untuk meminang
perempuan ini. Meskipun aku agak kecewa mendengar berita pernikahanmu dengan
Pak Lurah "
" Apa kamu
sedang merayuku? Maaf, tapi itu tidak mempan bagiku "
" Tapi
apakah kamu tahu, aku merasa benar-benar jahat ketika bersyukur pernikahanmu
dibatalkan " Hafid kembali tersenyum, pandangannya menerawang, mencoba
membayangkan sesuatu.
" Hafid,
Maaf, tapi rayuanmu benar-benar tak mempan terhadapku "
" Aku telah
berdoa kepada Allah, dan mendapatkan jawabannya. Sekar, mari kita menikah dan
menyerahkan semua ini kepada Allah SWT " aku hanya diam.
" Kalaupun
aku harus mati, biarkan aku mati sebagai suamimu "
" Apa kamu
tidak menyesal? Bagaimana kalau ternyata aku memang menjadi mautmu "
" Insya
Allah tidak ada yang perlu disesalkan jika kita mempunyai niat yang baik,
bukankah pernikahan adalah sunah Rosul? Lagipula, apa kamu tahu sebait lagu
dangdut yang memiliki syair, lebih baik
kau bunuh, aku dengan pedangmu, asal jangan, kau bunuh aku dengan cintamu "
dia tersenyum " Akan lebih menyakitkan kalau kamu menolak lamaranku "
sedikit demi sedikit aku mulai tersenyum.
" Jika kita
memang ditakdirkan bersama, maka biarlah maut yang memisahkan kita " aku
kembali menangis, namun kali ini adalah tangis bahagia.
"
Bagaimana? " Hafid bertanya pelan, dan aku hanya bisa mengangguk. Berharap
keputusan yang ku ambil ini adalah keputusan terbaik untuk kami berdua.
Ya Allah, lindungilah
laki-laki didepanku ini, calon suamiku, lindungilah pernikahan kami. Hamba
serahkan semuanya pada-Mu. Jika memang Engkau takdirkan kami bersama, akan
selalu ada jalan untuk menuju takdir-Mu. Dan jika memang kami tidak berjodoh,
aku percaya, seperti apa yang telah laki-lai ini katakan, jodoh, rezeki dan
maut kami telah Engkau atur, bahkan sebelum kami Kau ciptakan.
Tiada
suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian,
kecuali telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya.
(QS. AL-Hadid: 22)